webnovel

Tahun ajaran baru

"Rei, sini!"

Dakka melambai-lambaikan tangannya yang seperti tenggelam di lautan para siswa. Mereka berkumpul di tengah koridor untuk memeriksa daftar nama beserta pembagian kelas untuk tahun ajaran baru. Saking ramainya mereka terlihat berebut dan saling mendorong satu sama lain, Dakka yang memiliki postur tubuh tinggi saja seperti terhisap ke dalam kumpulan manusia itu dan ikut terseret-seret mengikuti arus. Rei jadi ragu untuk menghampirinya. Ia merasa tubuhnya tidak setinggi Dakka, jika memaksakan diri untuk menerjang kumpulan manusia disana itu ia pasti akan terombang-ambing dengan ganasnya. Jadi Rei menunggu sebentar sampai para siswa itu membubarkan diri sedikit demi sedikit dan barulah ia menghampiri Dakka.

"Aku sudah mengecek nama kita di dalam daftar." Wajah Dakka berubah murung saat Rei berhasil mendekatinya. Dia tersenyum kecut sambil menunjuk sebuah nama yang terdaftar dalam kelas 3-4. "Aku masuk ke kelas 3-4, sementara kalian ada di kelas 3-2."

Rei mengikuti arah yang ditunjuk Dakka. Tertulis nama Andakka Dhaira di kelas 3-4, sementara nama Reiki Savian dan Nararya Javas berada di kelas 3-2. Seketika Rei menunjukkan raut wajah yang sama, yaitu; murung dan kecewa.

Dakka melihat perubahan ekspresi di wajah Rei, dia merasa bersalah dan mulai memulas senyum untuk menghiburnya. "Tidak masalah. Walaupun kita bertiga tidak sekelas tapi kita tetap bisa bersama-sama saat berangkat atau pulang sekolah. Kita juga bisa ke kantin bersama untuk makan siang."

"Tapi, selama ini kita bertiga selalu masuk di kelas yang sama, baru kali ini Dakka berada di kelas yang berbeda," ujar Rei lirih.

Dakka lagi-lagi mengulas senyum. Dia memang kecewa, tapi dia lebih tidak ingin melihat Rei murung karena merasa bersalah. Rei pasti berpikir kalau Dakka akan kesepian tanpa kehadiran mereka berdua. Walau hal itu memang benar adanya tapi Dakka merasa itu bukanlah masalah besar untuk persahabatan mereka. Anggap saja ujian, lagi pula di luar sekolah mereka bertiga akan tetap bisa bersama, pikirnya.

"Jangan begitu, anggap saja gacha-ku kurang beruntung kali ini." Dakka terkekeh. "Omong-omong dimana Nara?" tanyanya sambil menoleh ke sekitar untuk menemukan keberadaan sahabatnya yang lain.

Rei ikut mengedarkan pandangan tapi tidak melihat sosok pemuda yang dicarinya. Sosok Nara lumayan mencolok, seharusnya bukan masalah yang sulit menemukan seorang lelaki berambut cokelat terang dengan dua tindikan di telinga kiri. Apalagi Rei ingat Nara memakai hoodie dengan ukuran besar berwarna merah marun, sementara disini tidak ada satupun yang memakai hoodie termasuk Dakka dan Rei. Jadi pastilah Nara pergi ke suatu tempat. Lalu Rei berpikir mungkin Nara sedang berada di klub basket atau mungkin di kantin. Rei ingat Nara berkata bahwa dia lupa sarapan saat mereka berangkat sekolah pagi tadi. Tapi kalau memang pergi ke kantin seharusnya Nara pasti memberitahunya. Akhirnya Rei meraih ponsel di saku celana untuk menelpon Nara. Ia menunggu bunyi sambungan selama dua kali lalu suara lelaki bernada berat menyapanya dari seberang sana.

"Halo."

Rei langsung mencecarnya dengan pertanyaan. "Dimana? Kenapa tidak bilang kalau mau pergi sih? Aku dan Dakka sudah melihat daftar nama di pembagian kelas."

"Lalu?"

Dahi Rei mengernyit. Bukan hal baru mendengar nada tak acuh dari mulut Nara. Lelaki itu memang selalu begitu, berkebalikan dengan sifat Dakka yang hangat dan perhatian. Nara tipikal lelaki dingin yang suka berkata ketus. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal sosok Nara pasti akan berkata bahwa Nara adalah lelaki yang arogan, tapi untuk Rei dan Dakka yang sudah mengenalnya sejak lama tentu saja hal itu tidak akan berlaku.

"Aku dan kamu sekelas tapi sayangnya Dakka tidak. Dakka di kelas yang berbeda."

"Oh, begitu."

Sumpah demi apapun, Rei ingin sekali mencakar wajah Nara yang ditebaknya sedang memasang ekspresi tidak peduli. Ia menghentakkan kakinya ke lantai koridor sambil bersungut-sungut seperti anak kecil.

"Hanya itu? Dakka berpisah dengan kita loh, kamu tidak memikirkan perasaan Dakka? Dia pasti kesepian. Selama ini kita bertiga selalu bersama."

Terdengar helaan napas dari ujung telepon. "Hanya pisah kelas bukan pisah dunia."

"Nara, kamu—"

Sebelum Rei mengamuk, Dakka sudah mengantisipasi hal itu dengan merebut telepon genggamnya. "Sudah, sudah." Lalu dia mengambil alih percakapan itu sambil melirik Rei yang berkali-kali membuang napas dengan wajah kesal. "Nara, kamu dimana? Kami akan menyusulmu, oke?"

"Hm, di belakang sekolah."

"Tempat biasa?"

"Ya."

"Oke, kami akan kesana." Dakka menutup sambungan telepon itu lalu melirik Rei sekali lagi.

"Nara menyebalkan."

"Iya, iya," ujarnya maklum sambil mengembalikan ponsel Rei dan mengusap puncak kepala lelaki itu agar dia tenang.

Diantara Dakka dan Nara, hanya Dakka yang selalu memanjakan Rei, menuruti semua keinginannya juga selalu tahu apa yang diinginkan Rei tanpa perlu diminta. Dakka itu sangat dewasa, pemerhati, juga memiliki sikap yang sangat tenang. Rei selalu berkata Dakka itu seperti pangeran, dia tampan, jenius dalam urusan akademik, juga pintar mengambil hati orang-orang. Sementara Nara tipikal orang yang mudah emosional, sikapnya ketus, dingin, dan sulit untuk didekati selain para sahabat dan teman-temannya di klub basket tentunya, tapi Nara juga memiliki wajah yang Rei akui sangat tampan. Jika Dakka jenius dalam hal pelajaran, maka Nara adalah si jenius dalam bidang olahraga. Tak heran Nara menjabat sebagai ketua di tim basketnya, dia juga populer diantara para gadis meski sikapnya menyebalkan. Tapi meski begitu, Nara juga memiliki kelebihan di mata Rei, Nara selalu siap memasang badan ketika Rei ataupun Dakka mengalami kesulitan. Nara itu pilar serta pelindung bagi keduanya.

Rei masih terlihat bad mood saat mereka menghampiri Nara di tempat favoritnya—di bawah pohon beringin yang ada di belakang sekolah. Rei selalu mengejek Nara seperti genderuwo penunggu pohon beringin itu, lalu Nara akan mencubit pipi Rei sampai membuatnya mengaduh dan memohon pertolongan dari Dakka yang hanya terkekeh melihat keduanya.

"Apa?" tanya Nara saat Rei enggan meliriknya barang sedetik. Nara duduk di salah satu batu besar yang ada di bawah pohon beringin itu, disusul Dakka yang mengambil tempat di sebelah Nara, sementara Rei duduk di batu yang paling ujung, jauh dari Nara.

"Sayang sekali kali ini kita bertiga terpisah. Tapi setidaknya kamu sekelas dengan Rei, jadi tolong jaga dia ya." Dakka berkata pada Nara yang hanya mendengkus sambil mengunyah sandwich yang dibelinya di kantin.

"Dia bukan anak kecil lagi. Jangan terlalu memanjakannya seperti kakaknya, nanti dia semakin besar kepala." Perkataan ketus Nara dihadiahi pelototan oleh Rei.

Dakka. "Jangan begitu, Kak Evan kan memang menitipkan Rei pada kita."

"Menitipkan, bukan memanjakan." Ralat Nara yang lagi-lagi bersikap ketus.

"Oh, maaf saja kalau aku merepotkan," balas Rei lebih ketus lagi.

Nara menaikan sebelah alisnya. Meski tahu Rei itu kekanakan dan manja tapi dia selalu saja senang menggodanya seperti ini. Nara bangkit berdiri, menghampiri Rei yang terus menghujaminya dengan tatapan galak. Seolah tidak terpengaruh, Nara justru menyentil ringan kening Rei sambil menempelkan susu kotak dingin rasa stroberi ke pipi laki-laki itu.

"Aduh! Nara, kamu apa-apaan sih? Dingin tahu!" Tapi ketika tahu bahwa yang ditempeli Nara ke pipinya adalah susu kotak rasa stroberi favoritnya, Rei seketika terdiam.

"Siapa tadi yang bilang haus dan ingin susu stroberi?" Dengan berkata demikian, Nara berlalu dari hadapan Rei sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku hoodie merahnya.

Rei bengong di tempat. Dakka hanya geleng-geleng kepala. Seingat Rei saat Dakka pergi untuk mengecek daftar nama di mading sekolah, Rei memang merengek kehausan dan meminta Nara membelikannya susu stroberi, tapi Nara tidak mengiyakannya dan malah menyuruh Rei untuk pergi membelinya sendiri. Lalu Rei marah dan pergi menyusul Dakka untuk mengadu. Dikiranya Nara akan menyusul mereka ke papan mading tapi siapa yang sangka kalau Nara malah pergi ke kantin dan benar-benar membelikannya susu stroberi yang diinginkan oleh Rei. Tapi meski begitu Rei masih ingin marah karena Nara selalu mengganggunya seperti ini.

Kalau diingat-ingat lagi, Nara tidak sepenuhnya cuek pada Rei. Nara selalu memperhatikannya dengan cara yang berbeda, dan sialnya hal itu selalu terlihat keren di mata Rei.

&&&

Hari pertama di tahun ajaran baru semua akan kembali seperti nol lagi bagi Rei, dari mulai daftar teman sekelas, wali kelasnya, posisi tempat duduk, juga keorganisasiannya. Biasanya Rei akan duduk bersama Dakka di kursi paling depan, sementara Nara pasti memilih kursi yang paling belakang. Bagi Rei, dia tidak peduli siapa saja teman sekelasnya yang lain, atau siapa saja yang akan menjadi wali kelasnya nanti. Yang terpenting dia bersama Dakka dan Nara itu sudah lebih dari cukup. Rei memiliki trauma besar mengenai pertemanan, dia selalu takut untuk mengenal orang lain, karena itu kakaknya; Evan, menitipkan Rei pada Dakka dan Nara. Selain karena mereka berdua sudah mengenal Rei sejak lama, mereka berdua jugalah yang paling mengerti mengenai kondisi yang dialami Rei. Tapi masalah utamanya, untuk kelas kali ini dia tidak bersama dengan Dakka padahal Rei paling dekat dengan Dakka. Dakka selalu mengajari materi-materi yang tidak dimengerti oleh Rei, selalu berada di sampingnya dan membuatnya nyaman, tapi kali ini tidak.

Sejak pagi Rei sudah khawatir mengenai hal ini. Dia ingin meminta Nara untuk duduk di sampingnya menggantikan Dakka, tapi setahu Rei, Nara paling tidak suka duduk di bagian depan, dan Rei tidak mungkin duduk di barisan paling belakang karena postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Rei akan kesulitan melihat ke depan papan tulis dan dia pasti juga kesulitan mengikuti pelajaran jika pandangannya terhalangi. Jika sudah begini, pastinya Rei harus rela berbagi tempat duduk dengan orang asing. Membayangkan hal itu saja sudah membuat Rei ketakutan. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengenal orang lain selain kedua sahabatnya, orang-orang itu pasti menolak dan mengatainya aneh. Seperti yang dulu dilakukan teman-teman sekelasnya saat SD. Lagi-lagi kenangan buruk itu menghantui ingatannya.

Rei menggeleng kuat. Sebelum memasuki kelas, Rei terlihat mengatur napas dan mengumpulkan sedikit keberanian yang ia miliki. Mungkin Rei bisa beralasan dia tidak bisa berbagi tempat duduk ketika ada yang ingin duduk di sebelahnya. Tapi alasan seperti apa yang meyakinkan? Ataukah Rei berpura-pura terkena flu dan mengatakan kalau flunya bisa menular jika ada yang duduk di sampingnya? Apakah bisa seperti itu? Tentu saja tidak, bodoh! Rei merutuki pikiran sempitnya barusan. Tapi dia benar-benar tidak bisa membiarkan orang asing berada di dekatnya.

"Sebaiknya aku duduk di barisan paling belakang saja bersama Nara. Mungkin awalnya akan sulit melihat ke depan kelas tapi lama-lama aku pasti akan terbiasa." Rei bermonolog sendiri sambil meyakinkan dirinya.

"Apa yang kau lakukan disini?" Suara seseorang menyapa di dekat telinganya secara intim.

Rei terlonjak kaget. Bibirnya terbata ketika melihat Gentala Bramasta di belakang tubuhnya. Rei tidak menyukai senyuman yang ada di bibir Genta. Lelaki itu licik dan entah bagaimana suka sekali mengganggunya. Tapi karena selama ini Nara dan Dakka selalu berada di samping Rei, Genta jadi tidak punya kesempatan untuk mengganggunya lebih jauh. Beda dengan hari ini, Dakka tidak ada di sisinya karena lelaki itu sudah berpamitan pada Rei untuk masuk ke kelas barunya yang terpisah dengan mereka berdua, sementara Nara tadi juga berpamitan untuk pergi ke ruang klubnya untuk mengurus beberapa keperluan, jadilah Rei ditinggal sendirian disini dan mengalami kesialan seberat ini.

"Kenapa setegang itu? Kemana perginya kedua sosok penjagamu?" Genta tertawa terbahak-bahak melihat wajah Rei yang pucat. Dia mencemooh. "Oh, lupa. Dakka berada di kelas lain sementara Nara sibuk dengan urusan klubnya. Lalu apa yang dilakukan anak itik ini di depan kelasku?" Genta memasang pose berpikir. Jarinya mengetuk dagu dan senyuman mencemooh itu tidak juga hilang dari wajahnya. "Oh, benar, benar, kau teman sekelasku sekarang. Apa kau takut masuk ke dalam kalau tidak ada dua penjagamu itu?"

Mata Rei melebar sejenak. Dia sekelas dengan Genta? Habis sudah nasibnya tahun ini.

"Tenang, aku akan membantumu untuk memasuki kelas. Ayo, ikuti aku." Lelaki itu meraup tubuhnya yang terbilang cukup kecil, lalu menyeretnya masuk ke dalam kelas. "Lihat? Tidak sesulit apa yang kau pikirkan, bukan?" Genta tertawa lagi. Tak lama dia menarik perhatian seluruh siswa di kelas untuk menatap mereka berdua di muka pintu. "Dengar teman-teman, hari ini Rei akan menjadi teman sekelas kita. Tolong terima dia baik-baik dan perlakukan dia selayaknya seorang putri. Karena kalian lihat kan? Tidak ada laki-laki yang memiliki wajah secantik ini."

Rei tersentak ketika wajahnya dicengkeram dan dipamerkan ke seisi kelas. Bahkan ada yang terang-terangan terkekeh melihat Rei yang sedang dibully seperti ini.

"Tubuhnya bahkan kecil dan ringan seperti bulu. Aku khawatir dia bisa saja terbang tertiup angin kalau kita tidak menutup jendela rapat-rapat."

Rei sudah tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa. Dia bahkan tidak sanggup menatap teman sekelasnya satu persatu. Tubuhnya gemetar, matanya mulai perih. Ini sama seperti kejadian buruk yang dialaminya saat SD. Semua orang mengolok-oloknya, mengatai Rei itu banci karena memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang kecil nan ramping. Bukan keinginan Rei untuk terlihat seperti ini. Kalau bisa ia ingin menjadi tampan seperti Nara dan Dakka, memiliki postur tubuh selayaknya laki-laki yang tinggi juga mempunyai otot. Ia tidak pernah meminta terlahir seperti ini. Tidak.

"Heh, dia menangis? Benar-benar banci, bukan?" Hinaan Genta menyulut tawa yang membahana di seisi kelas. Rei mulai memberontak, ia ingin lari, ia ingin keluar dari keadaan buruk ini, tapi kekuatan tangan Genta sanggup membuat tubuhnya seperti terkunci di atas lantai.

Ketika wajah Rei yang berderai air mata dan merah itu dipamerkan di depan kelas, Rei seakan ingin menghilang dari muka bumi. Melihat mereka tertawa, melihat mereka mencemoohnya seperti badut jelek, menginjak-injak harga dirinya. Bukankah ini sudah keterlaluan? Tapi Rei tidak memiliki tenaga untuk membela dirinya sendiri. Mungkin Nara benar, dia terlalu dimanjakan sehingga tidak bisa mandiri. Mungkin Nara memang benar dan Rei mengakui semua itu.

Suara tawa mereka berdengung selayaknya lebah, membuat kepalanya pusing dan perutnya melilit mual. Rei telat menyadari ketika tubuh Genta tiba-tiba terperosok jatuh disertai suara hantaman yang kuat, lalu tubuhnya yang tidak memiliki kekuatan dirangkul oleh tangan seseorang. Pandangan Rei buram saat melihat wajah murka Nara di hadapannya.

"Siapa yang masih ingin tertawa? Kalau berani majulah, laki-laki atau perempuan tidak akan kuberikan ampun." Suara itu tidak sekeras tawa orang-orang di kelas ini barusan, tidak juga sekeras suara Genta yang membullynya beberapa saat lalu. Suara itu begitu rendah, mengintimidasi, juga terasa dingin hingga ke sekujur tubuh. Tapi bagi Rei, dia baru saja dilindungi oleh suara itu, hatinya menghangat, dia tidak bisa berhenti terisak saat pandangan tajam Nara meliriknya tanpa cela.

"Ada apa ini?" Seorang wali kelas masuk dengan penuh kebingungan. Dia melihat Genta yang terperosok di lantai dengan sebelah pipi yang lebam, Rei yang menangis dan dirangkul oleh Nara yang terlihat murka, juga seisi kelas yang sunyi.

"Maaf, Pak. Kami tidak bisa melanjutkan pelajaran jika orang-orang yang ada di kelas ini tidak bisa memperlakukan manusia selayaknya manusia." Nara menohok seisi kelas lewat perkataannya yang ketus.

"Apa yang terjadi? Kenapa dengan Rei?"

"Mungkin mereka bisa menjelaskannya pada bapak. Kami mohon izin, Rei sedang tidak enak badan aku akan mengantarnya ke UKS."

Wali kelas bertambah bingung tapi beliau tidak bisa menolak permohonan izin Nara ketika melihat wajah Rei yang memang terlihat pucat serta napas yang tidak beraturan.

&&&

"Nar—" Rei memegangi dadanya. Dia dipapah sampai ke UKS lalu didudukkan di tepi ranjang.

"Diam."

Satu kata, Rei tidak berani membantahnya. Dia membiarkan Nara mengambil alih tasnya kemudian membuka-buka isinya. Rei mencoba untuk tenang agar debaran di jantung serta tarikan berat napasnya bisa segera terkontrol. Beruntung UKS sangat sepi dan tidak ada guru yang menjaga sehingga Rei bisa menenangkan diri tanpa perlu khawatir dengan entitas lain.

"Minum."

Perkataan Nara terkesan seperti perintah mutlak. Rei menurutinya, dia mengambil obat yang ditemukan Nara di dalam tasnya kemudian menenggaknya bersama dengan segelas air yang diambilkan oleh lelaki itu dari teko yang tersedia di UKS.

"Sudah tenang?" tanya Nara lagi yang segera diangguki oleh Rei.

"Terima kasih."

Nara menepuk puncak kepala Rei lalu duduk di sampingnya. "Maaf, seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian."

"Bukan salah Nara, aku saja yang tidak berguna. Aku ini juga laki-laki tapi melindungi diri sendiri saja tidak bisa."

Nara memicingkan mata. "Kurasa ini karena Dakka terlalu memanjakanmu."

"Itu lagi?" Tuduhan Nara selalu membuat Rei tidak terima. Tapi kemudian ia menunduk. "Mungkin ... itu ada benarnya juga sih."

"Bagus kalau kau sudah sadar." Nara menepuk kepalanya sekali lagi sambil tersenyum maklum. "Aku tidak akan memanjakanmu seperti Dakka loh. Aku memiliki caraku sendiri, jika kau suka kau boleh ikut tapi kalau tidak silakan pergi."

Perkataan Nara sedikit membuatnya takut. Selama ini Rei lebih menempel pada Dakka. Lima tahun berada di kelas yang sama, mereka selalu duduk satu meja, Dakka selalu mengajarinya pelajaran yang tidak Rei mengerti, juga membantunya banyak hal tanpa diminta. Tapi sekarang Dakka berada di kelas yang berbeda, dan Rei hanya memiliki Nara untuk satu tahun ke depan. Mungkin Nara bisa melindunginya dari Genta, tapi sampai kapan? Nara lumayan sibuk dengan klub basketnya, lalu saat dia tidak ada bagaimana nasib Rei? Sudah pasti Rei harus bisa mandiri dan belajar untuk melindungi dirinya sendiri saat hal itu diperlukan.

"Jangan tegang begitu, aku juga tidak mungkin langsung melepaskanmu sendirian." Untuk ketiga kalinya Nara menepuk halus kepala Rei. "Tapi mulai sekarang belajarlah untuk mandiri. Aku ini sibuk, tidak seperti Dakka yang bisa berada di sampingmu selama seharian penuh. Paham?"

Rei mengangguk walau kekhawatiran masih menyambangi hatinya. "Tapi, aku boleh duduk bersamamu saat di kelas, kan?"

"Tentu."

Rei tersenyum lega. "Syukurlah."

Seseorang mengetuk pintu ruang UKS, tak lama dia masuk ke dalam, menyapa Rei dan Nara yang masih terduduk di tepi ranjang. Orang itu adalah wali kelas mereka yang baru, Antoni Wijaya.

"Loh, bapak?" Rei menunjuk bingung. Bukannya sekarang masih jam pelajaran? Tapi kenapa Pak Anton malah pergi ke UKS? Pikirnya heran.

"Nara, Rei, saya sudah dengar cerita detilnya dari teman-teman sekelas kalian. Sepertinya Genta sudah menyebabkan masalah untuk Rei, Bapak minta maaf. Seharusnya Bapak bisa datang lebih cepat sehingga kejadian buruk itu tidak menimpa Rei seperti ini."

Rei mengibaskan kedua tangannya, ia merasa sungkan melihat Pak Anton memberinya tatapan bersalah sebesar itu. "Bukan salah Bapak, sungguh. Saya hanya terlalu lemah untuk membela diri, saya terlalu penakut."

"Tapi, Rei tidak apa-apa, kan?"

"Saya tidak apa-apa, Pak. Nara melindungi saya sebelum Genta berbuat lebih jauh."

"Syukurlah kalau begitu." Pak Anton menghela napas lega lalu tak lama ia menatap Rei dan Nara secara bergantian. "Apakah kalian sudah bisa bergabung ke dalam kelas sekarang? Atau Rei masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri?"

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Nara. "Sudah. Rei sudah tenang dan kami akan segera bergabung ke dalam kelas."

Hal itu membuat Rei gugup kembali. Dia masih tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat menatap teman-teman sekelasnya nanti. Itu pasti sangat memalukan dan canggung untuknya. Rei bahkan menangis di depan kelas saat Genta membully-nya. Dia benar-benar sudah tidak punya muka lagi.

Nara mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Rei yang dingin. "Kau harus berani. Ikut aku atau tidak?"

Diam sebentar. Rei menarik napas kuat-kuat lalu mengembuskannya dalam sekali buang. "A-Aku ikut."

Mendengar jawaban Rei barusan, Pak Anton kembali bernapas lega. "Baiklah, ayo kita kembali ke kelas."