webnovel

1

Aku harus berhati-hati. Aku menghembuskan napas dengan berat ketika turun dari mobil dan memandang gedung sekolah dari parkiran. Hari ini pasti akan dipenuhi dengan kebohongan serta berbagai prank dari orang-orang yang iseng. Aku hendak berjalan menuju bangunan utama ketika seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku mencibir, jelas-jelas orang ini akan mengerjaiku. Aku menoleh, dan mendapati Abigail – teman lelakiku yang menyebalkan.

"Selamat pagi, Astrida! Hari ini cerah, 'kan?"

Sapaan Abigail membuatku semakin curiga karena ia selalu mengerjaiku setiap tanggal 1 April. Aku ingat sekali ketika aku meletakkan botol minum dan bekalku di atas meja yang kutinggal sebentar untuk cuci tangan, selekas aku kembali dari mencuci tangan isi botol minum serta bekalku hanya tersisa seperempat karena dimakan oleh anak menyebalkan itu. Setelah itu, ia meminta maaf dan sebagai tanda permintaan maaf, ia memberikan aku sekotak susu full cream.

Dan, ternyata sudah basi.

Aku melipat lenganku, "Gue enggak tau apa yang akan lo rencanakan 1 April kali ini, gue enggak akan percaya sama lo dalam satu hari ini," ketusku sebal, lalu aku berjalan sambil membenarkan posisi tas punggungku dan membawa tote bag ditanganku untuk pergi ke bangunan kelas. Baru beberapa langkah aku berjalan, Abigail tiba-tiba menghadangku dari depan. Aku memutar kedua bola mataku, beberapa siswa yang berlalu lalang menatapku geli, karena mereka tau aku sudah kerap kali menjadi korban kejahilan Abigail. "Lo mau apa deh?" ketusku sambil mengangkat tanganku untuk menyingkirkan Abigail dari hadapanku.

"Nih," tangan Abigail terulur, menyerahkan sekotak susu stroberi.

Aku membuang muka, "Kalau mau kasih susu basi, mending lo minum sendiri."

"Demi Tuhan, kali ini enggak basi!" Abigail melotot.

"Ucapan lo basi, minggir."

Aku buru-buru meninggalkan Abigail ketika melihat sosok lelaki yang bernama Danny, teman sebangkuku di kelas berjalan dari gerbang utama dengan headphone yang selalu tergantung di lehernya. Danny berjalan dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku blazer sambil bersiul tidak jelas, dan siulannya terhenti ketika aku sudah berjalan disampingnya. "Kenapa, lo dikerjain Abigail lagi?" Danny sudah hapal dengan gelagatku ketika setiap tanggal 1 April. Aku mengangkat kedua bahuku, "Udah deh, gue enggak mood bahas Abigail."

Kami berdua berbincang dan berjalan bersama menuju kelas.

###

"Udah dikerjain Abigail belum, As?"

Aku hampir saja melempar kamus Oxford ke wajah Karina, temanku yang duduk di bangku belakangku. Aku menoleh ke pintu kelas, sosok Abigail keluar dari kelas bersama temannya. Karina tertawa geli, "Gue enggak habis pikir kenapa Abigail selalu jailin lo," ujar Karina lagi sambil membereskan buku-buku pelajarannya ke dalam tas. "Bisa aja si Abigail suka sama Astrida, kali aja dia gengsi ngaku ke Astrida," sahut Rea tiba-tiba, meledekku. Aku mencibir, "Apaan sih, kita aja temenan dari playgroup sampe bosen," elakku sebal.

"Tiba-tiba, nanti lo satu kampus sama Abigail, yak, selamat artinya lo berdua jodoh," sambar Danny sambil mengerjakan tugasnya yang belum selesai.

Kali ini aku benar-benar memukul kamus Oxford milikku ke kepala Danny.

"Udah, diem aja kalian. Gue males ketemu Abigail hari ini," tandasku kesal. Baik Danny, Karina, dan Rea terdiam dan melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Seisi kelas riuh dengan orang-orang yang saling melempar prank satu sama lain dan menjahili orang lain. Danny tiba-tiba berdiri sambil melepas blazernya, menyisakan kemeja lengan panjang yang ia gulung sampai siku. "Mau ke mana?" tanyaku pada Danny.

"Kamar mandi, mau ikut?" ledek Danny.

"Ogah amat."

Danny tertawa dan segera meninggalkan ruang kelas. Aku melanjutkan kegiatanku, membaca novel Dua Dini Hari karangan Chandra Bientang, novel yang baru saja kubeli di toko buku dekat dengan sekolahku. Aku mengambil headphone wireless milik Danny di loker mejanya, dan setelah koneksinya tersambung pada ponselku, aku segera membuka aplikasi lagu online terfavorit di seluruh penjuru dunia. Lagu Let Me Down Slowly yang dinyanyikan Alec Benjamin menjadi pilihanku.

Could you find a way to let me down slowly?

A little sympathy, I hope you can show me

If you wanna go then I'll be so lonely

If you're leavin', baby, let me down slowly

Baru satu setengah menit lagu kuputar, tiba-tiba sebuah kotak susu dengan warna merah muda mendarat tepat di depan wajahku. Aku mengangkat kepalaku siapa yang memberikan susu stroberi itu padaku, sosok Danny dengan tangan yang terjulur di depan wajahku sambil memegang susu stroberi. "Dari Abigail, dan, nih –" Danny menyerahkan sebungkus sandwich keju kesukaanku, "dilihat dulu tanggal expired-nya," ujar Danny sambil menyentil pelipisku. Aku menurunkan headphone seraya menutup bukuku dan menerima susu kotak dan sandwich. "Ngapain ngasih lewat lo? Kan kita sekelas sih, ribet amat," gerutuku.

Aku langsung mengecek tanggal kadaluwarsa susu dan sandwich tersebut, masih lama. Aku mengerutkan keningku, tumben?

Kepalaku menoleh kepada Danny yang sedang duduk, "Demi neptunus, ini Abigail? Ini Abigail yang ngasih? Eh, bohong. Jangan-jangan lo yang beliin buat gue?" tukasku. Danny kali ini menyentil keningku, "Di belakang kotak susunya itu ada sticky notes, lagi pula ngapain gue beliin lo susu pake nempelin sticky notes segala?"

Aku langsung membalikkan kotak susu tersebut, dan tertempel sticky notes dengan gambar tokoh Gudetama di sudut kiri bawah. Jangan lupa di minum biar tambah tinggi, dan jangan lupa makan – Abigail. Ya ampun, ini memang tulisan tangan Abigail.

Apakah pada hari ini ia akan bersikap waras? Ya ampun, aku harus tetap waspada.

###

Aku dan Danny keluar dari kantor guru secara bersamaan setelah mengumpulkan buku cetak di meja Bu Kanita. Ada notifikasi dari ponselku bersamaan aku hendak mengeluarkan ponselku dari saku. Pesan dari Abigail, aku melihatnya sekilas dari notifikasi, pesannya berisi 'mau makan sama gue sepulang sekolah?' Ck! Anak ini selalu menggangguku sejak playgroup, apakah ia tidak bosan terus-terusan menjahiliku? Aku menarik kerah blazer Danny dari belakang. Danny yang sedang meminum susu pisangnya nyaris tersedak, "Apaan gilaaa? Kaget gue tuh!" tukas Danny dan hampir mengomel ketika aku menunjukkan ponselku. Aku memasang tampang cemberut ketika Danny terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. "Serius deh, Abigail ini kayaknya suka sama lo deh," tawa Danny sambil mengusap air matanya.

"Enggak mau deh, please! Ngapain dia suka sama gue, kerjaanya jahil mulu," tandasku sebal, dan aku melanjutkan perjalananku menyusuri koridor menuju kantin. Danny yang masih tertawa langsung mengejarku dan mensejajari langkahku, "Kenapa sih, emangnya? Apa salahnya kalo dia suka sama lo?" cengir Danny, aku terus cemberut sampai kita tiba di kantin. Aku melihat Karina yang duduk bersama Rea melambaikan tangannya dari sudut kantin, aku mengacungkan jempol dan langsung menggeret Danny ke arah meja Karina dan Rea.

"Lama amat sih? Di omel sama Bu Kanita?" cecar Rea sambil memakan batagornya. "Enggak kok, ya biasa deh, kayak enggak tau Bu Kanita gimana," sahut Danny sambil mencuri batagor milik Rea. Rea menarik piring batagornya, "Pesan sendiri woi!" Di saat Danny, Karina, dan Rea asyik ribut, aku menoleh ke sudut lain di kantin. Mataku menangkap sesosok yang kukenal duduk berhadapan dengan seorang perempuan yang tengah tertawa. Abigail tengah tertawa bersama perempuan yang kukenal sebagai Lisa, anak dari kelas sebelah.

Ketika mataku beradu dengan mata Abigail, lantas aku membuang muka dan ikut dalam perbincangan ketiga temanku. Danny yang tengah memesan makanan lalu menoleh ke arahku, "Mau makan apa nih As? Biar gue yang pesenin," katanya, aku menjawab datar, "Samain aja kayak lo deh," sambil membuka ponsel, aku mencari aplikasi yang sering digunakan untuk mengobrol. Aku membalas pesan dari Abigail yang belum kubalas dari tadi.

'Udah punya cewek, ngapain ngajak gue?'

Aku meletakkan ponselku di meja dengan kesal.

Saat aku mengobrol dengan teman-temanku, yang terlintas dibenakku saat ini adalah mengapa aku kesal melihat Abigail dengan perempuan lain?

###

Danny mencolek lenganku saat jam pelajaran terakhir berlangsung, aku menoleh sambil menyelipkan pena di telingaku dengan kening berkerut. "Lo kenapa cemberut sih? Dari tadi di kantin lo cemberut mulu, mau dapet ye?" bisik Danny. Aku buru-buru menggeleng dan memalingkan wajahku, enggak mungkin gue bilang ke Danny kalo gue bete liat Abigail sama cewe kan? Lagian ngapain juga gue bete sih… Aku berusaha memfokuskan diri ke penjelasan Pak Win yang tengah menyampaikan materi. Aku hendak membenarkan rambutku yang berantakan, namun aku merasa janggal.

Lah, jedai rambut gue ke mana?

Biasanya aku memakai jedai rambut berbentuk kupu-kupu berwarna putih. Aduh, pasti terjatuh. Aku sedikit cemas karena jedai rambut itu diberikan Danny disaat hari ulang tahunku. Namun kecemasanku berubah menjadi kekesalan ketika aku melihat loker meja Abigail, jedai rambut kupu-kupu milikku berada di sana. Aku menarik ponselku dari saku, sebelum aku mengirim pesan untuk Abigail, dia sudah mengirim pesan kepadaku terlebih dulu. Aku melihat pesan tersebut dari kunci layar ponselku dengan geram.

'Jedai lo jatuh di kantin, gue pungut. Kalo mau jedai lo balik, ayo makan sama gue.'

Rasanya aku ingin menjambak Abigail dari belakang. Aku membalas pesannya.

'Y.'

###

Pukul 15.00, bel sekolah berbunyi nyaring bersamaan dengan semua siswa-siswi di sekolah ini berhamburan keluar kelas. Karina, dan Rea sudah pergi lebih dulu karena mereka ada jadwal les, sedangkan aku dan Danny tidak memiliki jadwal les. Abigail juga keluar dari kelas, seperti tidak terjadi sesuatu. Yang membuatku semakin geram adalah, jedai rambutku ia jepitkan di bagian belakang tasnya!

Aku buru-buru membereskan barangku dan langsung mengejar Abigail. Sungguh sialan sekali anak ini. Dari belakang aku bisa mendengar Danny berteriak, menyuruhku untuk menunggunya. Aku mengejar Abigail yang melangkah ke parkiran motor, "WOY BALIKIN JEDAI GUE!" Aku berteriak kesal sambil mempercepat lariku sampai akhirnya Abigail menoleh. Abigail tersenyum puas, seakan-akan ia memenangkan sebuah game dan aku kalah telak. Aku sangat kesal melihat senyum menyebalkan itu.

"Balikin jedai gue," kataku, dengan napas terengah.

"Gue balikin sehabis kita makan nanti," jawabnya sambil menyeringai.

Abigail sialan.

"Woy, kenapa sih?" Tiba-tiba Danny muncul dari belakang dan menepuk-nepuk punggungku. Aku menyergah kesal, "Nih, dia gamau balikin jedai gue."

Mendadak Abigail cemberut, "Urusannya sama Danny apa? Kan lo yang punya urusan sama gue."

Sudut bibir Danny terangkat sebelah, "Balikin jedainya lah, banyak mau amat lo ni," ketus Danny sambil menarik bahu Abigail untuk mengambil jedai rambut itu. Abigail melawan, "Yang punya urusan tuh, gue sama Astrida, lo itu enggak di ajak," jawab Abigail penuh penekanan. Dari pada mereka ribut, aku segera memisahkan mereka berdua. "Udah, gue ikut lo asal lo balikin jedai gue. Dan, Danny, udah gue enggak apa-apa. Lo balik duluan aja."

Danny mencibir, Abigail tersenyum penuh kemenangan.

"Okey, have fun," balas Danny dan langsung segera meninggalkan kami berdua. Tanpa banyak bicara, Abigail langsung menarik lenganku ke parkiran motor. "Lo nih kenapa sih harus ngomong kayak gitu sama Danny? Gue yang ga enak sama Danny. Padahal lo tadi pagi nitipin susu sama roti ke dia," kataku gusar dan melangkah sedikit terburu karena tidak bisa mensejajari langkah Abigail.

"Soalnya ini beda urusan, udah lo nurut aja deh sama gue."

###

Aku cukup heran dengan perlakuan Abigail, di mulai ia mengenakan helm ke kepalaku, menyuruhku untuk berpegangan pada pinggangnya, hingga ia selalu menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut. Bahkan di tempat makan yang kami tuju, ia memperlakukanku dengan baik. Ini sangat berbanding jauh dengan sikap biasanya yang sering menjahiliku di kelas atau menggodaku sampai aku kesal.

"Lo kenapa deh?" tanyaku.

"Ya kenapa?" sambar Abigail tanpa melihatku.

"Aneh, lo enggak kayak biasanya."

Kami makan dan duduk berhadapan. Aku masih belum menyentuh makananku sama sekali, aku curiga jangan-jangan ia menyuruh pegawai kafe di sini membubuhkan racun di makananku. Sebenarnya aku cukup nafsu makan, apa lagi ini fettucine, makanan kesukaanku. Aku teringat kejadian tadi siang, saat Abigail duduk bersama Lisa di kantin. "Cewe lo mana dah?" tanyaku, dengan penuh kesengajaan. Abigail yang asyik mengunyah makanannya menatapku heran, ia menelan makanannya dan menatapku dalam, "Cewe gue? Siapa?"

Pura-pura bolot ye ini bocah.

Aku mengambil pisau yang berada di dekat piringku, untuk berjaga-jaga kalau Abigail bertindak macam-macam aku tinggal melempar pisau ini. "Anak kelas sebelah yang lo ajak ngobrol tadi siapa?" tegasku sambil menatapnya balik. "Cemburu ya lo?" sambar Abigail. Kami saling tatap, aku melempar tatapan kesal sedangkan ia mengulas tatapan senang. "Di makan dong makanannya, gue bayarin kok ini. Serius, deh, makan aja itu kan makanan kesukaan lo," kata Abigail, tanpa menunggu jawabanku.

Dengan penuh rasa curiga, aku mengganti pisau dengan garpu. Saat fettucine itu masuk ke dalam mulutku, rasanya normal-normal saja. Aman. Aku mulai memakan fettucine yang mulai hilang rasa hangatnya. Abigail memandangku dan meletakkan sendoknya, tangannya menopang pipi kanannya.

"Terakhir kita makan berdua begini kapan ya, As?"

"Kita enggak pernah makan berdua kayak gini, Ab."

Hening menyela kami. Hanya terdengar suara riuh pengunjung kafe.

Aku memandang Abigail datar setelah aksi sok romantisnya itu. "Gini deh, dari pada lo sok-sokan kayak di film roman picisan, mending lo balikin jedai gue, gue udah nurutin mau lo ini," ketusku sebal sambil berdiri dan hendak merampas tas Abigail. Abigail segera mengamankan tasnya ketika aku menghampiri kursinya, "Bentar, gue kan belum nganter lo pulang ke rumah," cegah Abigail, senyum menyebalkan itu terulas lagi di wajahnya. Aku buru-buru menggeleng, "Ogah! Gue gamau balik sama lo!" tolakku kesal sambil kembali ke kursi.

"Gue tuh mau naik ojek, terus gue mau pergi ke toko buku, atau ke mana deh, asal enggak sama lo –"

"Yaudah, lo kan bisa jalan-jalan sama gue!"

Sialan sekali anak ini. "Bisa enggak sih, lo balikin aja jedai gue? Gue enggak mau ribet," tukasku. "Lo bisa enggak nurut sama omongan gue?" balas Abigail tidak mau kalah. Aku mengerutkan kening dan memandangnya heran, "Emang lo siapa? Gue punya hak nolak, jangan paksa gue karena gue EMANG ENGGAK MAU," tegasku sebal, aku langsung menyambar tasku dan bergegas merebut jedai rambutku dari tas Abigail. Aku melangkah tergesa meninggalkan kafe tanpa menghiraukan Abigail yang menyerukan namaku.

Aku segera menghentikan sebuah bus yang kebetulan sedang minggir. Buru-buru aku menaiki bus dan pergi ke mana pun asal tidak ada Abigail. Aku duduk sambil menghela napas, dari jendela aku melirik Abigail melihatku dari kafe yang tadi. Sorot wajahnya kecewa, namun aku tidak peduli.

Sama sekali tidak peduli.