webnovel

Youniversal

Mataku terpejam cukup lama, nafasku tersengal. Aku merasakan tubuhku terjatuh begitu dalam, begitu gelap, hingga aku merasa saat itu hidupku akan berakhir. Sampai pada akhirnya aku merasakan seseorang menggenggam tanganku. Aku melihatnya samar, dia berusaha menarikku ke permukaan. Namun, begitu aku sungguh menaruh harapan besar padanya, dia melepaskan genggamannya dengan raut wajah yang tak bisa aku baca. Dia membiarkanku jatuh semakin dalam kedalam lubang tanpa dasar. membunuh seluruh impian dan harapanku. Seharusnya saat itu aku tidak menyerahkan seluruh hatiku padanya, jika memang hanya untuk dihancurkan. Aku percaya padanya, tapi dia telah mengkhianati ku. Aku menganggap dia adalah duniaku, tapi dunia telah meninggalkanku. Dia yang tak ingin ku ingat namanya, dia yang tak ingin ku lihat wajahnya, Alif Satya Purnama

Wulan_Oktavian · Adolescente
Classificações insuficientes
6 Chs

Mimpi itu nyata

(Kenapa nggak kamu ceraikan saja aku mas?!)

(Sorry, dari awal gue emang cuman jadiin lo sebagai bahan taruhan gue doang,)

(Seperti kamu yang sudah menghancurkan hidup ku, keluarga ku. Aku benci semua tentang kamu, ayah kamu dan segala!)

(Cuman cowo bego yang mau pacaran sama cewe kaya lo, dan sayangnya gue bukan termasuk cowo bego itu,)

(Jangan harap kamu bisa bertemu dengan Ailen lagi!)

Ailen membuka matanya lebar, menatap nyalang kearah langit-langit kamar tidurnya. Dia bangun dari tempat tidur, masih mengatur nafasnya yang tersengal. Baju tidurnya basah kuyup oleh keringat dingin yang terus saja mengucur deras.

Bahkan meskipun dia sudah bangun, suara-suara itu masih saja menggaung diruangan sempit ini. Seolah menari-nari keluar masuk kedalam lubang telinganya. Suara menakutkan yang selama bertahun-tahun selalu merusak tidurnya. Mendominasi alam mimpi Ailen yang seharusnya menjadi satu-satunya tempat untuk melupakan sejenak kenyataan hidupnya yang pahit.

Ailen mengernyit, tidak ada yang memihaknya. Dia ingin berlari, bersembunyi. Dari siapa? Dari kenyataan? Sepertinya dia sudah melakukan itu selama hidupnya, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Sekuat apapun dia berlari, segigih apapun dia menghindar Ailen akan tetap dihadapkan pada kenyataan tersebut.

Hatinya beku, dan tidak bisa merasakan apa-apa lagi karena dia sendiri yang membiarkan sisi dirinya terkubur dan tak tersentuh oleh siapapun. Sama seperti dia yang susah payah mengubur seluruh kenangan hidup yang sempat memberikannya sebuah harapan.

Namun sekarang dia telah memutuskan untuk berhenti. Berhenti mengharapkan kebaikan Tuhan yang sepertinya tidak akan dia dapatkan. Membiarkan perahu kehidupannya mengalir begitu saja tanpa ada seorang nahkoda yang mengendalikannya.

Ailen hidup, tapi seperti tak hidup. Dia hanya sebuah raga dengan jiwa tak terdeteksi yang ikut meninggali bumi. Ailen sudah termasuk salah satu gambaran tokoh mayat hidup yang sering ditemukan difilm-film yang banyak beredar di bioskop.

Dia melirik jam weker dimeja kecil disamping tempat tidurnya. Jam tiga, masih terlalu pagi untuk bangun, tapi kalau untuk kembali tidur rasanya Ailen harus berfikir ulang.

Akhirnya, Ailen memutuskan untuk keluar dari kamar kosnya. Ia langsung dihadapkan langsung pada pemandangan hiruk pikuk pemukiman padat yang terlihat masih semangat. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kelelahan dari raut wajah mereka. Ailen hampir melupakan dimana dia tinggal sekarang.

Ia mendesah. Menyadari sebuah kenyataan. Entah sejak kapan ia tinggal di tempat lokalisasi ini. Berdampingan dengan kelompok orang yang menganggap malam adalah sebuah rezeki bagi mereka. Ailen melirik ke samping tepat saat seorang laki-laki keluar dari salah satu kamar kos. Laki-laki itu menyelipkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke dalam kemeja perempuan yang ikut keluar bersamanya.

Pemandangan yang sudah terlalu biasa ia lihat setiap harinya. Ailen tersenyum kecut ketika mendapati laki-laki itu mengerling kepadanya. Ah, se-menyakitkan apapun keadaannya Ailen tidak akan melakukan pekerjaan itu. Bukan, dia bukan mengutuk mereka yang melakukannya. Ailen hanya menyayangkan kenapa harus pekerjaan seperti itu yang mereka pilih. Meski terkadang alasannya karena keadaan, tetap saja itu tidak bisa dibenarkan.

Menyinggung soal keadaannya sekarang. Ailen jadi teringat dengan Rei—ayahnya. Sambil menatap nyalang ke arah langit yang mulai menguning, Ailen menerka sudah berapa lama ia pergi dari rumah itu. Rumah yang seperti neraka baginya. Tempat semua kenangan dan mimpi buruknya bermula. Tak pernah hilang, tak pernah beranjak dan selalu menghantui.

Bagian mana sebenarnya yang salah? Kadang pertanyaan itu menggelayuti hatinya. Siapa? Dan kenapa dia yang harus menerima semua akibatnya. Ailen tidak memungkiri, bahwa terkadang ia menyalahkan Ayahnya atas semua hidupnya yang berantakan ini.

Ayahnya terlalu lemah, dia terlalu mudah menyerah dengan beratnya beban hidup yang harus ia pikul. Kalau saja Ayahnya menyadari keberadaan Ailen yang sangat membutuhkannya mungkin ceritanya akan sedikit berbeda. Mungkin saja jalan hidup yang akan mereka berdua alami tidak sesulit sekarang ini, dan mungkin saja mereka akan hidup bahagia jika rasa cinta dan kasih sayang itu masih ada.

Sudah cukup Ailen mengasihani dirinya sendiri. Toh, selama ini selalu seperti ini hidup yang dijalaninya setiap hari.

Sendiri.

Tanpa ada seseorang yang menemani.

****

Hujan turun begitu deras. Butiran airnya bagaikan peluru yang menghujami kepala Ailen, meski ia telah memakai jaket pelindung. Tas ransel hitam yang seharusnya tergantung di belakang punggung, ia pindahkan ke bagian depan tubuhnya. Ailen memeluknya erat berusaha melindunginya dari air hujan. Seolah itu barang berharga miliknya yang tidak boleh rusak karena hujan sialan ini.

Ya, baginya ini memang barang berharga. Ailen tidak ingin semua buku pelajaran yang dia beli dengan upah kerja paruh waktunya hancur tak berbentuk jika terkena air hujan. Dan jangan lupakan beberapa yang lainnya yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Sungguh Ailen tidak ingin berurusan dengan Bu Dian-petugas perpustakaan- yang akan menyulitkan nya jika mengetahui kalau dia telah merusak buku perpustakaan meskipun itu tidak sengaja.

(Bruuk....)

Tubuh Ailen tersungkur, jatuh tepat di atas trotoar yang berlubang. Dia sedikit meringis. Tentu saja, karena kejadian barusan cukup untuk menciptakan goresan di sekitar lututnya. Tidak perlu lagi di tanya bagaimana rasanya. Di tengah tubuhnya yang menggigil Ailen mengangkat wajahnya. Mengintip dari balik hoddie yang ia kenakan, siapa gerangan yang sudah menabraknya.

Seorang anak lelaki dengan seragam sekolah yang sama dengannya sedang berdiri dihadapannya. Keadaannya sungguh berbeda, dia berlindung di bawah payung berwarna kuning tanpa khawatir dengan semua tetek bengek akibat yang di timbulkan oleh hujan sore itu.

"Lo punya mata kan? Mata Lo di taruh di mana? Di dengkul?"

Bukan permintaan maaf yang Ailen dapatkan, justru kalimat makian yang ia terima. Begitu tajam, hingga rasanya dadanya ingin meledak.

Ailen menunduk. Ia memilih bangkit setelah meraih tas ranselnya yang kembali ia sembunyikan di dalam jaketnya. Ailen tau siapa anak laki-laki itu. Tapi dia tidak ingin memperpanjang masalah. Sungguh, saat ini Ailen hanya ingin pulang. Tubuhnya seperti tidak tahan lagi menahan dinginnya air hujan yang belum berniat untuk berhenti.

Meski perasaannya terluka, hatinya terkoyak, Ailen memutuskan untuk tidak memperdulikannya. Sekuat tenaga ia menyuruh kakinya berjalan secepat yang ia bisa. Menjauh sejauh-jauhnya dari dia yang menjadi awal dari hancurnya mimpi dan harapan Ailen.

Alif Satya Purnama.

("Hai....")

Bayangan masa lalu saat pertama kali Ailen bertemu dengan lelaki bernama Alif itu tiba-tiba terlintas di pikirannya.

Ah, Ailen benci. Sudah berapa tahun sejak saat itu ia mencoba melupakan semuanya. Kenangan itu terlalu indah, bahkan saking indahnya jantung Ailen langsung sakit jika mengingatnya. Dia hampir gila karenanya. Sudah berapa kali Ailen mencoba menjadi Tuhan dengan menghilangkan nyawanya sendiri. Namun, semua percobaan konyol itu tidak ada yang berhasil.

Tuhan sepertinya memang ingin menguji Ailen lebih lama lagi. Sampai kapan ia mampu menahan beban penderitaan hidupnya. Hingga pada titik dimana akhirnya Ailen menyerah pada Tuhan. Karena bukan hanya orang-orang disekelilingnya yang perlahan satu persatu hilang. Tuhan pun ternyata enggan berpihak padanya.

("Aku boleh duduk disini?")

Ailen meringis lebih kepada mengejek dirinya sendiri. Kenapa dulu ia begitu bodoh membiarkan lelaki brengsek itu duduk disampingnya. Berbasa-basi ini dan itu hingga akhirnya Ailen menahan tawa ketika Alif berkelakar, dan sialnya dia baru menyadari bahwa sebenarnya lelucon Alif dulu tidak lucu sama sekali.

(Bodoh.) Ailen mengumpat dirinya sendiri.

("Muka kamu kenapa lebam-lebam begitu?")

("Bukan. Ini bukan jatuh! Luka kaya gini, kaya abis dipukulin. Jujur sama aku! Siapa yang udah pukulin kamu sampe kayagini?!")

Kenapa? Kenapa Alif begitu memanjakan Ailen dengan segala perhatiannya. Hingga akhirnya Ailen bergantung pada lelaki itu. Semua hanya tentang dirinya dan Alif. Semua hanya untuk dirinya dan Alif.

Air mata turun tanpa komando. Membasahi wajah Ailen yang bercampur dengan hujan yang kini berangsur melunak. Berganti dengan titik-titik air yang silih berganti dengan gerakan yang sedikit lambat.

(Dasar kenangan sialan. Alif sialan.) Untuk kedua kalinya Ailen mengumpat. Ingin rasanya ia membenturkan kepalanya ke tembok agar bayangan-bayangan itu musnah dari dalam kepalanya.

Bahkan meski dua tahun terakhir ini ia sudah memupuk perasaan benci didalam hatinya. Hilang pun sepertinya enggan. Bayangan itu seakan sudah bercokol jauh didalam lubuk hatinya hingga sulit untuk diterima jika memang ia benar-benar membenci lelaki itu.

Ailen menghela nafas panjang. Pantas dia selalu frustasi dan hampir gila hingga ingin mati rasanya. Kebetulan atau tidak meski Ailen sudah berusaha menghindari Alif dimana pun itu, usahanya selalu gagal. Takdir seperti sedang mempermainkan dirinya.

Alif mengangkat sebuah gantungan perak berbentuk lingkaran yang didalamnya terdapat ornamen benda-benda langit yang terlihat berkilauan. Untuk sesaat dia terdiam, tidak berkomentar ataupun menunjukan ekspresi wajah yang berarti. Namun detik berikutnya, dia menarik sudut bibirnya. Bukan tersenyum, melainkan menyeringai masam sambil sesekali memantulkan gantungan itu dari telapak tangannya.

("Gue nggak butuh tuh barang beginian!" Serunya sembari melempar benda itu keluar jendela. "Maaf banget nih ya, kalo selama ini lo ngira kebaikan yang gue tunjukkin ke lo karena gue suka sama Lo. Salah besar, gue cuman iseng aja. Main-main aja sambil ngisi waktu luang. Lagian yang bener aja deh, nggak mungkin gue suka sama cewe kaya Lo!")

Stop!!! Ailen menutup kedua telinganya. Tanpa sadar kakinya bergerak setengah berlari. Tak perduli perih dari luka yang ada di antara lututnya, ia ingin menjauh dari siapapun. Dari bayangan kenangan yang sangat mengganggunya itu.

("Emang yah, buah tuh nggk jatuh jauh dari pohonnya! Kalau bibitnya ajah udah busuk gimana buahnya!")

Ailen terus berlari. Menerobos beberapa orang yang menghalangi jalan menuju rumahnya. Sekarang hujan sudah benar-benar reda, hanya menyisakan aroma tanah basah dan genangan yang terlihat di sana-sini. Jalanan menuju ke rumah Ailen mulai ramai dengan aktifitas warga yang berlalu lalang. Beberapa di antara mereka mendengus, hingga mengumpati Ailen yang berlari serabatan.

Kini langkahnya terhenti. Tepat di depan sebuah pintu pagar berkarat dari sebuah rumah kuno yang beberapa sisi atapnya sudah dimakan rayap. Sampah dedaunan dari pohon mangga yang berada di samping rumah berserakan di teras depan. Rumah itu lebih pantas di bilang rumah angker tak berpenghuni daripada di bilang rumah asri yang layak untuk di tinggali.

Benar, sebutannya untuk rumah ini sebagai rumah neraka memang tidak pernah salah. Membayangkannya saja membuat Ailen bergidik ngeri. Apalagi jika menilik masuk dan melihat isi di dalam rumah itu beserta mahluk yang menghuninya.

Perlahan dengan tangan gemetar entah karena takut atau akibat terlalu lama kedinginan, ia meraih kenop pintu yang sudah menghitam itu. Beberapa saat Ailen masih merasa ragu untuk membuka, sampai akhirnya sebuah tarikan cukup kuat dari dalam menyentak pintu itu terbuka hingga membentur tembok dan menciptakan suara berdebam yang sukses membuat Ailen terlonjak kaget. Ia menjauh beberapa langkah sembari mengatur deru jantungnya yang hampir lolos dari tempat asalnya.

Seorang laki-laki paruh baya dengan rambut gondrong yang acak-acakan berdiri di ambang pintu. Wajahnya suram, lusuh, dan menyeramkan. Ia menatap Ailen tanpa ekspresi. Bau alkohol yang begitu menyengat tercium bahkan dari tempat Ailen berdiri sekarang.

Raut muka Ailen mengeras. Mulutnya bergetar menahan ketakutan. Sekali lagi, Tuhan sedang tidak berpihak dengannya.

"A-a-ayah..."

Seperti melayang, tubuh Ailen berpindah dengan begitu cepat. Seluruh tubuhnya lemas ketika mendapati tangan kekar ayahnya mencengkeram kuat kedua lengannya. Dan pada akhirnya tubuhnya berakhir di atas lantai.

"Ayah, tolong jangan!" mohonnya sambil terus berusaha merangkak dengan sisa-sia tenaganya.

Ayahnya tidak bergeming. Tangan legam itu justru meraih ikat pinggang yang tergelatak begitu saja di sofa, lalu dengan tanpa ampun mencambuk tubuh yang ter sungkur di depan kakinya.

Tidak ada yang berubah meski Ailen tak berhenti meronta dan menangis memohon ampun. Sorot mata itu begitu penuh dengan dendam dan kebencian yang begiu dalam. Kebencian tanpa alasan yang di lampiaskan pada seorang anak yang tidak berdosa dan tidak tau apa-apa.

****

Sinar matahari mengintip malu-malu di antara tirai jendela yang terkibas oleh angin yang masuk kedalam kamar Ailen yang masih terbaring di atas ranjang.

Udara yang begitu segar setelah hujan. Namun tidak berhasil menyegarkan si pemilik kamar yang kini telah membuka kedua matanya. Lama ia terbaring, menatap keadaan di luar jendela. Memandangi sepasang burung Pipit yang terbang silih berganti. Ailen mengernyit, ia baru menyadari semalam ia tidur tanpa menutup rapat jendela kamar itu.

Ailen berusaha bangun. Ia sedikit meringis sambil memegangi sisi punggungnya. Rasa sakit yang menjalar begitu kesadarannya kembali pagi ini. Dengan langkah kaki yang terseret ia mendekati cermin di sudut ruangan. Tangannya sedikit mengusap, menghilangkan debu dari cermin itu. Dari sana Ailen bisa melihat betapa kacaunya ia saat ini.

Dia masih menggunakan baju seragam yang ia kenakan kemarin. Bedanya, seragam itu kini sudah kering dengan beberapa kancing baju yang terlepas. Rambutnya acak-acakan. Di pelipis kanan dan sudut bibirnya terdapat memar. Ailen membalikkan tubuhnya, ia menurunkan seragamnya hingga sebatas punggung. Disana, tercetak jelas bekas pukulan yang berjejer memanjang. Ailen mengaduh saat ia menyentuh sedikit luka itu.

Kalau saja ia tidak butuh untuk mengambil beberapa buku pelajaran yang masih tertinggal di rumah itu, Ailen tidak Sudi kembali. Ia lebih memilih tinggal dikamar kos sempit ketimbang pulang kerumahnya.

Ailen merapikan kembali bajunya, lalu beralih ke rambutnya. Sebelum mengambil beberapa barang yang di butuhkannya, ponselnya berbunyi. Dia membaca notifikasi yang muncul dilayar ponsel. Sebuah pesan dari pemilik kafe tempatnya bekerja yang memberi peringatan bahwa hari ini sudah ke tiga kalinya Ailen absen tanpa adanya keterangan.

"Astaga!!!" Serunya lirih sambil sedikit memukul kepalanya pelan. Cepat-cepat ia membalas pesan itu dengan permintaan maaf dan beberapa alasan logis miliknya.

Ailen membuang nafas kasar. Satu masalah selesai. Sebelum masalah berikutnya muncul ia memilih segera bergegas mengemasi barang-barang yang akan ia bawa. Hari ini ia tidak ingin mendapatkan masalah yang lain jika sampai ia terlambat datang ke sekolah.

Ia keluar dari kamar dengan hati-hati. Mencoba untuk tidak menciptakan suara sedikit pun yang bisa membangunkan Reimuru yang mungkin masih berada di dalam rumah itu. Dan memang benar dugaan Ailen, lelaki itu tengah tertidur di sofa ruang tengah. Dengan beberapa bungkus bekas camilan dan beberapa botol minuman keras tergeletak dise kelilingnya.

Bukankah ini kesempatan yang bagus? Ailen mengernyit. Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas melewati kepalanya. Melihat tubuh Reimuru yang sedang terlelap tidak berdaya membuat ia berencana untuk melenyapkan laki-laki itu.

Jujur gadis itu sudah sangat lelah. Ia sudah begitu lama menderita. Mungkin dengan lenyapnya Reimuru bisa membuat hidupnya sedikit berjalan dengan mudah. Satu-satunya orang yang menjadi alasan keadaanya menjadi sangat terpuruk.

Entahlah, Ailen tidak tau pasti darimana ia mendapatkan keberanian pagi itu. Meski tubuhnya begitu gemetar, ia mengambil dan menggengam ikat pinggang yang berada di lantai.

Satu tarikan saja. Ia hanya butuh satu tarikan kuat untuk membuat Ayahnya itu mati kehabisan nafas. Sangat mudah bukan?

Gadis itu menatap sejenak Reimuru yang masih terbaring dengan lelapnya. "Maaf," katanya nyaris tanpa suara. Air matanya turun begitu saja. Membuat tubuhnya semakin gemetar, untuk sepersekian detik ia meratap. Sejak kapan ia menjadi sosok menyeramkan seperti ini? Mencoba melenyapkan seseorang? Seperti bukan Ailen yang sesunguhnya.

Keberanian yang awalnya begitu menggebu kini luruh bersama tubuh yang jatuh ter duduk di lantai. Kini ia menangis, tak perduli pada Reimuru yang nantinya akan terbangun karena suara isakannya. Ailen menutup mulutnya dengan ke dua tangan, membayangkan bila ia benar-benar melakukan semua itu dengan begitu pilu. Akan se tragis apa nanti hidupnya akan berakhir.

Tidak terhitung banyaknya pikiran yang terlintas untuk membunuh orang-orang yang membuat dirinya menderita. Namun ia tidak mempunyai pikiran sedikitpun untuk benar-benar mewujudkan rencana itu. Ailen menentangnya, sebesar apapun kesempatan itu ada di depan matanya. Ia memilih pergi, keluar dari rumah itu se jauh mungkin. Meninggalkan segala kenangan buruk, mengubur seluruh rasa sakitnya disana dan mencoba untuk merelakannya.

Sebelum bergegas menuju ke sekolahnya. Ailen memutuskan untuk kembali sebentar ke rumah kos nya. Ia harus membersih kan diri terlebih dahulu dan mengganti baju seragamnya yang kotor. Masih ada sedikit waktu untuk melakukan itu semua.

Satu-satunya alasan kenapa ia terlambat masuk ke sekolah adalah karena malam-malam menakutkan yang selalu ia lewati dengan mimpi buruk. Terkutuk pada mimpi sialan itu. Ailen membencinya.

Mungkin semua berawal saat orang yang begitu ia percaya meninggalkannya begitu saja. Tak ada yang mengerti sebesar apa ia menggantungkan sejuta harapan padanya. Namun dengan mudahnya dia meninggalkan Ailen, sendirian. Juga tanpa sebuah alasan yang dapat di terima olehnya.

Ia hanya memiliki dirinya sendiri untuk tetap kuat berdiri, meskipun dunia meninggalkannya.

Tak ada orang lain. Hanya ada aku, Ailen!

"Lo mau sampe kapan berdiri disitu?!"

Ailen menoleh. Kedua bola matanya terbelalak begitu melihat siapa pemilik suara tersebut. Ia mencelos, sesuatu didalam dadanya berdenyut nyeri.

Alif!

Lagi!!!

Padahal Ailen sudah memilih jalan memutar ke belakang taman sekolah. Alih-alih menghindari Alif, ia justru bertemu dengan anak itu di tempat paling terpencil di sekolahnya ini.

"Minggir!!! Lo ngalangin jalan buat anak yang lain!" Tambahnya lagi, di ikuti kelakar beberapa temannya yang mengikuti dari belakang.

Sial!!!

🥀🥀🥀