webnovel

001

"Pencopet!!" Seorang wanita bergaun mewah sederhana berteriak histeris ketika dia tau kantung uangnya diambil dengan begitu ringannya oleh sebuah tangan kecil. Pemilik dari tangan itu memegang kantung yang ada di dalamnya dan berlari dengan menggenggam kantung yang memenuhi satu rematan telapak tangan berukuran sedang itu.

Kakinya panjang tapi tubuhnya tetaplah pendek. Dia masihlah seorang bocah laki-laki pada umumnya. Namun dengan kebenaran kalau dia tidak memiliki orangtua.

Dia berlari dengan sangat kencangnya tapi pada akhirnya sebuah tangan besar terulur pada kain punuk pakaiannya dan mengangkatnya hingga dia ikut terangkat dengan kedua kaki tidak lagi menapak jalan dan hanya mampu meronta-ronta ingin melepaskan diri namun tidak bisa. Dia membuat dirinya terayun ke kanan dan kiri tapi kain pakaiannya tetap berada di tempat yang sama dan dia akhirnya berada di keadaan yang sama pula.

"Pencuri kecil? Kau pikir kau bisa lari?" Pria yang memegang kain punuk pakaiannya itu mendekatkan wajahnya pada wajah si bocah. Melihatnya yang lusuh dan cemong oleh noda lumpur bercampur abu. Begitu jelek dan terlihat kalau dia tinggal di dalam kandang kuda yang berlumpur dan dikelilingi oleh kotoran.

"Ugh." Pria itu merasa kesal dan mengayunkan kain di lengannya hingga anak itu jatuh terlempar dan tersungkur ketika dia melepaskannya. Anak itu bau seperti selokan dan ikan mati

Anak itu jatuh menyamping dengan sisi tubuh menyapu debu di atas jalanan yang terbuat dari balok-balok semen. Pakaian tebalnya melindunginya tapi kalau tidak kulit-kulit lengannya pasti sudah memiliki banyak goresan dari permukaan balok yang kasar.

Anak itu butuh waktu untuk mendapatkan pengendalian atas dirinya sendiri dan dia ingin bangun untuk melarikan diri. Tapi sebuah kaki yang kuat dan besar lebih dulu menekan punggungnya hingga dia terjerembab pada jalan sekali lagi. Dengan sisi wajahnya, kali ini.

Dia ingin bangun tapi dia tidak punya tenaga yang cukup untuk melawan. Kedua tangannya bergerak-gerak ingin membuat tumpuan tapi punggungnya tidak tergerak ke atas satu inci pun. Satu tangannya masih dengan bersikeras menggenggam kantung uang yang barusan dia ambil.

"Hah... Sersan Kerrn." Wanita tadi datang menghampiri dengan langkah yang sulit dengan gaun kain gaun yang harus dia angkat agar tidak tersandung. Tatanan rambutnya berubah berantakan setelah berlari. Peluh muncul dan mengalir di keningnya. Nafasnya menciptakan awan uap putih. "Hah... Terimakasih sudah menangkapnya."

"Bukan apa-apa, Nona." Sersan Kerrn memasang senyum ramah dan membungkuk mengambil kantung uang yang ada di tangan anak di injakannya. Anak itu sudah menggenggamnya dengan begitu kuat tapi sebuah tangan besar tetap lebih unggul dan bisa mengambil kantung di tangannya dengan begitu saja.

"Uangmu, Nona."

"Hah.. kota ini beruntung memilikimu, Sersan. Dan bukannya anak-anak seperti ini." Wanita tadi memelas sebelum berwajah sinis pada anak yang masih ditekan ke balok-balok jalanan.

"Ibu mereka lah yang bodoh karena melahirkan anak begitu saja dan tidak ingin merawat mereka. Seperti inilah mereka menjadi." Wanita itu melanjutkan.

"Aku sudah akan pergi, Sersan. Terimakasih sudah membantuku." Dia merendahkan tubuh dengan satu tangan yang dia posisikan di depan dada.

"Bukan apa-apa. Pergilah." Wanita itu pergi dan Sersan Kerrn mengembalikan perhatiannya pada anak di bawah injakan kakinya.

"Kau pikir kemana sebaiknya aku membawamu?"

Suaranya tidak berekspresi dan bibirnya juga membentuk senyum. Tapi anak itu merasakan kecaman yang ada di dalamnya.

Sebuah tangan besar yang sama menggenggam kain punuknya lagi dan membuatnya berjalan paksa dengan tubuh yang membungkuk dan kedua tangan yang berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa. Kedua giginya bergemeretak ingin menggigit seandainya saja dia bisa. Dia akan menggigit tangan yang menarik paksa dirinya dan dia akan melepaskan diri lalu langsung kabur dengan sekuat kemampuannya.

Dia tidak bisa melihat jalanan apa yang dia lewati karena kepalanya hanya bisa melihat balok-balok batu jalanan tanpa henti. Kedua tangannya juga sudah mulai menyerah untuk melepaskan diri dan hanya bisa meletakkan mereka di tangan besar yang menggenggam punuk pakaiannya tanpa mencoba membuat usaha melepaskan lagi.

Dia tidak bisa tidak terkejut dengan mulut dan mata membelalak ketika tubuhnya diayun hingga dia terlempar jatuh ke dataran yang enam meter lebih rendah dari tempatnya sebelumnya berpijak.

"Akh." Pinggangnya sakit. Sangat sakit sampai dia tidak bisa bangun dan hanya meringkukkan dirinya. Memegang bagian yang terasa nyeri luar biasa. Rasanya seperti dia ditinju. Dan dia memang pernah ditinju sebelumnya. Rasa sakitnya sama. Dia pikir salah satu bagian tulang rusuknya retak.

"Diamlah di sana, nak. Kau hanya harus membiarkan makhluk-makhluk itu menghabisimu." Sersan Kerrn lalu berbalik. Tidak melihat ke belakang lagi.

Anak itu tersadar setelah mendengar apa yang pria dewasa itu katakan. Dia takut dugaannya benar. Benarkah dia ada di sana?

Dia langsung membangunkan dirinya dan berusaha berdiri. Mengabaikan sakit di sisi samping tubuhnya. Melihat ke kiri dan kanan lalu mendongak ke atas.

Terlalu tinggi. Dia tidak bisa melompat untuk pergi.

Dia merasa takut. Dia merasakan ketakutan menghampiri dan menyelimutinya.

—Volgort—

Nama yang membuat setiap anak jalanan merasa bergidik. Itu adalah rumor yang menyebar luas di kalangan mereka. Tidak ada yang tahu keberadaan tempat dengan nama itu selain mereka. Dan mungkin, mereka yang bertugas untuk membawa mereka ke sana jika mereka tertangkap.

Jangan pernah tertangkap. Tertangkap dan kau sama dengan mati.

Kau tidak hanya akan dikurung. Kau akan dilempar ke sebuah tempat. Tempat bernama Volgort.

Berada di tempat yang rendah yang membuatmu tidak akan bisa melompat. Dindingnya tidak memiliki ruang untuk dipijak sehingga kau tidak bisa memanjat. Dan ketika kau ada di sana, bersiaplah untuk melihat berpasang-pasang mata merah menyala di kegelapan. Dan kau akan melihat. Makhluk-makhluk apa itu sebenarnya.

Anak itu ketakutan. Setiap inderanya menjadi lebih tajam dari sebelum-sebelumnya. Suara pergerakan angin saja bisa didengar olehnya. Membuatnya berjengit dan berbalik ke belakang untuk melihat apa yang ada di sana.

Dia lalu merasa kalau dirinya dikelubungi oleh hawa dingin. Begitu dingin namun bukan dingin yang biasa dia rasakan ketika dia tidak berhasil menemukan tempat yang hangat untuk bersinggah.

Hawa dingin yang mengincar nyawamu. Hawa-hawa dingin itu seperti ingin menghampirinya dan mencakar-cakar seluruh tubuhnya hingga dia terkoyak-koyak dan tercerai-berai. Tidak lagi memiliki tubuh yang bisa dia gunakan untuk bergerak.

Lalu, ujung-ujung bayangan gelap muncul dari kegelapan. Menghampirinya dan menusuk-nusuknya.

Anak itu kehilangan kemampuannya untuk berpijak dengan benar. Dia tidak lagi berpijak. Tubuhnya setengah melayang di udara dengan punggung yang terbawa ke arah belakang. Dengan asap-asap hitam sehitam batu bara yang biasa dia angkut untuk dibawa ke rumah seorang saudagar kaya menusuk dan menembus daging-daging di tubuhnya.

Tapi, dia tidak merasakan apa-apa. Matanya membelalak. Mulutnya terbuka dalam tanda tanya akan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dan apa yang akan terjadi nanti.

Perlahan. Dia merasakan sakit mulai menemuinya. Dia bergetar dan meronta. Ingin menghindar tapi tidak bisa.

Bayangan hitam mulai berubah menjadi sepasang tangan bercakar. Ujung-ujungnya tajam dan permukaannya bergerigi. Kedua tangan bayangan itu membungkusnya. Dengan ujung tajam jari-jari itu menusuk setengah dari vertikal tubuhnya. Seolah mereka akan merobeknya. Membuat tubuhnya terpisah antara kiri dan kanan.

Dia merasa dia akan mati. Dia merasa dirinya akan benar-benar dirobek menjadi dua oleh kedua tangan bayangan itu.

Tapi, kemudian mereka berhenti. Seolah mereka menyadari sesuatu dan ingin membatalkan niat mereka sejenak.

Berpasang-pasang mata merah mulai muncul satu-persatu di sekelilingnya. Mengawasinya dan menilainya. Seperti sedang menimbang-nimbang untuk sesuatu. Sampai akhirnya, kedua tangan bayangan itu tidak lagi menusukkan jari-jari mereka ke tubuhnya dan melainkan membuatnya berbaring di atas telapak tangan mereka.

Tapi anak itu sudah kehilangan tenaganya. Tusukan-tusukan bayangan itu nyata. Dia sudah berdarah dan dia tidak bisa bergerak lagi. Lubang-lubang di tubuhnya sungguhlah besar seolah dia masih beruntung dia masih punya bahu dan tubuh bagian bawahnya sebagai perekat dari tubuh bagian atasnya. Lubang-lubang besar itu membuatnya tidak lagi memiliki perut dan dada. Mereka berubah menjadi kolam darah. Dari posisinya dia bisa melihat organ-organ dalamnya yang sudah koyak. Hanya jantungnya yang masih tidak tersentuh. Paru-parunya, dia tidak tahu dengan paru-parunya.

Dia masih bisa bernafas. Dia merasakan dadanya yang kembang kempis. Dan jantungnya pasti masih berdetak.

Tapi dia berdarah. Dia tidak lagi memiliki perut. Bagaimana dia akan hidup?

Dia saat itu mulai tertawa kecil. Kedua baris giginya bertemu dan bahunya mulai bergetar.

"Hahaha. Hahahahahah!"

Dia akan mati. Dia pada akhirnya akan mati. Seumur hidupnya dia mencuri dan mencopet. Bekerja sebagai pengangkut barang yang akan dibayar dengan sepotong roti. Dia minum dari tetesan air dari atap bangunan dan batu-batu yang lembab. Dia hidup dengan begitu buruk. Dia tahu dia tidak akan memiliki masa depan yang lebih baik dan dia hanya menjalani hari untuk tetap bisa mendapat minum ketika haus dan makan ketika lapar. Bersembunyi dari para pria dewasa seperti Sersan Kerrn. Tidur di bawah kolong jembatan dari selokan yang bau. Berteman dengan lumpur dan bangkai tikus. Dia tidak lagi memiliki kemampuan dan kesempatan untuk membersihkan diri.

Setiap tetes air akan dia gunakan untuk dia minum. Tidak ada satu tetes pun yang bisa dia sia-siakan.

Dia sudah tau kalau dia tidak boleh sampai tertangkap. Anak jalanan sepertinya akan dibuang. Dibuang ke sebuah tempat bernama Volgort.

Sekarang di sanalah dia. Mata melihat. Hidung dan mulut bernafas. Tapi tidak ada satupun bagian lain dari tubuhnya yang bergerak lagi. Dia sudah menerima apapun yang akan terjadi padanya. Makhluk-makhluk itu. Apapun mereka. Bentuk seperti apapun yang mereka miliki, dia sudah tidak peduli.

Dia tidak tahu di mana dia sebenarnya sedang berbaring. Dia berbaring. Tapi di mana?

Kemana perginya ujung-ujung tajam bayangan itu? Kemana perginya tangan-tangan gelap itu?

Yang dia lihat hanyalah puluhan mata mendekati ratusan yang melihat ke arahnya. Mereka tidak pernah berkedip. Berbeda dengannya yang pasti sudah berkedip beberapa kali dalam jangka waktu itu.

Dia mulai melamun. Karena yang dia tunggu-tunggu tidak kunjung datang.

Kapan dia akan dibunuh? Dan kapan hal lain akan terjadi?

Tiba-tiba, tempat dimana dirinya berbaring bergerak. Lalu, dia merasa dirinya terpindah ke suatu tempat. Dan, akhirnya tangan gelap itu muncul lagi. Hanya satu, kali ini. Kemana yang satunya lagi?

Tangan itu menghampirinya. Dia tidak bergerak dan hanya melihat bagaimana warna gelap gulita menghampirinya. Tangan itu seperti membungkusnya dalam kegelapan total. Lalu, dia tidak merasakan apapun. Seolah kesadarannya juga berangsur-angsur dibawa pergi. Kegelapan membuatnya tidak bisa tahu di mana sebenarnya berada. Dia bahkan tidak bisa melihat keberadaan tangannya sendiri. Tidak juga setitik cahaya. Dia tidak tahu dalam kondisi apa dia sebenarnya sekarang. Apakah dia mati, atau tidak. Satu hal yang pasti, dia merasa dirinya tidak lagi memiliki tubuh. Jadi, dia memejamkan matanya. Tidak merasakan apapun.

Hanya untuk membuka mata, dan melihat dirinya sedang duduk bersandar pada dinding Kota Vichet. Pemandangan yang ada di depannya adalah pemandangan yang familiar. Jalanan lembab dengan genangan-genangan air. Pantulan cahaya bulan di permukaan genangan hujan. Dan samar-samar cahaya jingga dari lampu jalanan.

Dia ada di tempat biasanya dia tidur di waktu malam. Tapi bagaimana dia bisa ada di sana?

'Aku dari Volgort.' Sersan Kerrn yang terkenal menyeretnya dan melemparnya ke sana. Lalu, dia kehilangan perutnya.

Dia memegang perutnya. Perutnya masih ada di sana. Dia menyingkap kain pakaian dan melihat perutnya yang biasanya. Rata tanpa isi. Itu perutnya.

'Apa, apa yang sebenarnya terjadi?'

'Apakah itu mimpi?' Dia bertanya pada dirinya sendiri. Tapi semua hal tadi terasa begitu nyata. Terlalu nyata, bahkan.

Dia masih bisa merasakan sakit yang dia rasakan ketika dia ditusuk oleh keenam jemari tajam berujung runcing. Tidak mungkin sakit itu hanya bayangannya saja.

Dia memeluk dirinya sendiri. Bertanya-tanya pada apa yang sebenarnya terjadi.

Dia lalu bergidik. Bergidik oleh rasa dingin yang tiba-tiba menembus daging-daging tubuhnya. Itu adalah angin malam Kota Vichet. Dingin yang bisa membuat siapapun tidak mampu tidur dan hanya bisa mengeratkan kain pakaian mereka untuk menghalau dingin yang seringnya tidak pernah berhasil.

Beberapa anak sudah mati. Dan bangkai mereka dibuang ke kolam buaya. Mereka mati oleh flu. Yang sudah sewajarnya dialami oleh semua anak, tapi tidak dengan dirinya.

Dia tidak pernah sakit. Dan setiap dia berada di ambang kematian, dia selalu selamat.

Dia pikir dia beruntung. Dia punya keberuntungan yang luar biasa bagus. Dan untuk yang kali ini, dia tidak tahu apakah itu keberuntungannya lagi.

'Mimpi. Itu pasti hanya mimpi.'

Itu yang dia yakini pada dirinya sendiri.

Merasa mata-mata merah itu masih akan menghantuinya di setiap waktu tidurnya. Tapi siapa yang akan takut? Dia tidak takut.

Dia tau malam masih panjang dan dia memilih untuk tidur. Siap jika dia akan memiliki mimpi dimana dia berhadapan dengan makhluk-makhluk bayangan Volgort itu lagi.

Tidak ada yang tahu. Bahwa sebuah suara baru saja muncul di atas jalanan di depannya.

—"Colter... hashrasyvhaishiti. hasvaivishti."—

08/06/2022

Measly033