webnovel

021. Pembawa Sial

Mulut Ferand terus mengeluarkan buih-buih putih, Ella semakin panik dan kebingungan harus bagaimana. Ia berteriak memanggil May dan Alana, mereka berdua pun datang dengan reaksi yang sama seperti Ella. "Apa yang sudah kamu lakukan Ella? Cepat panggilkan seseorang untuk membantu kita," perintah May panik. Tanpa babibu, ia segera berlari keluar rumah, meminta pertolongan. Beberapa orang pun datang membantu mereka membawa Ferand pergi ke tabib. Ella merasa sangat takut sekali, apalagi Ferand adalah sosok yang paling ia sayangi. "Aku mohon bertahanlah ayah, tolong jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau kamu pergi," gumamnya.

Mereka semua pun sampai di tempat tabib, tabib meminta mereka untuk menunggu di luar. Beberapa lama kemudian, tabib itu keluar dengan wajah sangat sedih. "Bagaimana keadaan ayah saya, pak?" tanya Ella. Perasaan dari tadi sudah tidak enak, bahkan ia berpikir bahwa ayahna sekarang sudah tiada. Tabib tersebut mengelus wajah Ella, "Maafkan saya, nyawa ayahmu tidak bisa di selamatkan sekarang. Dia sudah pergi, nak ...."

Deg!

Deg!

Deg!

"Apa? Bagaimana bisa pak? Ini tidak mungkin, ayah saya itu tadi masih hidup, pak. Ini pasti cuma mimpikan?"

"Tidak nak, ayahmu sekarang sudah pergi. Kamu harus mengikhlaskan kepergian dia, agar dia tenang disana."

"T-tapi ayah saya meninggal karena apa pak?" May datang dengan ekspresi marahnya juga tatapan penuh kebencian, begitu juga dengan anaknya, Alana. "Dia itu meninggal karena kamu, Ella. Padahal tadi dia masih sehat-sehat saja, setelah minum kopi buatan kamu, dia jadi seperti ini hiks ...," tangis May. Semua orang di situ mulai berbisik-bisik satu sama lain. "Seandainya dia tidak meminum teh buatan kamu, pasti dia tidak akan jadi seperti ini! Ini semua adalah salah kamu Ella. Kamu pembawa sial! Pembawa sial!" sambungnya lagi. Amukan May benar-benar semakin menjadi-jadi. 

"Aku tidak melakukannya itu ibu, aku hanya membawakan teh buatan ibu kepada ayah. Ella sama sekali tidak akan tega melakukan itu ...," jawab Ella membela dirinya. 

"Apa? Kamu bilang, kamu tidak tega melakukannya? Itu semua hanya omong kosong saja. Buktinya kemarin kamu sempat memukuliku karena aku tidak memberikanmu uang dan Alana melihat itu semua terjadi. Bahkan bekas lukanya masih ada!"

Tidak ada jalan keluar sekarang, ada banyak pilihan bercabang di dalam pikiran Ella. Bisa saja ia di hukum mati, di usir dari negerinya, di jadikan makanan hewan buas, dan lain-lain sebagainya. "Aku tidak melakukan itu ibu, sungguh bukan aku. Mengapa ibu selalu mencoba mempersulit diriku? Bisakah ibu mengatakan apapun dengan jujur?" Amarah Ella tidak kalah meluapnya dengan amarah May, ia sudah memendam semua itu dari tadi dan sekarang ia mengungkap terang-terangnya di depan banyak orang.

Apalagi dulunya citra May di negeri itu cukup buruk, pasti sekarang orang-orang akan mempercayai Ella walaupun tidak sepenuhnya percaya. "Tidak! Itu tidaklah benar, May sudah banyak berubah seusai menikah, dia jauh jadi lebih baik. Hanya saja kamu, semenjak ayahmu menikah dengan dia, sikap kamu mulai berubah. Aku melihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri, karena aku juga bekerja sebagai anak buah ayahmu, Ella," sahut seseorang dari belakang. 

Ella membalikkan badan menghadap orang itu, "Paman, aku tahu paman sedang berbohong sekarang. Tolong berkatalah dengan jujur, katakan pada mereka semua disini bahwa aku tidak melakukannya. Paman sudah bekerja dengan ayahku sekitar 5 tahun, seharusnya paman tahu bagaimana sikapku sehari-hari, apalagi paman sendiri sering berkunjung ke rumah untuk mengambil alat-alat bekerja."

"Maaf Ella, paman harus mengatakan ini, karena memang ini kenyataannya yang ada. Bahwa sudah terbukti kamulah yang melakukannya." Bulir-bulir bening keluar dari mata Ella, ia tidak menyangka bahwa orang yang sering melihat dirinya pun mengatakan hal seperti ini. Tidak ada lagi orang yang bisa diharapkan, semuanya sia-sia sekarang. "Cepat lakukan pemakaman sekarang sebelum matahari terbenam," ujar tabib. Orang-orang mulai pergi melakukan proses pemakaman. 

"Maaf sekali Ella, bapak tahu kamu orang baik. Hanya saja bapak tidak punya cukup bukti untuk membuktikan kamu tidak bersalah ...," bisik tabib itu di telinga Ella. Ella hanya membalasnya dengan tersenyum lemah, dengan pelannya ia mengatakan terima kasih. "Sekarang masuklah ke dalam, lihatlah ayahmu untuk terakhir kalinya. Karena kamu pasti tidak akan diizinkan melihat pemakaman."

"Baik pak, sekali lagi terima kasih banyak ...." Saat Ella masuk ke dalam rumah tabib itu, sudah ada May dan Alana yang menangis tersedu-sedu di dekat Ferand. Sejujurnya Ella juga berniat ingin menyusul ayahnya. Tapi ia tidak boleh melakukannya, itu sama halnya lari dari kenyataan. "Mengapa kamu pergi begitu cepat ayah? Padahal aku ingin sosok ayah sepertimu," tangis Alana.

"Iya sayang, mengapa kamu pergi begitu cepat? Apa kamu tidak kasihan dengan kami berdua? Anakmu satu itu memang bukanlah anak yang baik, bahkan ia tidak tahu cara mengucapkan terima kasih. Dan dia juga tidak menangisi ataupun menghampirimu untuk terakhir kalinya," kata May.

Rasany ingin sekali Ella menjambak-jambak rambut mereka berdua, mereka mengatakan hal yang tidak-tidak tentang dirinya bahkan di depan mayat ayahnya sekalipun. Beberapa orang pun masuk ke dalam, membawakan peti orang mati. Kesempatan Ella untuk memeluk ayahnya sudah hampir habis, ia berjalan mendekat dengan air mata terus mengalir tanpa hentinya. "Hiks ayah ... Maafkan Ella ya, Ella benar-benar tidak melakukannya walaupun Ella tahu bahwa ayah tidak akan mempercayai Ella. Tapi ini merupakan kejujuran, sekali lagi ... Maafkan aku ayah," gumamnya memegang tangan Ferand. 

Alana langsung menepis tangan Ella, "Jangan sentuh ayahku, kamu itu anak durhaka! Tidak pantas menangisi kepergian ayahnya sendiri! Kamu itu adalah seorang pembunuh sekaligus pembawa sial! Pergi kamu dari sini!" teriak Alana membuat Ella semakin terpukul. Ella mendekati wajahnya lalu mengecup pipi kanan ayahnya sekilas dan berbisik, "Maafkan Ella, ayah ...."

Ia pun pergi dari ruangan tersebut, berjalan seperti orang kehilangan arah. Pikirannya mulai berpikir keras dengan apa yang akan terjadi setelah ayahnya di makamkan. Mengingat kemarin terjadi masalah besar dan apalagi tetangganya menganggap dirinya bukan gadis baik-baik, pasti juga Xavier dan orang tuanya akan membenci dirinya. "Harus pergi kemanakah diriku ini untuk menumpahkan segala kesedihanku ... Mungkin aku memang ditakdirkan sebagai manusia yang tidak pantas diterima keberadaannya."

Ia berlari masuk ke dalam hutan, karena itulah tempat yang membuatnya tenang untuk berpikir jernih. Langkahnya terhenti tepat di tempat pertama kali ia bertemu dengan Xavier, ia pun duduk dan kembali merenung. "Aku harus merelakan semuanya membenci diriku, tapi aku harus bertahan, karena setiap masalah pasti ada terus yang bisa dipetik ... Kamu harus kuat Ella."