A Sore Twilight

- senja yang menyakitkan -

ㅤ

Sehabis dari rumah sakit, Alana mengunjungi rumahnya. Ia ingin melihat keadaan mamanya.

ㅤ

"Ma..." panggil Alana.

ㅤ

Sunyi...

Tak ada jawaban.

ㅤ

"Ma... Alana pulang ma!" panggil Alana sekali lagi.

ㅤ

Alana panik. Ia takut debt collector itu datang lagi ke rumahnya dan mencelakai mamanya.

ㅤ

Ia mencari ke setiap sudut ruangan rumah, namun mamanya tetap tak muncul. Alana terus meneriakkan mamanya.

ㅤ

Hingga kemudian, saat Alana sedang mengecek kamar mamanya, sesosok wanita paruh baya keluar dari arah dapur.

ㅤ

"Eh, sayang! Maaf mama ga denger tadi. Mama lagi sibuk masak" jawab wanita yang tak lain adalah mamanya.

ㅤ

Alana menghela napas lega, setidaknya perasaan buruknya tidak menjadi kenyataan.

ㅤ

Tampak kantung mata yang menghitam di mata mamanya, ia terlihat sangat kelelahan.

ㅤ

"Ma? Kok mama masak? Harusnya mama istirahat hari ini. Ini kan hari libur, mama harusnya gunain waktu sebaik-baiknya buat istirahat. Biar Alana aja yang masak" protes Alana panjang lebar.

ㅤ

"Gapapa sayang. Masa anak mama satu-satunya yang cantik ini dateng tapi mama ga masak apa-apa?" jawab mamanya.

ㅤ

"Tapi ma--" ucap Alana terpotong.

ㅤ

"Gaada tapi-tapian Alana. Udah kamu duduk aja sini, masakan mama bentar lagi jadi"

ㅤ

Alana hanya bisa menghela napas mendengar mamanya. Memang, sifat keras kepala yang dimiliki Alana ternyata diwariskan dari mamanya.

ㅤ

"Mama masak apa?" ujar Alana dengan suara kencang.

ㅤ

"Mama masak makanan kesukaan kamu nih!" Teriak mamanya dari arah dapur.

ㅤ

"Hah? Rendang ma? Ya ampun ma! Daging sapi kan lagi mahal! Sayang uangnya kalo mama pake buat masakin Alana rendang. Alana makan apa aja bisa kok!" ujar Alana.

ㅤ

"Haduh, Alana! Kamu tuh ya, uda kayak ibu-ibu ceriwis aja. Bawel banget! Mama kan ga masak ini tiap hari, cuma buat hari ini aja kok! Buat anak kesayangan mama yang dateng jauh-jauh dari kampusnya. Masa mama gaboleh nyenengin anak gadis mama sih?" jawab mamanya sembari membawa serantang penuh rendang.

ㅤ

"Ih, mama! Alana kan gapapa!"

ㅤ

"Udah ah, bawel kamu! Ayok cepet makan! Kamu tega ngebuang-buang uang mama? Mama uda capek-capek masakin juga!"

ㅤ

"Uhh! Iya, iya!"

ㅤ

Memang, jika mamanya sudah mulai mengomel, pasti nanti akan panjang urusannya. Jadi lebih baik Alana menuruti perkataan mamanya.

ㅤ

Lagipula, sebenarnya bagus bukan? Alana bisa menikmati daging rendang kesukaannya.

ㅤ

~

ㅤ

Sesaat setelah mereka menghabiskan makanannya, tiba-tiba dua orang pria berbadan besar membanting pintu rumah.

ㅤ

Alana dan mamanya terkejut mendengar suara bantingan pintu, kemudian mereka pergi keluar melihat apa yang terjadi.

ㅤ

Ternyata, dua orang debt collector yang biasa menagih hutangnya datang tanpa terduga.

ㅤ

Padahal, baru saja mereka dapat menikmati waktu yang tenang tanpa harus memikirkan hutang-hutangnya.

ㅤ

"OI! CEPET BAYAR UTANG! LU PADA UDA NUNGGAK BERAPA LAMA HAH?!" bentak salah satu dr dua debt collector itu.

ㅤ

"Ma-maaf! Akan kami bayar secepatnya!" ujar mama Alana ketakutan.

ㅤ

"ENAK AJA LO SECEPATNYA! UDA BERAPA KALI LU NGOMONG KAYAK GITU? TAPI LU BAYAR GA AKHIRNYA?" bentak dia lagi.

ㅤ

"Bayar, kita bakal bayar. Tolong kasih waktu lagi!" mohon mamanya.

ㅤ

"Kita kasih kalian waktu sampe minggu depan! Kalo sampe kalian belom bisa bayar 1 minggu lagi, liat aja apa yang bakal kita lakuin! INGET! KITA PENAGIH UTANG, BUKAN YAYASAN AMAL!" ujar debt collector lain dengan kasar.

ㅤ

"HEH! BISA SANTAI AJA GA LO?! KITA KAN UDA BILANG BAKAL KITA BAYAR! GAUSA PAKE NGANCURIN RUMAH ORANG SEGALA!" bentak Alana.

ㅤ

Ia tak suka ketenangan diri dan mamanya diusik.

ㅤ

"Wah! Berani ya lo anak kecil! Kalo gamau diganggu ya gausa utang kalo gabisa bayar! Mikir pake otak!" ujar mereka nyolot.

ㅤ

"ALANA CUKUP! Maafin anak saya pak! Saya akan bayar hutangnya minggu depan" ujar mama Alana.

ㅤ

"AWAS LU KALO GA BAYAR! AJARIN JUGA NOH ANAK LU YG KURANG AJAR!" ucap debt collector itu sembari menunjuk kasar Alana.

ㅤ

Setelah itu, mereka keluar dengan membanting pintu lagi.

ㅤ

"Ma! Mama kenapa sih nurut aja digituin? Pantes aja mereka makin berani nginjek-nginjek kita! Orang kayak gitu tuh harus dilawan!" ucap Alana tak suka akan sikap mamanya tadi.

ㅤ

"DIAM ALANA! Kamu tidak tahu apa-apa!" bentak mamanya.

ㅤ

"Ma? Mama bentak aku?! IYA AKU EMANG GATAU APA-APA! SETIAP KALI AKU MAU BANTU MAMA, MAMA SELALU NOLAK! SETIAP KALI AKU MAU LAWAN PERLAKUAN MEREKA, MAMA MALAH BALIK BENTAK AKU! MAMA UDAH GA KAYAK DULU LAGI! SEMENJAK PAPA KOMA MAMA JADI KAYAK ORANG YG GA AKU KENAL!" tangis Alana.

ㅤ

Mamanya yang mendengar ucapan Alana spontan menamparnya.

ㅤ

Alana cuma bisa memegangi pipinya yang memerah sehabis ditampar mamanya. Ia tak menyangka mamanya akan jadi seperti ini.

ㅤ

Dengan buru-buru Alana mengemas barangnya dan meninggalkan rumah.

ㅤ

"Alana tunggu! Maafin mama. Mama ga bermaksud nam--" ucap mamanya terpotong.

ㅤ

Alana sudah terlanjur meninggalkan mamanya. Ia butuh waktu untuk mendapatkan kembali ketenangannya.

ㅤ

Untuk saat ini, yang bisa ia tuju hanya pantai tempatnya biasa melihat senja. Hanya disitu ia bisa menenangkan hatinya yang tak karuan.

ㅤ

~

ㅤ

Di lain sisi, Gavin memegang teleponnya dengan ragu. Ia menatap bimbang sebuah nomor telepon yang tertera di handphonenya.

ㅤ

Alana...

ㅤ

Sudah sejak setengah jam yang lalu ia berniat menghubungi Alana. Namun ia takut teleponnya akan mengganggu.

ㅤ

Ah sudahlah, lagipula ia hanya menghubungi untuk memberitahu waktu selanjutnya mereka merundingkan tesis Alana.

ㅤ

Tut...

Tutt....

Tuutt....

ㅤ

"Halo?" ucap Alana di sebrang sana dengan suara serak dan sedikit tercekat.

ㅤ

"Alana...?" panggil Gavin ragu.

ㅤ

GAVIN'S POV

Aku sungguh yakin bahwa Alana sedang menangis di sebrang sana. Entah apa yang membuatnya seperti itu, namun menyakitkan mendengar suara pilunya.

ㅤ

"Kamu kenapa?" tanyaku kembali.

ㅤ

"..."

ㅤ

Tak terdengar jawaban apapun dari Alana. Aku hanya bisa mendengar isakan demi isakan yg ia keluarkan.

ㅤ

"Alana? Ada apa?" tanyaku sekali lagi.

ㅤ

".... Engga. Gaada apa-apa. Aku cuma kelilipan debu aja tadi" ujarny mencari alasan.

ㅤ

Samar-samar aku tahu bahwa ia masih menahan tangisnya.

ㅤ

"Jangan bohong Alana! Sudah saya bilang jangan memendam apapun lagi! Kamu dimana?"

ㅤ

"Hiks... Aku...gapapa!" ucapnya dengan tangisan yang pecah.

ㅤ

"Kamu dimana Alana?!" tanyaku dengan penekanan.

ㅤ

"Kamu gausah kesini"

ㅤ

Alana masih bersikeras. Ia tak mau memberitahuku tentang keberadaannya.

ㅤ

"Alana! Sekali lagi saya tanya, kamu dimana?!" tanyaku kesekian kalinya.

ㅤ

"... di pantai deket kampus" jawabnya pada akhirnya.

ㅤ

"Tunggu saya!"

ㅤ

"Kamu beneran gausa kesini Ga--" ucap Alana terpotong.

ㅤ

Aku memutus sambungan telepon secara sepihak. Segera ku ambil kunci motor dan ku lajukan motorku menuju pantai.

ㅤ

Aku tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Sial! Kenapa anak itu keras kepala sekali sih? Sudah ku bilang untuk tidak memendam dan menyembunyikan penderitaannya lagi. Namun nyatanya ia masih bersikukuh!

POV END

Alana menangis terisak-isak. Ia lupa bahwa meskipun senja memang menenangkannya, ia tetap akan mencurahkan seluruh kesakitannya pada senja.

ㅤ

Ia tak tahu harus bagaimana menanggapi Gavin nantinya. Entahlah, Gavin selalu ada disaat sesuatu yg buruk menimpanya.

ㅤ

~

ㅤ

Gavin memarkirkan motornya begitu saja di pinggir pantai. Yang ia pikirkan sekarang hanya Alana.

ㅤ

Ia meneliti tiap inchi pantai, mencari keberadaan Alana.

ㅤ

Akhirnya, matanya terjatuh pada seorang gadis yang duduk di antara pasir pantai.

ㅤ

"Alana..." panggil Gavin setelah menghampirinya.

ㅤ

Alana menghadap belakang. Sesaat setelah melihat sosok Gavin yang menatapnya penuh kekhawatiran, tangis Alana semakin pecah.

ㅤ

Gavin duduk dan memeluknya, membiarkan pundaknya jadi sandaran Alana.

ㅤ

Tak ada satupun dari mereka yang berkata apa-apa. Gavin sadar yang saat ini paling dibutuhkan Alana adalah tempat bersandar.

ㅤ

Alana saat ini sadar...

Gavin telah menjadi sandaran terbesar dalam kehidupannya...

ㅤ