Seorang gadis berwajah anggun dengan pakaian asing terlihat tengah ketakutan di sekitar pesawat putih yang mengalami kerusakan cukup parah.
3 orang pria bersenjata kapak dan pedang sambil membawa lentera mengelilinginya di sana.
"P-Pergi!" ujar gadis itu panik, dengan logat yang juga terdengar asing.
"Tenang saja nona~ Kami tidak akan menyakitimu. Kita hanya akan bersenang-senang! Hahaha!" ujar seorang pria di sana dengan wajah mesum, diikuti gelak tawa dari kedua pria lainnya yang memasang raut wajah tak jauh berbeda dari pria itu.
Ain yang baru saja tiba dan melihat kejadian itu memutuskan untuk menghampiri mereka. Ia mengamati mereka dengan seksama.
Dari pakaian mereka yang terlihat lebih tradisional, senjata yang digunakan, juga lentera yang dibawa, Ain mengambil kesimpulan kalau mereka bukan berasal dari fraksi mana pun di Logard.
"Penduduk liar?" pikir Ain dalam hati setelah selesai mengamati.
Lalu Ain melangkah lebih dekat ke arah mereka, mencoba menolong gadis berpakaian asing itu. "Kalian dengar perkataannya? Pergilah," ujar Ain setelah berada cukup dekat dengan mereka.
Seorang pria yang menggenggam kapak besar terlihat panik sambil mengarahkan lentera miliknya ke arah sumber suara. Kedua pria lainnya yang juga merasa panik segera mengalihkan pandangan mereka ke sana.
Samar-samar mereka melihat seorang pemuda yang melempar tatapan tajam. Ain berdiri tegak, bersiap untuk bertarung.
Keputusan yang Ain ambil untuk bersiaga sangatlah tepat. Saking paniknya, ketiga pria itu langsung menerjang ke arahnya, menyerang tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Walau bertiga, Ain tetap saja bisa menghindari serangan mereka dengan mudah. Gerakan mereka terasa lambat baginya. Kalau boleh diandaikan, sama seperti melawan seorang bocah yang tengah bermain 'pedang-pedangan'. Sampai Ain merasa tidak perlu mengeluarkan senjata plasma untuk melawan mereka.
Ain menghindari serangan-serangan mereka, lalu menendang perut sebelah kanan, tepat di rusuk pria dengan kapak besar di tangannya. Dengan cepat, ia juga meluncurkan beberapa pukulan ke arah dada dan persendian bahu pria lainnya yang menggenggam pedang besar.
Kedua pria itu terpental jauh terkena serangan dari Ain.
Kini di hadapan Ain hanya tersisa seorang pria yang terbelalak, melihat kedua temannya dikalahkan dengan telak.
Pria itu mengarahkan lenteranya lebih dekat lagi ke arah Ain. Tatapannya tertuju pada logo yang terpasang di bagian lengan kiri mantel Ain.
"Ce-Cerberus?! Sial!" pekiknya dengan lebih panik sembari berlari pergi, diikuti kedua temannya yang tertatih-tatih berusaha melarikan diri juga.
Setelah Ain memastikan para penduduk liar itu pergi, barulah Ain mengamati dengan seksama gadis yang masih berdiri mematung di dekat pesawat asing itu. Beruntung tempat itu tidak terhalang pohon rindang, sehingga cahaya bulan yang bersinar terang membantu memperjelas pandangan mereka, walau masih samar terlihat.
Tidak seperti Ain, gadis itu tidak terluka sama sekali. Padahal bisa dipastikan kalau gadis itu tidak mengenakan pelindung apapun seperti mantel Cerberus. Berarti pesawat yang dikendarai oleh gadis itulah yang dilengkapi teknologi canggih, sehingga bisa melindungi penumpangnya walau terjadi kecelakaan.
Ain memperhatikan gadis itu dengan seksama, mencoba menganalisa. Gaun yang dikenakan gadis itu terlihat asing, juga terlihat begitu elegan. Membuat gadis itu terlihat layaknya seorang putri dari kerajaan atau seorang gadis bangsawan.
Karena asik menganalisa, Ain sampai tidak memperhatikan tatapan kagum yang menyiratkan rasa terimakasih dari gadis itu.
Dari pakaian mewah yang gadis itu kenakan, Ain hanya bisa menerka 2 tempat yang diduga sebagai tempat asal sang gadis.
Agak lama mereka saling bertatapan, sebelum akhirnya Ain melontarkan pertanyaan untuk memastikan, "Zinzam? Atau Rovan?"
Gadis itu mengerutkan alisnya sembari memasang wajah cemberut, lalu berjalan cepat mendekat ke arah Ain. "Hei! Setidaknya tanya dulu kondisiku!" ujarnya pada Ain dengan sedikit rasa kecewa.
Memang seharusnya Ain menanyakan kondisi gadis itu terlebih dahulu. Pertanyaan seperti 'Kau tidak apa-apa?' lumrah ditanyakan seorang pria yang baru saja menyelamatkan seorang gadis. Tapi seperti itulah Ain yang tidak suka bertele-tele.
Mendengar jawaban dari gadis itu, Ain malah menghela napas panjang. "Kau tidak apa-apa. Jadi, Zinzam atau Rovan?" balas Ain dengan datarnya.
Ain sudah mengamati kondisi gadis itu terlebih dahulu, makanya ia bisa mengambil kesimpulan kalau gadis itu dalam kondisi baik-baik saja.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal di benak Ain. Logat bicara gadis itu terdengar asing di telinganya. Logat penduduk Zinzam atau kerajaan Rovan tidak terdengar seperti itu. "Lalu dari mana dia berasal?" Ain semakin penasaran dibuatnya.
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan!" jawab gadis itu dengan ketus. Gadis itu sendiri masih bingung dengan kondisi sekitar. Bangun-bangun ia sudah berada di dalam pesawat dan terdampar di tempat asing baginya. Belum lagi, tiba-tiba saja 3 orang pria yang baginya terlihat menyeramkan, datang menghampiri begitu ia keluar dari pesawat.
"Hmm...." gumam Ain pelan. Wajahnya menyiratkan kalau ia tengah berpikir keras.
Ain berjalan mendekati gadis itu, membuat gadis itu merasa canggung serta menambah cepat detak jantungnya.
"K-Kau mau apa?" tanya gadis itu dengan panik begitu Ain sudah berada sangat dekat dengannya.
Pikiran gadis itu melayang tak tentu arah. Ia tidak tahu apa yang akan Ain lakukan. Namun seketika rasa canggungnya hilang, berganti rasa heran pada Ain ketika pemuda yang baru saja menyelamatkannya itu berjalan melewatinya.
Sedari awal Ain memang berniat untuk mendekat ke arah pesawat yang kebetulan berada di belakang gadis itu. "U-Ugh...." gadis itu hanya bergumam pelan dengan perasaan malu sendiri.
Sejujurnya, baru pertama kali ada pria yang tidak terpesona melihatnya. Di tempatnya berasal, setiap pria pasti akan terpaku dengan tatapan terpesona kalau berhadapan dengannya.
Apakah karena di tempat itu gelap sehingga Ain tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu? Tapi melihat dari sikap Ain, itu bukanlah penyebabnya.
Ain mengamati bagian depan pesawat dan melihat lambang yang baru pertama kali ia lihat. "Kau berasal dari mana?" tanya Ain tanpa melepaskan pandangannya ke arah lambang itu.
"Akhirnya, kau menanyakan hal yang aku pahami. Aku berasal dari sektor A-9, Lumina Mansion," jawab gadis itu dengan rasa sedikit heran. Ia tidak tahu kalau ada orang yang belum mengenalnya. Ditambah lagi, pemuda itu memiliki logat bicara yang baru ia dengar juga. Ia tidak sadar, kalau sedari tadi ia berbicara dengan bahasa Logard.
Alis Ain kembali berkerut. "Sektor... A-9? Lumina Mansion? Di mana itu?" tanya Ain yang lalu mengalihkan pandangannya ke belakang untuk melihat gadis itu.
Akhirnya gadis itu menyadarinya. Raut wajahnya langsung berubah, terlihat begitu panik. "J-Jangan bilang kalau... Ini Logard?" ucapnya dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan.
Gadis itu baru menyadarinya setelah mengetahui pemuda di depannya tidak mengetahui tempat tinggalnya. Semua orang di tempatnya berasal pasti tahu wilayah yang ia sebut, wilayah tempat tinggal keluarga bangsawan Lumina.
"Memangnya kau berasal dari mana?" tanya Ain semakin merasa penasaran. Ia berdiri lalu berjalan mendekat ke arah gadis yang terlihat cemas itu.
Kali ini Ain memang berniat mendekat ke arahnya untuk melihat wajah gadis itu secara jelas.
"E-Elyosa," jawab gadis itu pelan, dengan wajah menunduk yang masih terlihat cemas.
[•X-Code•]
Ain memutuskan untuk beristirahat di hutan malam itu. Tubuhnya masih belum pulih seutuhnya, masih terasa sedikit lemas. Ditambah kondisi gelap malam yang akan menyulitkan perjalanan. Ia merasa harus membantu gadis tersebut, keluar dari hutan dengan selamat. Kalau saja Ain sendirian, ia bisa dengan mudah menelusuri hutan walau di malam hari.
Terlebih lagi Ain, melihat tubuh gadis itu bergetar kedinginan. Seandainya bisa, Ain ingin memberikan mantel Cerberus miliknya untuk menghangatkan. Tapi semua perlengkapan Cerberus dilengkapi dengan sistem pindai DNA. Jadi hanya yang DNA-nya terdaftar-lah yang bisa menggunakannya.
Termasuk juga cincin tempat senjata miliknya tersimpan, dan mantel Cerberus yang ia kenakan. Kedua alat itu hanya menyimpan data DNA milik Ain, sehingga hanya Ain-lah yang bisa menggunakannya.
Kalau orang yang DNA nya tidak sesuai memakai perlengkapan Cerberus, tubuhnya akan tersengat listrik tegangan tinggi yang bisa membuat orang itu tak sadarkan diri bahkan mungkin tewas kalau jantungnya tidak kuat.
Melihat situasi dan kondisi malam itu, satu-satunya hal yang paling memungkinkan adalah membawa gadis itu untuk beristirahat di dalam Trava miliknya mengingat pesawat asing itu hanya bisa menampung 1 orang saja.
Bisa saja Ain menyuruh gadis itu untuk kembali ke pesawatnya. Tapi bagaimana kalau penduduk liar tadi datang kembali? Ditambah Ain bisa merasakan tatapan-tatapan lapar dari banyak hewan buas yang tengah bersembunyi, memperhatikan mereka di sekitar sana.
Dengan pertimbangan itulah, akhirnya Ain mengajak gadis Elyosa itu untuk beristirahat di Trava.
Begitu tiba di tempat Trava-nya yang terjatuh, Ain melompat untuk menendang dengan keras bagian atas Trava sehingga membetulkan posisinya yang semula serong dengan bagian depan tertancap ke permukaan tanah.
Ain mempersiapkan tempat penumpang yang memiliki 4 kursi di bagian belakang Trava untuk ditempati oleh gadis itu. Sedangkan Ain sendiri memilih beristirahat di kokpit.
Tapi gadis itu malah menghampiri Ain di kokpit. "Uh... Boleh aku di sini?" tanya gadis itu, berharap Ain mengizinkan. Tempat yang terasa asing baginya itu membuatnya merasa cemas. Ia butuh orang lain untuk menemaninya guna menghilangkan kekhawatirannya.
Ain hanya menoleh sebentar ke arahnya, lalu memalingkan muka ke depan tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Aku anggap… Iya," ujar gadis itu pelan, masih bingung untuk menanggapi sikap Ain yang dingin.
Gadis itu bersiap merebahkan dirinya di kursi depan, di sebelah kiri dari tempat Ain beristirahat. Namun ia terpaku sejenak begitu melihat wajah Ain yang tengah terdiam dengan tatapan lurus ke depan.
Lampu di Trava membuat gadis itu bisa melihat dengan jelas kepala Ain yang sebenarnya sedari tadi terluka. Dengan cepat, ia merobek ujung bawah gaun yang ia kenakan, lalu membalut kepala Ain yang terluka mengeluarkan darah.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!" ucapnya dengan panik. Namun Ain hanya terdiam tak menjawab pertanyaan itu.
"Terimakasih." ucap Ain pelan dengan wajah datar miliknya setelah gadis itu selesai membalut luka di kepalanya.
Setelah itu, barulah gadis itu duduk di kursi sebelah kiri kokpit, tempat yang pernah Agna duduki.
"Um... Terimakasih ya untuk yang tadi. Namaku Tiash. Nanti aku akan bilang pada ayahku buat memberimu imbalan karena sudah menolongku," Tiash berusaha membuka percakapan. Ia beranggapan, Ain mungkin akan merubah sikapnya kalau mendengar ayahnya akan memberi imbalan.
Tapi perkiraan Tiash salah. Ain malah menatapnya dengan tajam, terlihat tatapan kecewa dari kedua mata Ain. "Tidak perlu," jawab Ain singkat. Ia menatap Tiash dalam-dalam dengan tatapan tajamnya.
"Tadi kau bilang, kau berasal dari Elyosa?" tanya Ain dengan wajah serius.
Tiash cukup merasa gugup ditatap seperti itu. Tapi entah kenapa, ia tidak membenci tatapan itu. Ia malah menyukai tatapan tajam dari Ain. Baginya, tatapan itu terlihat begitu tegas, tapi juga menyiratkan ketulusan dan kejujuran.
"I-Iya. Jadi... Benar ini Logard?" jawab Tiash yang lalu bertanya untuk memastikan.
"Ya. Ini daratan Logard," jawab Ain singkat. "Hmm. Kukira Elyosa hanya mitos saja. 'Kota para Dewa' di langit," sambung Ain sambil kembali bersandar di kursinya dengan tatapan lurus ke depan, disertai pikiran yang melayang tak tentu arah.
Ain juga sempat teringat pada Agna. Ia merasa khawatir pada Agna. Tapi mau bagaimanapun, Agna juga seorang anggota Cerberus. "Agna pasti bisa menjaga dirinya sendiri," pikir Ain untuk menenangkan dirinya.
"Hmm. Aku juga mengira Logard hanya berisi orang-orang barbar yang tidak punya etika. Hehe," Tiash cengengesan. Wajah eloknya terlihat begitu menggemaskan. Namun sayangnya Ain tidak melihat wajah menawan Tiash karena tatapannya masih tertuju ke depan.
"Barbar... huh?" pikir Ain dalam hati sembari memejamkan matanya, bersiap untuk tidur.
Sebenarnya banyak yang ingin ia tanyakan pada Tiash. Tapi ia sudah terlalu lelah saat itu.
Dari sebelah kiri, Tiash masih mengamati dengan seksama wajah Ain yang terpejam. Walau sikapnya terkesan dingin, namun Tiash bisa merasakan kalau Ain bukanlah orang jahat. Tanpa sadar Tiash pun tersenyum. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia tersenyum. Mungkin karena ia merasa aman dan nyaman berada di dekat Ain.
Tak lama kemudian, Tiash juga tertidur dengan posisi menyamping, menghadap ke arah Ain yang sudah lebih dulu terlelap.