webnovel

WITCH'S LOVE

-Selesai- Sebuah pertemuan yang tidak pernah diduga terjadi, Amara Iris, seorang Penyihir yang terjebak selama ratusan tahun di rawa kematian bertemu dengan Thomas Phyla, Pangeran dari Kerajaan Megalima yang terbuang dari tahta dan dikutuk oleh Penyihir Putih. Iris awalnya hanya memanfaatkan Thomas agar bisa keluar dari rawa kematian, tapi melihat penderitaan Thomas dengan kutukannya, ia bertekad untuk membantu sang Pangeran untuk mematahkan kutukan Penyihir Putih dan mempertahankan laki-laki itu di sisinya sebagai Pasangan jiwa. Karena kutukan Penyihir Putih, Thomas selalu berjalan mendekati kematian, ia sekarat dan berkali-kali hampir mati. Keadaan menjadi kacau dengan kemunculan Morgan Lloyd, manusia serigala yang diyakini telah membantai packnya, laki-laki itu dengan seenaknya menjadikan Iris sebagai pasangan sehidup sematinya, membuat Iris kebingungan. Apa yang akan dilakukan oleh Iris? Akankah ia tetap bersama Thomas sampai akhir dan membantunya mematahkan kutukan dari Penyihir putih atau pergi bersama Morgan sebagai kekasih dari sang serigala? "Selama kita terhubung, kamu adalah milikku!" Iris. "Apa pun yang terjadi aku tidak akan pergi darimu." Thomas. "Kita harus bersama, kau adalah pasanganku, jangan melirik laki-laki lain!" Morgan. Pilihan manakah yang akan Iris pilih? Petualangan penuh pengorbanan, kehangatan, keromantisan dan pertumpahan darah segera dimulai! Ig : Winart12

Winart12 · Fantasia
Classificações insuficientes
517 Chs

Takdir yang Tidak Bisa dihindari

Bunyi ombak berdebur diikuti dengan kicauan burung camar memasuki pendengaran Iris, ia merasakan hangat sinar matahari menerpa wajahnya, angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya dengan lembut.

Iris bangkit dengan perlahan, ia merasakan pasir halus di tangannya, dan sebuah selimut lebar membungkus tubuhnya.

"Kau sudah bangun?"

Iris mendongak, matanya menyipit merasakan silaunya sinar matahari, rasa nyeri masih kentara terasa di dadanya, ia melihat wajah Alita yang basah di depannya.

"Ya. Ada dimana kita?" Iris menyahut dengan suara serak, penyihir itu menoleh kesana kemari dan melihat Morgan dengan wujud manusia serigalanya sedang berguling-guling di air laut, bulu abu-abunya yang halus itu berkilauan tertimpa sinar matahari.

Thomas berdiri tak jauh dari Morgan, ekor serigala itu mengibaskan air laut dengan sombong, seolah sedang mengejek, Thomas hanya tertawa dan balas memercikkan air dari tangan kecilnya.

"Tak jauh dari tempat duelmu dengan penyihir putih." Alita menunjuk ke samping dengan bibirnya.

Iris menoleh dan mendapati bahwa tak jauh dari tempat berbaringnya, kondisi pantai itu hancur lebur dan penuh lubang di sana-sini, berbanding terbalik dengan pemandangan di depannya, masih bersih tanpa ada sedikitpun bekas pertarungan.

"Ah, itu semua karena aku …." Iris mendesah pelan, ia memijit pelipisnya karena merasa kepalanya pening mendadak.

Benar-benar diluar keinginan Iris lepas kendali dan sebrutal itu menghancurkan sebagian pantai yang indah ini.

Alita duduk di samping Iris, ia menatap lekat penyihir itu. "Sulit dipercaya kau adalah salah satu penyihir agung."

"Ya." Iris memeluk lututnya, terlihat tidak senang sama sekali, ia menenggelamkan wajahnya di sana. "Apa mereka juga tahu?"

"Tentu saja," sahut Alita tanpa beban, ia teringat jeritan kesakitan Thomas tadi malam, diam-diam ia bersyukur pangeran itu masih hidup dan dapat tertawa untuk saat ini.

Ia selalu trauma mendengar jeritan kesakitan itu, tidak pernah berharap jika ia akan mendengarnya malam tadi.

"Apa kalian tidak membenciku?" Tanya Iris dengan pelan.

Alita menatap penyihir itu sebentar lalu terkekeh pelan. "Untuk apa? Karena kau menghidupkan orang yang sudah mati? Apa bedanya dengan diriku yang minum darah?"

Iris tertegun mendengar perkataan Alita, gadis vampir itu terlihat tenang, tatapannya tetap seperti biasa, benar-benar tidak ada raut kebencian atau jijik dari wajahnya.

"Kekuatan itu adalah anugerah. Tidak perlu mengingkari sesuatu yang sudah menjadi takdir kita."

"Kau … sangat bijak," puji Iris tanpa sadar, ia tidak pernah berpikir hal seperti itu sebelumnya.

Iris selalu hidup dengan berbagai ketakutan akan prasangka buruk orang lain, ia takut menggunakan kekuatannya karena ia punya pengalaman buruk tentang itu.

Masih jelas di ingatannya bagaimana ia dihujat habis-habisan karena menghidupkan seseorang yang seharusnya sudah mati. Ia takut, takut hal itu terulang, takut akan ribuan kata-kata yang tajam yang menusuk hatinya.

Hatinya terlalu rapuh. Iris terlalu banyak memikirkan perkataan orang lain dibandingkan hati kecilnya, ia baru saja sadar akan hal ini, perkataan Alita seolah menamparnya dengan kenyataan.

Bahwa ia tidak akan bisa lari sejauh apa pun itu menghindari garis yang sudah ditakdirkan. Ia hanya bisa menjalaninya dan mengikuti arus takdirnya.

Iris menatap Morgan dan Thomas yang saling menyikut di antara deburan ombak, tentu saja manusia yang lebih kecil jatuh terhempas ke air, tubuhnya terseret arus.

"Dasar anjing!" Alita mengumpat dan melempari Morgan dengan cangkang keong yang didapatnya dari tumpukan pasir.

Iris tidak menyangka mulut yang tadinya bijak itu mengumpati Morgan dengan kata-kata yang tidak sesuai dengan usianya, ia menggeleng pelan.

Morgan segera menggigit kaki bocah itu dengan gigi serigala, Thomas meringis dan langsung menendang kepala serigala itu dengan kesal.

Iris menyentuh dadanya segel yang selama ini menahan kekuatannya telah menghilang sepenuhnya karena pertarungannya dengan penyihir putih, ia cemas kalau-kalau ia melakukan sesuatu diluar kendali.

"Apa yang terjadi tadi malam? Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas." Iris berkata tiba-tiba dan menoleh ke arah Alita.

Iris hanya mengingat samar-samar rasa sakit dan panas yang membakar tubuhnya, ia tidak ingat apapun lagi setelah itu.

Alita mendengus ke arah Iris, ia kembali duduk dan mengambil cangkang kerang. "Aku tidak tahu, mungkin kau harus menanyakannya pada Thomas, dia yang melindungimu ketika kau pingsan."

"Aku … pingsan?"

Alita mengerutkan keningnya bingung, lalu sesaat ia mengangguk kaku. "Ya. Ketika kami datang kau sudah pingsan."

Iris membelalakkan matanya, tangannya seketika gemetar, ia ingat dengan sangat jelas jika ia sudah kehilangan kendali atas kekuatannya maka ia tidak akan bisa berhenti sebelum membunuh seseorang yang ada di dekatnya dan menghancurkan segalanya.

Bagaimana mungkin Thomas masih hidup dan tidak mendapatkan cedera apa pun karena kekuatannya? Apakah penyihir putih yang mengendalikan kekuatannya?

Iris menggeleng, yang ia tahu kekuatannya tidak akan bisa dikendalikan oleh siapapun, kecuali jika orang itu memiliki tingkat kekuatan yang lebih tinggi dari penyihir agung.

Iris menatap Thomas, mungkinkah Thomas yang mengendalikan kekuatannya?

"Apa yang terjadi pada Thomas pada saat kalian datang? Dia tidak terluka, kan?"

"Dia …." Alita bergumam dengan wajah muram, jarinya membentuk gambar abstrak di pasir pantai. "Kembali ke wujud aslinya, sama persis sebelum ia terkena kutukan."

"Bagaimana bisa?" Tanya Iris dengan kaget, namun sesaat kemudian ia berpikir mungkin saja Miguel yang mencabut kutukan itu sesaat.

"Aku tidak tahu, itu tidak lama sebelum ia kembali lagi seperti itu." Alita menatap sedih Thomas yang sedang berselisih dengan Morgan, terdengar pekikan nyaring dan deburan air yang keras.

Morgan melolong, ia mengibaskan ekornya lagi, lalu tanpa ragu menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Thomas.

Iris tidak mengerti dengan apa yang terjadi malam itu, banyak dugaan yang berseliweran di kepalanya, ia menebak-nebak apakah ini salah satu ulah Miguel atau Thomas benar-benar memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuatannya.

Ia tidak tahu.

"Penyihir Putih melepaskan kita untuk sementara waktu, aku tidak mengerti kenapa ia melakukan itu … tapi kurasa kita harus cepat mematahkan kutukan itu sebelum bertemu dengannya lagi."

Alita merebahkan dirinya ke atas pasir, ia mengambil selimut yang tadi di pakai Iris dan menutupi seluruh tubuhnya.

Iris mengepalkan kedua tangannya, ia tidak tahu siapa yang mengendalikan kekuatannya tadi malam, tapi yang jelas ia harus berlatih mengendalikannya agar hal-hal yang mengerikan tidak akan terulang kembali, ia juga harus belajar mengolah fisiknya agar ia tidak lemah seperti sekarang.

Iris teringat perkataan Putri Salju, ia terkekeh. Takdirnya benar-benar tidak bisa ia hindari meski sudah ratusan tahun berlalu.

"Miguel," gumam Iris dengan penuh penekanan, matanya menatap tajam pada pasir yang berlubang-lubang tak jauh dari mereka. "Aku akan mengalahkanmu suatu saat nanti."