webnovel

WITCH'S LOVE

-Selesai- Sebuah pertemuan yang tidak pernah diduga terjadi, Amara Iris, seorang Penyihir yang terjebak selama ratusan tahun di rawa kematian bertemu dengan Thomas Phyla, Pangeran dari Kerajaan Megalima yang terbuang dari tahta dan dikutuk oleh Penyihir Putih. Iris awalnya hanya memanfaatkan Thomas agar bisa keluar dari rawa kematian, tapi melihat penderitaan Thomas dengan kutukannya, ia bertekad untuk membantu sang Pangeran untuk mematahkan kutukan Penyihir Putih dan mempertahankan laki-laki itu di sisinya sebagai Pasangan jiwa. Karena kutukan Penyihir Putih, Thomas selalu berjalan mendekati kematian, ia sekarat dan berkali-kali hampir mati. Keadaan menjadi kacau dengan kemunculan Morgan Lloyd, manusia serigala yang diyakini telah membantai packnya, laki-laki itu dengan seenaknya menjadikan Iris sebagai pasangan sehidup sematinya, membuat Iris kebingungan. Apa yang akan dilakukan oleh Iris? Akankah ia tetap bersama Thomas sampai akhir dan membantunya mematahkan kutukan dari Penyihir putih atau pergi bersama Morgan sebagai kekasih dari sang serigala? "Selama kita terhubung, kamu adalah milikku!" Iris. "Apa pun yang terjadi aku tidak akan pergi darimu." Thomas. "Kita harus bersama, kau adalah pasanganku, jangan melirik laki-laki lain!" Morgan. Pilihan manakah yang akan Iris pilih? Petualangan penuh pengorbanan, kehangatan, keromantisan dan pertumpahan darah segera dimulai! Ig : Winart12

Winart12 · Fantasia
Classificações insuficientes
517 Chs

Penyelamatan

"Turun, kau ini beban sekali, bocah!" Morgan mendengus, ia melirik punggung Iris yang semakin jauh dari mereka, sedangkan Thomas melompat turun, tubuhnya terasa lebih baik daripada dulu, ia tidak ambil hati dengan mulut beracun Morgan, terlalu malas berdebat, merendahkan harkat martabatnya sebagai seorang pangeran.

Morgan mengikat kudanya ke batang pohon, bersandar di sana, sedangkan Thomas duduk di atas batu sambil memegang daun kering.

"Apa kau sangat menyukai Iris?" Thomas berkata tiba-tiba, tangannya membolak-balikan daun kering itu.

"Tentu saja," ucap Morgan tanpa menoleh, ia asyik memandangi daun-daun yang bergerak tertiup angin sepoi-sepoi, ia memejamkan matanya menikmati semilir angin yang berhembus.

Thomas memisahkan daun di tangannya itu dengan tulangnya, merobeknya, ia kembali bergumam. "Aku juga."

Morgan berdecak, ia tidak suka walaupun ia sudah tahu tentang hal itu, ia tetap memejamkan matanya, tangannya bersedekap.

"Apa kau tidak khawatir dekat dengannya?" Thomas kembali bertanya, ia menjatuhkan daun yang telah disobek-sobeknya ke tanah, angin bertiup membuat daun dan debu beterbangan.

Morgan membuka matanya dan menegakkan tubuhnya, ia melirik Thomas sekilas.

"Kenapa aku harus khawatir? Karena dia penyihir?"

Thomas mengangguk dengan kaku, ia balik menatap Morgan dengan penasaran, mulutnya sudah terbuka ingin bertanya. Morgan mendekat dan menepuk pundak Thomas, membuat bocah itu meringis dan memegangi bahunya, Morgan terkekeh dan duduk di dekatnya.

"Penyihir tidak selalu buruk, umurnya memang tua daripada kita, tapi itu tidak buruk," lanjut Morgan sambil mengangguk-anggukan kepalanya, menyetujui perkataannya sendiri, ia tersenyum kecil. "lagi pula dia cukup cantik."

Thomas merasakan lengan Morgan melingkari bahunya, ia menepisnya dengan kesal, tapi laki-laki itu tetap memaksakan lengannya. Andai saja Morgan tahu wujud asli Iris saat Thomas pertama kali bertemu dengannya, mungkin laki-laki itu akan berpikir ulang, tapi berhubung Morgan tidak mengetahuinya Thomas tidak ingin membahasnya lebih banyak.

Lagipula penyihir yang membuat dirinya kembali muda dengan mengisap jiwa manusia, bukankah itu terlalu mengerikan? Thomas tidak pernah mendengar ada penyihir dengan kemampuan seperti itu, yang dia tahu hanya penyihir putih yang hobi mengutuk-ngutuk orang.

"Kau sendiri? Apa kau takut dengan Iris? Pergi saja sana sendiri, biar kami bisa punya waktu berduaan lebih banyak, dia Lunaku asal kau tahu saja!" Morgan kembali mengoceh, ia meremas bahu Thomas dengan kencang sambil tersenyum lebar, Thomas menyingkirkan tangan Morgan dari bahunya dan berusaha menjauh, tapi laki-laki itu terlalu kuat, ia mendekat ke arah Thomas dengan mata yang menyipit.

"Aku membantumu karena Iris berjanji akan jadi milikku, jangan berpikir aku akan baik denganmu, selama Iris bersamamu, maka aku akan ada di sana juga mengawasimu."

Morgan mendorong Thomas kasar, bocah itu jatuh ke tanah dan mendengus, ia menatap Morgan dengan sinis. "Kau pikir aku peduli?"

Morgan menunduk dan mencengkeram kerah baju Thomas dengan geram, ia menyentak dengan kasar. Matanya melotot menampilkan netra abu-abu yang berapi-api.

"Kalau begitu jangan terlalu menyusahkan Iris."

Thomas mendecih, ia juga tidak berniat membuat Iris susah karena kutukannya, tapi ia tidak punya pilihan, mereka terlanjur berada dalam lingkaran setan yang sama. Thomas tidak bisa meninggalkan Iris begitu saja, apalagi dengan tubuh yang seperti ini, ia masih sangat tergantung dengan Iris.

Sedangkan Morgan di sisi lain, ia sudah tidak terikat dengan packnya, begitu ia tahu kalau Iris adalah pasangan jiwanya, ia harus memastikan wanita itu ada dalam jangkauannya, menjadi miliknya, apapun yang terjadi.

"ZRAP!"

Morgan menoleh, ia menarik Thomas ke samping, sebuah anak panah menancap di batang pohon tempat ia bersandar tadi.

"Siapa?" Thomas bangkit berdiri, ia melihat seseorang berambut pirang tengah di atas kuda mengarahkan panah ke arah mereka.

Morgan menggeram, ia melepas bajunya dan siap berubah, tapi Thomas memegang tangannya. "Hentikan, aku mengenalnya."

Alis Morgan terangkat bingung, ia melihat laki-laki berambut pirang itu mendekat tanpa mengarahkan panah lagi, mata birunya yang sebiru lautan itu berpendar, menatap Thomas lekat-lekat. Ketika kuda berhenti di depan mereka ia buru-buru turun dan membungkukkan tubuhnya.

"Yang Mulia!"

Morgan melirik Thomas, lalu ke arah pria pirang itu, Thomas berdehem dengan canggung. "Aku bukan pangeran lagi."

Gail terkekeh, ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu balik menatap Morgan dengan pandangan gugup. "Maaf, aku pikir kalian berkelahi, jadi aku ingin melerai."

"Dia temanku, Morgan. Dan dia Gail, temanku dulu."

Morgan tidak menanggapi, ia kembali duduk ke atas batu, dan memakai bajunya kembali, Gail kembali berceloteh menanyakan seputar keadaan Thomas, bocah itu hanya menjawab seadanya, begitu Morgan melirik, ada guratan tidak nyaman di kening bocah itu, ia mengacuhkannya dan kembali memejamkan mata.

Angin berhembus kencang, Morgan merasakan debu dan kerikil mendarat di wajahnya, buur-buru mengusapnya, ia melirik sekeliling, langit tiba-tiba menjadi mendung, cahaya kilat terlihat menar-nari di langit, awan hitam berarak-arak menghalangi sinar matahari, batang-batang bunga matahari bergoyang seirama angin, berbunyi gemerisik.

"Sepertinya akan hujan." Gail berkomentar dengan tenang, ia duduk bersampingan dengan Thomas, Morgan memperhatikan Gail dari bawah sampai atas, laki-laki itu membawa pedang di pinggangnya, ia juga memakai baju rompi besi, tapi mengapa ia merasa itu sedikit aneh?

Thomas hanya memandangi langit di atasnya, Gail terkekeh-kekeh, tangannya memegang pedang di sampingnya, Morgan mendekat dan menekan tangan Gail.

"Apa yang mau kau lakukan?" Tanyanya dingin, Thomas menoleh dan memandangi Gail dan Morgan.

"Aku tidak melakukan apa-apa," sahut Gail sambil tertawa, keringat dingin meluncur dari keningnya, Morgan melepas tangannya, sepertinya ia terlalu paranoid, ia menjauh, berniat kembali duduk, tanpa mereka duga Gail menarik pedangnya dengan cepat dan mengarahkan ke arah Thomas.

"PRAK!"

Bunyi antara dua benda beradu, Morgan berbalik, matanya melotot kaget, ia melihat Gail menghunuskan pedangnya ke arah Thomas, sedangkan bocah itu menahannya dengan sebuah jarum yang besarnya tidak lebih dari telapak tangan Morgan.

"Aku butuh kepalamu," ucap Gail dengan ragu-ragu, keningnya berkerut.

Gail kembali menghunuskan pedangnya, Thomas berkelit, ia menusuk jarum itu di kaki kanan Gail, laki-laki itu menjerit, ia menjauh dari Thomas dan Morgan.

"Darimana kau dapat benda itu?" Morgan bertanya dan memandang Thomas dingin, ia tahu betul apa yang ada di tangan bocah itu, perak. Jarum di tangan Thomas berlumur darah Gail, membesar dan membentuk sebuah belati.

Morgan terheran-heran.

"Seseorang memberikan ini kepadaku," sahut Thomas, Gail menghilang dalam sekejap dari hadapan mereka.

Morgan ingin bertanya lagi, namun tanah di sekitar mereka bergetar, diiringi dengan petir yang menyambar-nyambar, Thomas menoleh ke arah Morgan dengan bingung. Morgan menatap arah kepergian Iris dengan gelisah.

"KRAK ... KRAK ...."

Tanah di depan mereka tiba-tiba terbelah, mengeluarkan sesosok mayat yang tinggal tulang belulang, merangkak keluar dan berjalan melewati mereka berdua. Morgan melihat ke sekeliling ada mayat lain yang berjalan dengan langkah terseok ke arah yang sama, ia menelan ludah, mereka berdua saling bertatapan.

Tanpa kata mereka berdua lari ke arah perginya Iris, petir menyambar beberapa kali di tempat itu, dan benar saja, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah seorang wanita ingin menghantamkan tinjunya ke arah Iris, tanpa pikir panjang Morgan melompat dan melindungi Iris, sedangkan Thomas menangkis wanita itu dan menggoreskan belati peraknya ke lengannya.

"Untunglah kita cepat!"