webnovel

Keras Kepala

"Minggir."

Aku menatap Yesha dengan keras kepala. "Lo mau diemin gue sampai kapan?" cecarku. Sudah hampir dua minggu sejak kejadian malam itu, ketika aku tanpa sengaja memukul Yesha dan dia masih tidak mau berbicara padaku sampai sekarang. Padahal, aku sudah berusaha meminta maaf padanya.

Sebenarnya, sih, aku senang-senang saja kalau Yesha mendiamkanku, karena itu berarti hidupku bebas. Aku tak perlu melayaninya. Dia tak pernah menyentuhku lagi. Namun, lama-lama rasanya muak juga tak diacuhkan seperti itu.

Pertanyaan kedua mertuaku juga membuatku jengah. Mereka berulang kali bertanya apakah hubunganku dan Yesha baik-baik saja. Aku memberikan dalih yang sama seperti Yesha, berpura-pura bahwa aku dan 'suamiku tercinta' selalu bertukar kabar meski jarang bertemu.

Yang paling membuatku kesal ialah ejekan dan sindiran dari Yara dan Orianna. Keduanya selalu berkata, 'Bang Yesha udah bosen sama lo, padahal pernikahan kalian sebulan aja belum ada'. Mereka sepertinya sangat puas ketika kakaknya jarang sekali pulang. Sering kali aku mendapati mereka sedang cekikikan sambil melirik-lirik ke arahku. Aku ingin membungkam mulut mereka, tetapi tak tahu bagaimana caranya.

Seolah ingin membuktikan keseriusannya dalam menghindariku, Yesha bahkan beberapa kali baru pulang saat lewat tengah malam dan berangkat pagi-pagi buta. Dia berdalih dengan alasan pekerjaan, tetapi aku tahu dia bohong. Yesha memang berusaha menjauhiku.

Dia bahkan tiga hari tidak pulang, lagi-lagi dengan alasan pekerjaan dan memilih tidur di kantornya. Aku harus menghubungi Yesha saat ibu mertuaku menanyakan keberadaan anaknya yang tak kunjung pulang, berusaha untuk tidak muntah saat memanggil Yesha dengan panggilan "Sayang".

Sekarang sudah hampir pukul satu dini hari dan aku mendapati dia sedang mengendap-endap masuk ke kamar seperti maling, mungkin mengira aku sudah tidur. Aku langsung menyergap dan menyudutkannya.

"Lo mau minggat?" tanyaku. Aku berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terentang. Tatapanku terarah ke ransel di punggung Yesha.

Yesha melipat kedua tangannya di depan dada, dengan ekspresi angkuh terpampang di wajahnya. Satu alisnya terangkat tinggi. "Minggat dari rumah gue sendiri?" Yesha terkekeh. Terkesan agak dipaksakan di telingaku. "Mana mungkin. Gue cuma ngambil baju ganti. Gue bakal sibuk dan mungkin nggak punya waktu buat balik ke rumah."

"Masa?" kataku tak percaya. "Kenapa tengah malam begini? Kenapa nggak tadi sore atau besok pagi sekalian? Mengendap-endap kayak maling pula," cecarku tak mau kalah. Dia pikir aku bodoh apa?

Yesha memutar bola matanya. "Gue ngambil sesempatnya, mumpung ada waktu."

Sebelum menyadari apa yang keluar dari mulutku, aku berkata, "Terus kenapa pergi? Kenapa nggak tidur di rumah dulu?"

Seketika aku langsung menyesalinya. Aku mengalihkan pandangan seraya menggigit bibir. Tak perlu bercermin untuk mengetahui kalau wajahku sekarang pasti semerah kepiting rebus.

'Bego banget!' batinku kesal.

Sekarang Yesha pasti berpikiran yang tidak-tidak tentangku akibat kalimat ambigu itu.

Benar saja. Ketika aku melirik sekilas, tampak senyum mesum tersungging di bibir Yesha. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya, diikuti dengan kedipan mata yang sepertinya bertujuan untuk menggoda. Namun, alih-alih terpesona, aku justru geli dibuatnya.

"Oh, lo kangen sama gue? Kesepian ya? Udah mulai jatuh cinta lagi sama gue?" ejeknya.

Aku mengentakkan kakiku dan langsung berhenti saat menyadari gerakan itu akan membuatku terkesan kekanak-kanakan. "Ma-mana ada!" tukasku kesal.

"Kalau gitu, sekarang minggir," perintahnya sembari membuat isyarat dengan tangannya.

"Nggak mau!" kataku keras kepala. Aku balas menatapnya dengan sorot mata menantang.

Senyum Yesha seketika sirna. Sorot matanya berubah dingin, pertanda sikapku sudah melewati batas kesabarannya. Tanpa mengatakan apa pun, dia membungkuk di depanku dan langsung memegang bagian di belakang lututku, lalu memanggulku seperti sekarung beras.

Aku mencoba meronta sambil memukuli punggungnya dan memekik. Setelah itu, dia melemparkanku ke ranjang. Aku belum sempat bergerak ketika dia menindih dan menciumku dengan kasar.

"Berengsek!" makiku ketika akhirnya Yesha mengakhiri ciumannya.

Kami berdua terengah. Yesha berdiri dan berbalik, kemudian berjalan ke arah pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Gue pengen kerja. Seenggaknya, izinin gue kerja atau sekadar keluar rumah!" aku berteriak. "Gue bukan tahanan di sini. Lo nggak berhak ngurung gue di rumah ini!"

Langkah Yesha terhenti. Punggungnya menegang. Aku sempat mengira dia akan mengamuk. Namun, Yesha hanya menarik napas, kemudian menoleh. Senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Gue berhak. Lo belum lupa isi surat perjanjian kita kan? Atau perlu gue ingetin lagi? Dan jangan pernah berpikir untuk pergi dari rumah ini tanpa izin dari gue." Kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar.

Aku mencengkeram selimut di bawahku. Bibirku terkatup rapat. Kurasakan air mata mengalir menuruni kedua pipiku.

"Berengsek!" bisikku. "Berengsek! Keparat …" aku meluapkan emosi yang selama ini kutahan dalam sebuah rangkaian sumpah serapah. " … aku membencimu. Sangat membencimu," isakku.

Aku tenggelam dalam sedu sedan akibat kemarahan, kesedihan, kekecewaan, serta perasaan frustrasi yang mengendap selama terkurung di rumah ini. Aku harus selalu tersenyum di depan keluarganya, terlepas dari apa pun yang tengah kurasakan. Karena alasan itu pula yang membuatku lebih memilih untuk bersembunyi di kamar atau di perpustakaan, di mana aku tidak perlu selalu tersenyum agar terlihat bahagia.

Yang membuatku semakin frustrasi, masih belum ada kabar apa pun tentang Zola. Saat aku bertanya pada Yesha, dia hanya menjawab, "Kami sedang berusaha." Yesha sama sekali tak mau memberitahu aku sudah sejauh mana penyelidikannya.

Seperti malam-malam sebelumnya, aku seorang diri dan kesepian. Aku menangis tanpa ada seorang pun yang datang untuk menghibur.

***

"Ngapain lo ke sini?" tanya Yesha ketika aku datang ke kantornya keesokan sorenya. Dia tak menutup-nutupi perasaan tidak sukanya dengan kedatanganku.

Aku tersenyum. "Mama yang minta aku ke sini buat nengokin kamu. Dia khawatir karena putra satu-satunya udah beberapa hari nggak pulang," kataku. Saat melihat ekspresi tak percaya Yesha, aku kembali berkata, "Beneran Mama yang nyuruh, kok. Telepon aja kalo nggak percaya. Ya kan, Ma?"

Aku menoleh ke belakang.

Ibu mertuaku masuk. Dia tersenyum. "Iya, Sayang. Mama mau ngajak Nasta ke butik Yara. Kasihan dia di rumah terus. Pasti bosen. Kamunya sibuk kerja, sih. Besok-besok, coba ambil cuti. Kalian kan belum bulan madu."

Di belakang ibu mertuaku, aku hampir mati karena harus tertawa tanpa suara. Aku mengejek Yesha yang tidak bisa melakukan atau mengatakan apa pun di hadapan sang ibu tanpa membuat ibunya itu curiga. Bahkan sekadar memelototiku.

Ibu mertuaku menangkup wajah kuyu sang putra. "Kamu kurusan, Sayang. Pasti capek banget, ya?"

Yesha tersenyum. Jemarinya mengusap lembut punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. "Capek, tapi Yesha suka sama pekerjaan ini. Yesha senang bisa membantu orang dengan kemampuan yang Yesha punya."

Tinggi ibu mertuaku hanya sebatas pundak Yesha, sehingga Yesha harus membungkuk ketika Mama hendak mencium pipinya.

"Dad pasti sangat bangga padamu, Sayang."

Yesha terdiam sebelum kemudian tersenyum dan menjawab, "Aku tahu."