webnovel

Pertengkaran

Melisa berjalan dengan langkah santai, ia baru saja keluar dari kamarnya dan hendak berangkat kekantor. Saat tiba di meja makan semua mata tertuju padanya. Mereka melemparkan tatapan tajam ke arah Melisa, seolah Melisa sudah melakukan kesalahan.

"Apa ada yang ingin kalian katakan padaku? Jangan melempar tatapan seperti seolah-olah aku sudah berbuat kesalahan." Tegur Melisa saat dirinya sudah duduk di meja makan.

Reni dan Hendra saling bertatapan, seolah saling melempar tanya dari tatapan. Sementara Magdad dan Nana hanya diam.

"Ehemm.. Melisa. Kemarin ayah dapat kabar tentang.. kau dan Juan di."

"Ahhh, aku lupa ada rapat dengan tuan Arsan hari ini. Benar kan kak?" Melisa mengalihkan pembicaraan seolah mengerti arah pembicaraan ayahnya. Tentu saja ini masih soal pertemuan Melisa dan Juan di hotel beberapa hari lalu yang kini sudah sampai ditelinga keluarganya. Magdad tercengang ketika dirinya menjadi kambing hitam atas kebohongan Melisa.

"Ohh, I—iya ayah. Aku juga harus berangkat sekarang." Kata Magdad dan langsung beringsut pergi meninggalkan meja makan. "Melisa tunggu." Panggilnya pada sang adik.

Sepanjang perjalanan Melisa hanya diam, dia tidak ingin mengungkit apapun didepan Magdad. Tapi Magdad yang tidak bisa menutupi rasa penasarannya itu langsung melempar pertanyaan.

"Jadi— sebenarnya kau. Mmm, sudah menyetujui perjodohan itu bukan?"

Melisa mendengar pertanyaan itu namun tak bergegas menjawab, setelah merenung cukup lama akhirnya Melisa menjawab pertanyaan Magdad.

"Belumlah, aku masih memikirkannya." Sahut Melisa.

"Ohh bukannya kalian sudah saling tertarik kata tuan Mauren.."

"Sstttt..." Melisa seketika mendelik galak, dia tidak senang mendengar kalimat selanjutnya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak kak. Memangnya segampang itu jatuh cinta dengan orang baru?" Timpalnya.

"Hmmm, tidak sulit jika kau mau mencoba menerimanya." Magdad membalas.

Melisa terdiam mendengar ucapan Magdad, dirinya kembali teringat akan tawaran Juan mengenai pernikahan kontrak. Sejujurnya itu bisa jadi alternatif untuk keduanya, tapi Melisa berpikir sebagai perempuan tentu dirinyalah yang paling merugi jika pada akhirnya harus bercerai.

"Mel.." panggil Magdad.

"Hmm.." Melisa berdehem tanpa melihat ke arah sang kakak.

"Coba kau pikir, mungkin saja setelah menikah ayah tidak lagi punya hak untuk menentang impianmu menjadi koki. Bukankah semua keputusan mengenai dirimu juga ada ditangan suamimu.?"

Melisa tertegun mendengar kalimat yang disampaikan sang kakak. Dirinya memang sempat berpikir demikian, tapi jika orang yang dinikahinya adalah Juan, apakah dia akan dengan mudah memberi kebebasan kepada Melisa untuk mengejar mimpinya? Tidak ada jaminan. Melisa menghela napas, seolah tidak ingin semakin terbebani dengan persoalan perjodohan itu.

"Kak, sepertinya kakak harus menemui pak Arsan sendirian. Bisa turunkan aku di restauran Felix?" Ucap Melisa tiba-tiba. Magdad terkejut tapi kemudian mengangguk mengiyakan permintaan sang adik.

"Ohh, jangan bilang sama ayah kalau aku kesana yah." Pesannya kemudian.

**

"Waahhhh.. Feliiix selamaaat. Ya Ampuuun, aku tidak bisa membayangkan berada jauh darimu Felix. Tapi aku bersyukur kau akhirnya diterima disana!" Seru Melisa kegirangan, Ia bahkan seketika memeluk Felix erat dan tanpa sadar membuat pipi Felix bersemu merah.

"Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga lulus di perguruan tinggi yang sama denganku?" Jelas Felix.

Melisa tersenyum simpul, sepertinya usahanya sia-sia saja. Bahkan meski Magdad membantunya untuk mendaftar langsung ke sekolah memasak terkenal di Itali, dirinya tidak bisa lepas dari keputusan final sang ayah.

"Aku akan melanjutkan pendidikanku disini Felix, tentu saja aku akan mengambil jurusan bisnis." Hanya itu yang dikatakan Melisa. Felix terhenyak mendengar suara Melisa yang terdengar pasrah itu. Harapannya untuk melanjutkan ke sekolah memasak bersama Melisa kini pupus sudah.

"Ta—tapi kau bukankah impianmu?"

"Haahhhh.. beruntunglah kau Felix. Kau bermimpi menjadi seorang koki dan ayahmu adalah seorang Koki yang juga pasti akan mendukung impianmu. Hmm, harusnya aku bercita-cita menjadi pengusaha besar seperti ayahku! Dia pasti akan mendukungku sepenuhnya." Melisa tertawa sendiri mendengar kata-kata dari mulutnya. Dia duduk di tepi ranjang tempat tidur Felix, bagi Melisa datang dan berkunjung kerumah Felix hingga masuk kedalam kamarnya adalah hal biasa.

"Apa kau tidak berniat membujuk ayahmu?" Kembali Felix bertanya.

"Tentu saja aku ingin membujuk ayahku lagi, tapi sepertinya akan sia-sia. Ayahku bukan orangtua yang dingin dan kaku. Tapi dia sangat ingin anak-anaknya menekuni dunia bisnis seperti dirinya. Mungkin bisa saja ayahku mengizinkannya tapi..." Melisa tidak melanjutkan ucapannya.

"Tapi apa?" Felix ikut duduk disamping Melisa.

"Tapi sudah tentu dia akan menyuruhku membiayai semuanya sendiri. Bahkan kak Magdad tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk membantuku." Sahutnya dengan tatapan hampa.

Felix terdiam, dia seolah tengah memikirkan sesuatu.

"Bagaimana jika aku membantu biaya pendidikanmu Melisa?" tanya Felix tiba-tiba. Membuat Melisa spontan tertawa.

"Apa kau suamiku?"

"Haaa.?" Felix tercengang mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Memangnya kau suamiku yang harus ikut membiayai hidupku? Cihh, jangan bercanda Felix. Aku jelas akan menolaknya." Tandas Melisa.

Wajah Felix lagi-lagi memerah.

"Hey, memangnya harus jadi suamimu untuk bisa membantumu!" Terlihat Felix sangat gugup.

"Sudahlah, toh tidak harus sekolah seperti itu untuk jadi koki. Aku akan tetap berusaha mewujudkan mimpiku. Toh disini ada.." Melisa menepuk-nepuk pundak Felix.

"A-ada apa?" Tanya Felix gugup.

"Ada suamiku." Melisa kembali menggoda Felix.

"Ck. Jangan bercanda.."

"Hahaha." Tawa Melisa pecah. "Tentu saja ada koki hebat yang akan memberikan semua ilmu yang dipelajarinya disekolah memasak kepadaku. Bukan begitu chef Felix?" Tanya Melisa dengan senyum sumringah. Felix tersenyum dan mengangguk pelan mengiyakan ucapan Melisa.

**

"Feliiixx..." teriak Melisa karena sejak tadi Felix terlihat melamun.

"Iyaaaa.."

"Kenapa akhir-akhir ini kau sering sekali melamun sih?" Melisa berkacak pinggang, dia terlihat memakai pakaian pelayan.

"Apa tidak papa kau justru membantuku disini?" Tanya Felix. Suasana diluar terlihat begitu ramai.

"Tentu saja! Bukankah kau masih kewalahan karena asistenmu berhalangan masuk hari ini?"

"Benar tapi tetap saja pekerjaanmu sebagai wakil CEO pasti juga sangat padat."

"Haihhh, tidak padat sama sekali. Aku hanya membantu kak Magdad, sambil sesekali menggantikannya dalam pertemuan. Selebihnya aku santai." Sahutnya.

"Permisi." Suara menggema dari pelanggan membuat Melisa gegas menuju ke sumber suara. "Sebaiknya kau fokus memasak, jangan sampai masakanmu jadi tidak enak karena terus memikirkan Pekerjaanku." Goda Melisa sambil tertawa yang dibalas senyuman hangat oleh Felix.

"Baiklah, aku akan membalas pertolonganmu hari ini." Seru Felix kemudian.

"Kenapa kau yang membawa pesananku? Bukankah sudah kukatakan aku dan teman-temanku ingin chef Felix langsung yang membawakannya kesini." Sebuah suara wanita terdengar memecah keramaian restaurant.

Seorang pelayan wanita bernama Tasya menatap takut kearah wanita yang tak lain adalah Karina. Dia memakai topi dan kacamata, membuat penampilannya terlihat berbeda dan tidak mudah dikenali.

"Nona, mohon maaf kami sedang kekurangan pegawai saat ini nona. Bahkan asisten koki pun sedang berhalangan hadir. Jadi chef Felix yang menghandle hampir semua pesanan." Tasya mencoba tetap sabar menghadapi Karina.

Karina bangkit dari duduknya, dia duduk bersama dengan teman-teman genknya. Tentu saja Karina tidak ingin kalah gengsi dihadapan temannya. Memang benar biasanya Felix yang akan langsung mengantar beberapa makanan ke meja pelanggan, khususnya untuk tamu VIP yaitu mereka yang memesan langsung tempat dan tentu saja membayar biaya reservasi lebih mahal.

"Kau pelayan, harusnya turuti saja kemauan pelanggan. Apa kau pernah dengar pepatah yang mengatakan pelanggan adalah raja?" Karina menatap sinis kearah Tasya.

"Mohon maaf Nona, chef Felix benar-benar sedang kewalahan saat ini. aku tidak bisa membiarkan chef kami mengabaikan pesanan yang lain hanya demi beberapa pelanggan saja." Tasya menjawab dengan senyum diwajahnya, tentu saja itu adalah senyum yang bercampur ketakutan.

"Waahh lihat betapa menyebalkan pelayan itu." Teman-teman Karina mulai berbisik.

Tasya melempar senyum sebelum berbalik dan mengabaikan semua protes yang ditujukan kepadanya. Beberapa pelanggan bahkan masih mengantri dan Karina justru meminta chef yang tugasnya membuat makanan justru mengantar makanan ke meja mereka.

Karina adalah wanita yang arogan, apapun yang diinginkannya harus bisa terpenuhi. Meski image itu tidak ditunjukkan kepublik, tapi seperti itulah aslinya. Karina yang geram karena ditolak permintaannya didepan teman-teman yang selama ini menyanjungnya seketika menjambak rambut Tasya yang panjang terikat.

"Aahh Nona, apa yang anda lakukan."

Beberapa orang terlihat menatap kearah mereka. Sementara Tasya terlihat menahan sakit karena dijambak oleh Karina.

"Pelayan sialan! Aku bisa membuatmu kehilangan pekerjaanmu sekarang juga."

"Ma—maafkan saya nona." Tasya memohon dengan belas kasihan.

"Bagus Karin. Memang pelayan seperti itu harus diberi pelajaran!"

"Woooww, nona Karin memang tidak bisa menahan diri yah." Suara teman-teman Karina terdengar mendukung perbuatannya. Membuat Karina semakin menunjukan kejagoan. Cengkeramannya bahkan dibuat semakin kuat.

"Kalau pelanggan menyuruhmu sesuatu, harusnya kau melakukannya tanpa banyak bacot!" Kata Karina dengan lagak sombongnya.

Tasya si pelayan mulai menangis, dia bahkan memohon ampun dan berjanji akan memanggil Felix. Tapi sebelum Karina berbuat lebih jauh Melisa segera balas menarik rambutnya.

"Aahhh!" Pekik Karina kesakitan, cengkeramannya bahkan lebih kuat dari Karina.

"Apa-apaan kau?" Teriak Karina geram. Melisa tersenyum miring, sepertinya dia siap meluapkan amarahnya.

"Hufffftt, ku pikir hanya disinetron saja ada pelanggan menyebalkan seperti ini. Ternyata didunia nyata juga ada yah?" Ucap Melisa dengan tatapan dingin dan menusuk. Karina mulai melepaskan cengkeramannya dirambut Tasya dan berganti memegangi rambutnya yang serasa hampir lepas dari kulit kepalanya karena ditarik kuat oleh Melisa.

"Lepaskan tangan kotormu itu dari rambutku sialan!" Maki Karina. Melisa menyeringai mendengar umpatan itu keluar dari mulut Karina, sepertinya dia tidak bisa lagi menahan emosinya.