webnovel

WARNA HIDUP

Awi : "Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini." Jemmy : "Orang itu bisa membuatku gila." Nathan : "Jangan melirik laki-laki lain." Vina : "Awi adalah suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku sangat mencintainya." Cerita yang sering terjadi di kehidupan. Cerita dengan berbagai rasa dan warna. WARNA HIDUP #lgbt #romance

ionnoi · LGBT+
Classificações insuficientes
17 Chs

13

~ Author Pov ~

Hari ini Jemmy sedang menunggu seseorang di stand penjual kopi di salah satu mall. Dia mengajak Awi yang daritadi hanya terdiam. Jemmy juga nampaknya tidak mencoba mencari tahu ada apa dengan Awi. Jemmy hanya fokus ke hpnya. Dia terlihat sibuk mengirim pesan dan beberapa kali menelfon seseorang. Orang yang di tunggu tak kunjung datang. Dia adalah salah satunya pemilik toko yang sulit untuk di temui. Dan mereka berjanji bertemu di mall karena orang itu sedang mengurus bisnis di sana.

"Pak rasa kopiku aneh deh," kata Awi setelah mencicipinya.

Di lidah Awi, kopi yang dia minum terasa sangat manis.

Awi tidak pernah nongkrong di mall untuk sekedar menikmati kopi mahal. Dia lebih suka kopi hitam yang pahit buatan istrinya.

"Masa sih?" tanya Jemmy yang mencondongkan badannya ke Awi lalu menyeruput kopi itu.

Tindakan Jemmy membuat beberapa pasang mata mengawasi mereka. Awi yang terkejut cuma bisa terdiam. Sedangkan Jemmy langsung membetulkan posisi duduknya. Kini mereka saling menghindari kontak mata satu sama lain. Saat itulah jantung Jemmy seakan berhenti berdetak. Dia melihat laki-laki yang mengawasinya dari kejauhan. Dia adalah Nathan. Nathan menatap Jemmy dengan pandangan tak percaya. Dengan kedua matanya sendiri dia melihat Jemmy seperti itu di tempat umum. Saat Jemmy ingin menghampiri Nathan, orang yang mereka tunggu datang. Jemmy kembali melihat Nathan yang pergi dengan menggandeng tangan seorang pria.

Mata Jemmy menyipit. Tangan Nathan yang selalu menggenggamnya kini menggenggam tangan orang lain. Berduaan di tempat umum. Saling bergandengan tangan...

Satu hari itu Jemmy bekerja tanpa bisa berkonsentrasi penuh. Dia juga membentak Awi yang melakukan kesalahan. Ini pertama kalinya dia membentak seseorang. Semarah apapun dia, dia tidak pernah membentak seperti itu.

"Siapa orang yang bersamamu tadi?" tanya Jemmy saat dia baru saja sampai di apartemennya.

Nathan duduk di lantai dan sedang menelusuri internet dengan laptopnya.

Dia tidak menjawab pertanyaan Jemmy dan itu membuat Jemmy semakin murka.

"Aku bertanya padamu..." kata-kata Jemmy akhirnya mendapat perhatian Nathan.

"Teman lama," sahut Nathan sambil menatap Jemmy.

"Teman yang bergandengan tangan di tempat umum???" seru Jemmy.

Emosi Nathan terpancing. Jika ingat apa yang dilihatnya tadi membuat sakit hatinya semakin parah. Dadanya panas tapi dia masih berusaha mengontrol emosinya.

"Aku cuma...merasa ingin pergi dari sana secepat mungkin," kata Nathan pelan.

Air matanya mulai menggenang.

Jemmy tertawa datar. Tiba-tiba dia menarik lengan kanan Nathan hingga Nathan berdiri.

"Apa yang sudah kamu lakukan dibelakangku??" pertanyaan Jemmy membuat Nathan memandangnya dengan sangat kecewa, "APA KAMU MEMBUKA KEDUA PAHAMU UNTUK LAKI-LAKI LAIN SELAIN AKU???"

Kedua mata Nathan berkedip. Air mata yang tadi menggenang kini turun membasahi pipinya.

"Apa di matamu..." Nathan masih mencoba mengatur emosinya yang sudah diambang batas, "aku...semurah itu?"

Jemmy terdiam. Wajah Jemmy terlihat merah karena emosi yang entah muncul darimana.

Jemmy cemburu.

"Sebenarnya bukan aku. Tapi kamu kan? Apa yang sudah..." air mata Nathan kembali mengalir, "kamu lakukan di belakangku? Kamu kira aku tidak tau? Kamu kira...aku tidak menyadarinya?"

Kini Jemmy membisu.

"Jadi...kenapa kamu menyalahkanku?!" seru Nathan dengan emosi yang tidak bisa dia kontrol lagi.

Pertanyaan Nathan tidak mendapat jawaban apapun dari Jemmy. Nathan menepis tangan Jemmy yang masih mencengkeram erat lengannya. Rasa kecewa menyusup lebih besar di hatinya. Membuatnya tidak tahan berlama-lama ditempat itu.

"Mau kemana kamu?" tanya Jemmy saat melihat Nathan mengambil jaket dan kunci motornya, "ini sudah malam."

"Nathan!!" panggil Jemmy.

Nathan tidak mau mendengar apapun lagi. Kini Nathan membuka pintu dan berjalan meninggalkan Jemmy.

Jemmy hanya bisa memandangnya pergi.

Untuk beberapa alasan Jemmy merasa tidak mampu menyusul ataupun menghentikan kepergian Nathan.

~ Awi Pov ~

Hari ini mood pak Jemmy benar-benar jelek. Tapi bukan hari ini saja sebenarnya. Pulang dari mall kemarin suasana hati pak Jemmy berubah. Aku tidak tahu ada apa. Tapi yang jelas, semua orang yang ada di kantor menerima dampaknya. Entah itu masalah sepele ataupun besar, pak Jemmy langsung marah-marah. Dia membentakku dan Dini karena salah tanggal saat menyetak faktur. Tommy juga kena dampaknya. Pokoknya semua kena.

"Pak Awi," panggil Bowo.

Kini Bowo berjalan mendekatiku.

Dia melihat ke ruangan pak Jemmy sekilas.

"Tolonglah pak, bapak kan dekat sama pak Jemmy. Cari tahu kenapa dia hari ini badmood banget. Kan kita yang kerja jadi nggak tenang juga. Was-was. Takut salah."

Aku terdiam.

Mau bagaimana lagi, pak Jemmy mungkin sedang kesal jadi suasana hatinya kacau. Masa iya aku harus berbicara dengannya? Lancang sekali aku mengurusi masalah orang lain.

"Biarin aja pak," kali ini Tommy ikut ambil suara, "nanti kalau pak Awi ikut-ikut malah dikira lancang."

Nah benar itu.

Aku melihat Bowo dan Dini bergantian. Hari ini memang dua orang ini yang kena sasaran amukan pak Jemmy. Aku jadi merasa kasian dengan mereka berdua. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ya sudah aku coba lihat bagaimana pak Jemmy sekarang. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku bahas sama dia?" tanyaku.

"Coba bilang ke pak Jemmy kalau masalah truk yang hilang itu sudah beres seratus persen. Bukankah itu kabar baik?" Dini memberi usul.

Ah...truk yang sempat hilang itu.

"Aku coba deh," sahutku sambil merogoh tasku.

Aku mengambil permen mint untuk diberikan pada pak Jemmy. Itung-itung ini sogokan. Aku selalu melihatnya makan permen saat menyetir. Dia bilang supaya tidak mengantuk. Entah merk apapun yang penting rasa mint. Dia bisa menghabiskan dua kotak kecil permen mint hanya untuk seharian waktu keluar dari kantor.

"Pak..." aku berjalan masuk setelah mengetuk pintu.

Pak Jemmy menatapku dan tersenyum. Aku langsung bernafas lega. Kukira dia akan menatapku dengan dingin, tapi ternyata tidak. Mungkin suasana hatinya sudah sedikit membaik.

"Ada apa Wi?" tanya pak Jemmy sambil memasukkan sesuatu ke dalam laci mejanya.

"Saya cuma mau laporan tentang truk kita yang dulu hilang," sahutku.

"Iya...gimana itu Wi? Sudah lama nggak ada kabar, aku sampai lupa," kata pak Jemmy.

"Sudah ditangani kantor pusat pak. Cuma kemungkinan kita yang ada di sini bisa kena amuk sama orang pusat."

Pak Jemmy nampak menggut-manggut tanda mengerti apa yang aku sampaikan.

Aku berjalan mendekati meja pak Jemmy lalu meletakkan permen itu di atas mejanya.

"Biar nggak ngantuk pak," kataku pelan.

Pak Jemmy tersenyum. Dia memegang tanganku lalu mengecup jari-jariku. Aku membiarkannya untuk hari ini. Cuma untuk hari ini saja. Sekilas dia biasa saja tapi ada kesedihan yang aku tangkap di raut wajahnya.

"Jarimu panjang," kata pak Jemmy.

"Dari sananya pak," sahutku pelan, "pak...apa bapak punya masalah?"

Pak Jemmy menatapku dengan sebuah senyuman.

"Nggak," sahut pak Jemmy.

Dia melepaskan tanganku.

"Nggak ada masalah apa-apa," kata Pak Jemmy lagi.

Ternyata benar, pak Jemmy tidak mau jujur padaku. Kami memang melakukan sesuatu, tapi cuma itu saja. Kami melakukannya tanpa ikatan apapun. Seperti sedang melepaskan hawa nafsu saja tanpa perasaan. Itulah yang aku yakini. Tidak ada alasan untuknya memberitahuku masalah pribadinya. Mungkin hanya aku saja yang dipenuhi rasa penasaran seperti anak remaja. Berbeda dengan pak Jemmy...entah apa yang membuatnya melakukan itu padaku. Aku ingin berbicara tentang hal ini sama dia, tapi sepertinya tidak untuk hari ini.