webnovel

2 - Jangan Pulang, tidak ada yang merindukanmu!

Mereka berdua memutuskan untuk duduk di sebuah sisi Lataran di bagian utara Helman Filiur, alun-alun Tebes yang banyak menyajikan minuman serta makanan asli dari Elma-Isi serta beberapa jajanan dari Aravia yang populer akhir-akhir ini. Tidak sulit menemukan tempat seperti ini sekarang. Konflik perbatasan yang tidak berujung antara Kekaisaran Elma Barat dengan orang-orang Hulam dan perang antar 12 suku Aravia juga belum menunjukkan akhirnya. Solusi praktis bagi mereka yang ingin menghindari konflik adalah pergi ke Liga Amal. Tentunya mereka semua datang ke tempat ini dengan membawa budaya serta tuhan mereka dan yang paling penting adalah makanan yang mereka bawa kemari.

Tentu saja kebiasaan ini tidak terjadi dalam satu malam saja. Ketika Umar Amallech berkuasa sebagai Illwa Silla Tebes, ia mengeluarkan keputusan untuk meningkatkan jalur perdagangan Tebes dengan berbagai macam daerah di Yudea. Bukan hal yang mudah tentunya ketika seluruh dunia masih menganggap mereka sebagai iblis. Seperti anjing liar yang mengeluarkan taringnya, siapa yang berani mendekatinya?

Kemudian di tahun ke-5 ketika Umar Amallech berkuasa sebagai Illwa Silla Tebes, konvoi internasional pertama datang mengunjungi Tebes yang berdiri di dalam Lembah Besnar di sisi deretan Pegunungan Pon'le. Mereka bukanlah politisi melainkan sebuahperserikatan dagang yang terdiri dari berbagai macam bangsa seperti Yagar, Aravia, Elman, Isilan, Penar, dan orang kulit hitam seperti Esam, Marlabah, Zuhban, dan puluhan orang lainnya yang berasal dari suku-suku Yudea.

Hal yang berat bagi sebuah bangsa yang terbiasa membenci untuk bersahabat. Bagi Umar Amallech hal itu bukanlah sebuah ikhtiar untuk menghilangkan kemungkaran melainkan sebuah keyakinan bahwa tidak akan ada lagi anak-anak Amal yang melihat ibunya tergantung di sisi benteng dengan mata yang dipatuk oleh burung.

Sementara mereka menunggu pelayan datang untuk melayani mereka, Hastral Loek-maur sedari tadi memperhatikan kawan lamanya yang bernama Wannel Raftel duduk dengan gugup dan berkeringat. Mereka berdua tidak lebih baik dari sebuah dongeng teman masa kecil yang melupakan sebagian besar kisah kebodohan masa kecil mereka, kenakalan masa remaja, dan kenaifan orang dewasa. Di situ mereka berdua duduk seperti tidak mengenal satu sama lain meski kenyataannya perbedaan yang paling mencolok dari mereka berdua adalah darah yang mengalir di dalam tubuh mereka.

Tidak banyak orang yang lalu lalang di siang hari itu kecuali beberapa orang asing yang tinggal di sekitar Helman Fillur dan kelompok anak-anak Amal yang tidak berdiam di dalam Akademi yang baru saja didirikan tujuh tahun yang lalu. Meski tidak terlalu banyak orang yang lewat, mereka semua menyadari bahwa orang yang duduk di teras itu bukanlah orang biasa. Mereka menyadari bahwa salah satu dari dua orang itu mengenakan jubah berwarna biru yang dirajut dengan aksen Amal berwarna emas. Ia juga mengenakan kuluk berwarna hitam yang ia letakkan di atas meja. Orang-orang yang lalu lalang hanya bisa memperhatikan mereka dengan penuh pertanyaan, untuk apa seorang Amal Adhu menikmati siang hari di tempat seperti ini?

Lawan bicaranya juga tidak sembarangan. Ia mengenakan jubah berwarna abu-abu dan rompi berwarna biru tua dengan pin yang meletak di dadanya yang menandakan bahwa ia merupakan seorang prajurit Liga Amal yang pernah berjasa bagi satuannya. Selain itu ia juga masih mengenakan Gazir—tas selempang berisi bubuk mesiu—di dadanya. Seorang prajurit elit sedang duduk menikmati siang hari bersama dengan seorang yang berasal dari kelompok elit di Tebes.

Tetapi meski begitu siapa yang tahu apa yang dirasakan oleh Wannel? Setelah dua tahun pergi meninggalkan Tebes, seluruh bagian dari kota ini terasa asing baginya. Baginya dua tahun terasa sangat panjang dan malah mendekati keabadian. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan kembali ke Tebes. Seluruh kawannya kini berpencar dan dipindahkan ke seluruh penjuru wilayah di dalam Liga Amal dan hanya dia yang dapat kembali ke tempat kelahirannya setelah mengabdi bagi Thrisna Liga Amal dalam dua tahun. Pikirannya campur aduk seperti tidak percaya. Aroma kota menjadi hal yang asing dan bau tanah dan mayat yang bergelimpangan di depan matanya adalah sebuah kewajaran. Melihat kedamaian yang ada di Tebes sudah barang tentu adalah yang hal yang menjadi asing baginya.

Bagi Hastral yang tidak mengetahui apa yang dialami oleh Wannel, ia hanya bisa melihat rasa gugup dan tidak nyaman yang berasal dari Wannel. Aneh sekali, pikirnya, seorang prajurit yang menghabiskan dua tahun di wilayah perbatasan dengan peluh keringat dan bau anyir darah merasa linglung di dalam kota yang tenang seperti Tebes? Hastral tentu tidak mengerti perasaan Wannel sebagai seorang prajurit tetapi sebagai seorang pengarah kota, ia mengerti satu hal bahwa apa yang dianggap wajar oleh Hastral menjadi ketidakwajaran bagi Wannel. Perasaan sukacita yang dialami oleh seorang ibu yang berhasil melahirkan anaknya adalah sebuah dukacita bagi Wannel. Anakmu akan menjadi aku yang tidak bahagia, harapnya.

"Hei," Hastral membuka pembicaraan dengan Wannel, "kenapa diam saja?"

"Aku hanya merasa asing dengan tempat ini. Dulu tempat ini tidak ramai. Dulu orang-orang sudah pergi ke ladang mereka masing-masing dan baru kembali di sore hari."

"Ya, tempat ini sekarang lebih ramai daripada dua tahun yang lalu. Sekarang orang-orang Aravia banyak tinggal di daerah ini. Beberapa orang Amal malah lebih menyebut tempat ini sebagai Helman Aravia. Lagipula memang orang Amal tidak banyak tinggal di tempat ini, kan?" kata Hastral untuk menjelaskan kepada Wannel.

"Berarti orang-orangnya Halim bersaudara masih berkeliaran mengejar orang-orang Aravia ya?" tanya Wannel.

"Tentunya. Dua belas suku Aravia tidak pernah saling menguasai satu sama lain. jadi mereka bangsa yang bebas dulu. Yah, tapi beberapa orang memang terlahir dengan rasa egois yang besar, ya. Aku tidak bisa menyalahkannya sih."

"Aku juga tidak bisa."

"Karena kita berdua tidak lebih baik dari si Halim bersaudara, kan."

"Mungkin lebih buruk."

Pelayan datang menghampiri mereka untuk bertanya apa yang ingin mereka pesan.

"Kalian punya bebek yang akhir-akhir populer?" tanya laki-laki dengan aksen ketimuran itu. Pelayan itu mengiyakan lalu kembali bertanya minuman apa yang akan ia pesan. "Aku minta yang sedang populer akhir-akhir ini juga. Kau tahu kan, Teh itu?"

Setelah mencatat pesanannya, pelayan itu kemudian bertanya kepada teman laki-laki itu yang sedari tadi duduk dengan tidak nyaman dan gelagatnya sangat kaku mengesankan kegugupan yang hanya bisa disembuhkan dengan suara pelan dan tidak mengintimidasi. "Aku pesan yang sama dengan temanku ini," katanya tanpa basa-basi lagi. Pelayan itu meninggalkan mereka berdua dengan senyuman dan kembali ke dalam Latarannya.

"Kau aneh banget. Seperti tidak pernah ke Tebes saja," kata Hastral menyindirnya.

"Dua tahun, Hastral. Dua tahun tidur di tanah. Dua tahun melihat kematian." kata Wannel menyanggah kawan lamanya itu.

"Aku pikir kau ditempatkan di Gresnot. Aku agak kaget juga sih ketika aku mendengar bahwa kau akan tinggal di Tebes."

"Aku memang di Gresnot selama 3 bulan. Illwa Silla Gresnot sudah hampir mati ketika aku datang ke sana. Tetapi baru 3 bulan di Gresnot, aku mendapatkan pemberitahuan dari Fynall Marte Gresnot bahwa aku akan dipindahkan ke Tebes."

"Sangat mendadak sekali, ya."

"Jujur saja, aku sangat senang bisa kembali ke Tebes. Aku tidak pernah menyangka pilihanku untuk menjadi prajurit Amal akan membuatkan menderita seperti ini."

Sudah dua tahun lebih mereka tidak bertemu. Sejak Wannel memutuskan untuk mendaftar sebagai seorang prajurit Liga Amal, dia selalu berpindah-pindah tempat dan tidak pernah berada di satu tempat yang sama selama tiga bulan. Tahun pertamanya banyak ia habiskan di daratan Munkar di mana jumlah orang yang dikubur di sana jauh lebih banyak dari pada orang yang tinggal di sana.

"Aku tidak pernah ke Gresnot, sih. Orang bilang di sana hanya ada daratan kosong saja. Para petani saja tidak bisa menanam apapun di sana. Memangnya itu benar, ya?" tanya Hastral.

"Tidak salah sebenarnya. Makanya selama aku di sana itu benar-benar hari-hari yang menyedihkan. Namanya juga kota tambang, kenapa aku harus berharap bisa makan makanan yang enak."

"Jujur saja aku senang kau akhirnya dipindah tugas kembali ke Tebes."

"Aku hanya sebentar di sini Hastral. Mungkin hanya tiga bulan saja."

"Memangnya Fynall Marte sudah memberitahumu kalau kau akan disini selama tiga bulan?"

"Firasatku, Hastral. Itulah yang kulatih selama aku menjadi seorang prajurit. Tanpa firasat yang kuat, kematian adalah sebuah konsekuensi yang pasti akan terjadi."

"Dan setelah ini, kau akan dipindah ke mana?"

"Entahlah. Mungkin kembali ke Gresnot. Mungkin dilempar jauh ke Sellusia. Kudengar di sana kota pelabuhan jadi di sana banyak sekali ikan yang bisa dimakan di dekat pelabuhan."

Pelayan itu kembali datang ke meja mereka berdua dengan membawa minuman yang telah mereka pesan sembari menuangkannya ke dalam gelas mereka masing-masing. Hastral mengucapkan terima kasih kepada pelayan itu dan mengajak Wannel untuk menikmati minumannya.

"Kau tahu, aku benar-benar benci kalau harus mengatakannya. Tetapi aku pribadi mulai menikmati kehadiran orang-orang Aravia seperti ini di tengah-tengah kita. Makanan mereka benar-benar enak dan minuman ini, kau tahu? Ini adalah teh."

"Kau benar Hastral, ini benar-benar enak."

Mereka berdua terdiam. Tidak ada yang ingin melanjutkan pembicaraan karena mereka tahu alasan kenapa mereka terdiam.

"Apa kau sudah mendengar kabar jalanan, Wannel?" tanya Hastral.

"Tentang siapa?"

"Tentang Hamar," ujar Hastral. Wannel mengernyitkan dahinya. Ia bisa merasakan arah yang hendak dituju oleh Hastral. "Kau sudah dengar kan? Seharusnya militer memiliki opini yang kuat tentang Hamar e Tominum—Reformasi Hamar."

"Aku tahu arah pembicaraan ini apa. Tetapi aku tidak bisa berbicara banyak tentang hal ini, Hastral. Kalau sampai barak mendengar hal ini, aku bisa dipancung di depan umum."

"Tetapi Hamar bisa mengumumkannya kapan saja dia mau. Mungkin besok. Mungkin juga besok lusa. Keluargaku sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Semua prajurit Loek-maur sudah siap untuk dikirim kapanpun Thrisna Riyal mengangkat panji Liga Amal. Aku hanya merasa—"

"Ragu, kan?" sela Wannel.

"Tentu saja. Aku tidak bilang aku tidak setuju dengan Hamar. Tetapi itu terlalu kejam. Hari ini aku bisa memakan makanan Aravia dan mengenakan kuluk yang dirajut oleh orang Yagar. Dokter-dokter yang sekarang tinggal di Amal bahkan tidak memiliki darah Amal."

Membicarakan Hamar Amallech benar-benar berat bagi mereka berdua. Apa yang akan dilakukan oleh Hamar tentunya bukanlah hal yang akan dipuji oleh para imigran yang terus berdatangan ke Silla-silla Amal. Konflik di seluruh Yudea terus berlangsung hingga hari ini. Ketika konflik itu terus berlangsung tanpa adanya tanda-tanda akan berhenti, dimanakah Amal akan berpijak?

"Hamar bukan orang bodoh, Hastral. Tidak ada Silla di seluruh Tebes yang bisa menandingi Hamar sekarang. Coba kau beri tahu aku, siapa orang di seluruh Amal yang memiliki kemampuan seperti Hamar? Kau pikir si pemabuk Gundar itu bisa? Apa jangan-jangan kau ingin menjadikan Yarval yang meniduri kakak perempuannya sendiri itu bisa mengangkat senjata? Meskipun aku rasa Jylla si pemarah itu bisa memimpin orang, siapa yang mau mengorbankan dirinya demi orang bangsat seperti dia?"

Hastral telah menghabiskan makanannya dan memanggil pelayan itu untuk mengambil piring dari mejanya. Sementara Wannel belum bisa menghabiskan makanannya itu meskipun ia harus mengakui bahwa ini adalah makanan terenak yang bisa ia nikmati setelah 2 tahun ini. Namun ia telah kehilangan selera makannya.

"Kau tidak menghabiskan makananmu?"

"Aku tidak bisa menikmatinya."

"Wannel," kata Hastral sambil memiringkan kepalanya, "kau benar-benar sudah berubah ya."

Ia terdiam. Mulutnya tak mampu membalas Hastral. Dua tahun telah Ia lewati. Setiap malam ia hanya bisa berpikir bahwa ia tidak akan lagi melihat hari baru. Ia bisa mati kapan saja. Ia mungkin tidak akan pernah bisa pulang kembali ke Tebes. Mungkin jika ibunya meninggal, ia tidak akan pernah mengetahuinya dua minggu kemudian.

"Perang merubahku, Hastral. Semuanya merubahku."

"Wannel, hati-hati berbicara di sini. Kau tidak ingin keceplosan, kan."

"Tidak perlu kau jelaskan, pun aku sudah mengerti. Tidak ada orang yang bisa mengerti apa yang telah kulakukan selama ini."

"Aku hanya mendengar, Wannel. Aku hanya mendengar. Dan apa yang kudengar tentangmu selama ini bukanlah hal yang bagus. Yang kau lakukan bukan hal yang membanggakan tetapi dibutuhkan dan kau salah satu dari sedikit orang Amal yang masih mau melakukan hal itu—"

"Kau pikir aku mau?" ia mulai menaikkan suaranya. "Kau pikir aku menginginkan semua ini?"

Menanggapi Wannel, Hastral tidak ingin menaikkan suaranya. Justru ia berusaha menenangkan Wannel dengan menurunkan suaranya, melembutkannya, dan memintanya untuk menenangkan diri, "Wannel, aku memang tidak tahu apa yang kau alami di sana. Kau bisa menghajarku di sini kalau apa yang aku katakan saat ini menghinamu atau menyinggungmu. Tetapi kau harus ingat, bahwa hari di mana kau memilih untuk menjadi seorang prajurit Amal, kau datang menemuiku, menangis kepadaku sambil memohon agar aku merawat ibumu. Hingga hari ini aku tetap melakukannya. Oleh karena itu, aku mohon, Wannel, tenanglah."

Mendengar Hastral masih menjaga janjinya, Wannel menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya selama beberapa kali. Ia mengusap mukanya dengan tangannya. Sekilas Hastral dapat melihat tetesan air keluar dari tangan itu.

"Wannel, aku sangat senang kalau kau sudah kembali ke Tebes. Aku hanya ingin mengatakan itu. Tetapi kita berdua tahu jika Hamar sudah melaksanakan Tominum-nya, kita tidak bisa melakukan apapun—"

"Ultaira ada di Tebes sekarang," potong Wannel. Mendengar hal itu, Hastral sangat terkejut mendengarnya.

"Ultaira? Di Tebes?" Wannel mengangguk saja tanpa berkata apapun. "Kenapa? Kenapa dia ada di sini?"

"Hastral, aku tidak bisa menjelaskan secara rinci apa yang akan dilakukan oleh Hamar, tetapi aku bisa mengatakanmu bahwa peran Ultaira sangatlah penting untuk menyukseskan rencana Hamar. Apa yang aku bisa kukatakan padamu adalah bahwa Jika reformasi ini dimulai, maka kita akan kembali ke era 135 tahun yang lalu. Sejarah dengan tinta darah akan dimulai lagi."

"Dan 'Darah perawan akan dituangkan ke dalam cawan para pejuang yang akan berpesta dibawah bara api matahari', begitu kan?"

"Ultaira akan menjadi tanda dimulainya era reformasi yang baru. Hamar akan mandi dengan darah anaknya sendiri."