webnovel

Wanita Club' Malam

Kasih sayang orang tua yang layaknya di dapatkan oleh anak-anak, bahkan hal ini tidak memiliki batasan namun, sayangnya ia dan sang adik tak seberuntung seperti anak-anak lainnya. Elina masih belum paham akan kehidupannya sekarang dengan sekejap mata hancur bahkan keharomonisan tak lagi ada dalam keluargannya. Ketika ketukan palu di bunyikan, detik itu juga hati seoarang anak hancur melihat orang tua yang selama ini menjadi dambaan dan panutan sudah tak bersama lagi. Apalagi perpisahan mereka hanya di karenakan orang ketiga dalam kehidupan masing-masing. Kebutuhan yang memuncak dan mengharuskan dirinya untuk membiayai adik bungsu yang berada di jenjang pendidikan hingga membuat Elina merasa buntu dan memilih untuk menjadi pelayan di club malam. Bukanlah sebuah pekerjaan yang menyenangkan baginya, namun keadaan yang mendesak dan hanya disana, ia mampu mendapatkan gaji tinggi. Di pertemukan dengan Bryan bukanlah suatu rencana hingga keduanya terikat dalam hubungan yang tak jelas. Kehadiran Bryan begitu penting dalam hidup Elina dimana, wanita itu mampu mendapatkan perhatian dan kasih sayang setelah kehilangan semuanya. Meskipun, terkadang Elina merasa sadar bila Bryan sudah memiliki calon yang lebih baik darinya. Perjodohan Bryan bukanlah suatu hambatan untuknyai berhenti bertemu dengan Elina, “Sampai kapan pun, aku tak akan melepaskamu Elina!” cetus Bryan dengan tatapan tajam. Ucapan singkat namun, selalu tengiang dalam telinga Elina.

Magic_Sun_Sun · Adolescente
Classificações insuficientes
26 Chs

Tak Ingin Jauh

Setelah apa yang terjadi kemarin, Elina benar-benar butuh waktu untuk sendiri dan mencoba untuk tetap kuat dengan keadaan yang ada.

Hatinya amat sakit, saat mengingat apa yang telah dikatakan oleh lelaki paruh baya itu, yang tak lain adalah papa kandungnya sendiri.

Dan belum lagi, ntuk meyakinkan hati Sindy bahwa semuanya tetap baik-baik saja. Elina ingin bila pikiran adik bungsunya hanya tertuju pada pendidikan dan tak ada yang lain dari hal itu.

Otaknya sama sekali tak bisa berpikir dengan jernih, kini semangat kerja pun juga tak ada, mengingat bahwa kebutuhan Sindy adalah tanggung jawabnya, tak ada pilihan lain lagi untuk Elina. Menghindari pekerjaanya.

Berhubung kontrakan Elina berada di lantai dua, memudahkannya untuk melihat suasana di setiap harinya. Lampu putih menerangi setiap sudut perumahan. Dan langit yang biru sudah tertutup oleh bintang dan bulan yang gemerlap.

*Ting*

Suara pesan masuk, ponsel yang berada di tangan Elina. Segera di bukannya dan membaca dekskripsi apa yang masuk.

"Bryan? Ngapain dia kesini?" batin Elina, bingung saat membaca pesan di ponselnya.

*Tok Tok Tok*

Baru saja selisih 5 menit Elina membaca pesan masuk. Tiba-tiba ketukan pintu sudah terdengar.

"Pasti itu Byan," ucapnya, berjalan ke arah pintu.

*Krekkkk*

"Kamu ngaap-pp," putus Elina, menatap lelaki itu yang langsung masuk begitu saja tanpa ada kata permisi.

"Aku bete di rumah, temani aku ya," pinta Byan, sambil mendaratkan pantatnya di sofa kecil milik Elina.

"Kamu enggak usah kerja, oke. Aku butuh kamu," ucap Byan, menatap wanita yang berada di depan matanya.

Elina hanya membalas dengan senyuman tipis, karena hari ini memang tak ada semangat untuk dirinya kerja. Apa lagi mengingat yang telah terjadi kemarin membuat beban pikirannya terutama pemikiran Sindy.

"Kamu kenapa? Kok enggak asyik banget sih?" tanya Byan, merasa tak nyaman atas responan Elina.

"Enggak kok, aku baik-baik aja," jawab Elina tersenyum lebar.

Namun, hati Byan merasa tak percaya dengan penuturan Elina. Semua penjelasan yang keluar dari mulut wanita tersebut, ia merasakan ada hal yang menjanggal.

"Kamu jangan bohong, kamu ada masalah?" tanya Byan lagi, kini posisinya semakin dekat. Bahkan hanya tersisa jarak 3 cm antar wajah Elina dan Byan.

Byan menatap lekat wajah Elina yang tepat ada di depan matanya, tanganya memegang erat tangan wanita club ini.

"Katakan apa masalahmu, aku peduli denganmu," ucap Byan.

"Ihhh, lepasin aku enggak bisa nafas," dengus Elina, seketika mendorong tubuh kekar Byan, hingga membuat dia hampir saja tersungkur.

"Dasar wanita batu, ini namanya perhatian, orang mau sweet, main dorong-dorong aja," celetuk Byan, sedikt kesal.

"Udah, Isa. Kalau ada masalah cerita sini sama kamu, kamu juga selalu peduli sama aku," ungkap Byan, menarik tangan wanita club tersebut.

"Jangan sungkan," lanjut Byan, sambil tersenyum menatap wajah Elina yang tampak murung.

"Aku lagi ga mood, lagi banyak pikiran," gumam Elina.

"Kenapa? Cerita dong, jangan di pendem sendirian," lanjut Byan.

"Papa sama mama aku cerai, dan Sindy sekarang tanggung jawab aku. Semua keperluan dia aku yang harus penuhin, aku pusing Byan," ungkap Elina.

"Heii! Isa. Jangan gitu dong, kan disini ada aku. Selagi ada aku disisi kamu, akan selalu baik-baik saja," ucap lelaki tersebut, sembari mengarahkan kepala Elina hingga menatap matanya.

"Kamu kenapa selalu nempel sama aku, di luar sana kan banyak wanita yang lebih baik dan cantik dari aku," ucap Elina.

"Yaa, aku nyaman sama kamu. Dan aku maunya kamu," jawab Byan.

"Udah ah, jangan bahas begituan. Yang penting saat ini aku cuma mau sama kamu," lanjut Byan, tersenyum.

Rasa nyaman yang di ucapkan oleh Bryan ialah salah satu timbul pengharapan pada hati Elina. Tetapi, ia tak ingin terlalu begitu dalam.

Melihat bibit, bebet, dan bobot. Bryan dan dirinya, membuat wanita club tersebut membatas hatinya dalam menanggapi ucapan lelaki ini.

Bisa saja, Bryan merasa nyaman disini. Namun, saat berpindah tempat rasa nyaman itu ikut juga berpindah pada wanita lain.

"Muachhhh," kecup Bryan, pada kening Elina.

"Buat happy aja, kamu juga harus mikirin adik kamu kan? Jangan sampai dia ikutan sedih juga," tutur Bryan, kedua tangannya memegang kepala Elina, dan mata keduanya saling beradu.

"Thanks, Byan," ucap Elina, dengan langsung memeluk lelaki tersebut dengan erat.

Entah sebutan apa yang pantas untuk hubungan mereka berdua ini, rasa nyaman saling tumbuh. Namun, tak ada dasar yang melandasinya.

Bagi Elina saat ini cukup sewajarnya saja, tak perlu berlebihan bila jatuh. Pasti akan sangat sakit sekali, apa lagi beban di pikirannya sudah banyak.

"Sudah-sudah, jangan di pikirkan. Kan, aku ada disini yang pastinya aku akan membawa kebahagian untuk kamu," ungkap Byan.

Elina hanya memberikan senyuman tipis, karena memang saat ini tak ada yang baik bagi kehidupannya.

"Aku mau ke minimarket dulu," ucap Isa,

"Ngapain?" Dengan sigap Byan menahan Isa, hingga membuat wanita tersebut menghentikan langkahnya.

"Bahan makanan sudah habis, dan aku lapar," sahut Isa, bermuka masam.

"Ya sudah, aku antar saja ya," tawar Bryan sambil tersenyum.

"Ya sudahlah ayo," jawab Isa.

"Ehhh, tapi kalau ada yang lihat kita berdua gimana?" dengan wajah yang ragu, Elina langsung menatap Bryan yang berada di belakangnya.

"Ya sudahlah tak apa, kamu enggak usah takut,"

"Kamu beneran? Siapa tau ada yang lihat kamu jalan sama aku jadi masalah,"

"Udahhh, jangan berpikiran seperti itu. Di luaran sana enggak ada yang kenal sama aku," ungkap Bryan, tanpa pikir panjang lagi lelaki tersebut langsung menarik tangan Elina, dan masuk ke dalam mobil.

Bagi Bryan, wajar saja jika Elina sampai berpikiran seperti itu. Karena, memang di luaran sana mukanya sudah pasaran dan banyak di kenali orang-orang. Apa lagi yang menjadi karyawan papa dan mamanya, sudah tak bisa di pungkiri lagi.

"Udah, jangan takut. Selagi aku bilang aman, ya akan tetap aman," ucap Bryan, matanya beralih menatap Elina yang duduk di sampingnya.

Tak ada perkataan yang keluar dari mulut wanita tersebut, dia hanya tersenyum tipis. Lalu mengeluarkan hembusan nafas yang berat.

Setelah sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mereka berdua pun sampai di minimarket.

"Kamu di mobil aja, aku enggak lama kok," pinta Elina.

"Kenapa, aku juga mau masuk kedalam," sela Bryan.

"Udah, di dalam aja. Aku enggak lama kok, emangnya kamu mau apa?"

"Aku ikut, titik!" tegas lelaki tersebut.

Dengan wajah yang masam, dan tak bisa menyangkal permintaan Bryan. Elina pun menuruti saja apa yang lelaki tersebut inginkan.

Sikap Bryan saat bersama dengan Elina, terkdang suka berubah seolah menjadi anak kecil yang di manja oleh ibunya. Rasa nyaman itu, hanya Bryan temukan saat bersama dengan Elina saja, walapun tak ada status apa pun di antara dirinya dan wanita itu.

Namun, Bryan cukup nyaman dengan deketan ini.

"Ya ampun Bryan, kamu ngambil banyak banget sih! Itu namanya pemborosan," omel Elina, saat melihat lelaki di depannya, membawa sekeranjang penuh makanan ringan.

"Bodo," jawab Bryan, langsung menuju ke kasir.

Mata Elina yang menatap Bryan dari belakang hanya bisa geleng-geleng sendiri, upanya untuk mencegah lelaki tersebut tak akan ampuh.

"Dasar, kepala batu," ucap Elina tersenyum, lalu berjalan membuntuti Bryan.