Alden bergegas menghampiri Alenta lalu menarik tangan gadis itu.
"Kita harus keluar darisini!"
Alenta menatap bingung pada Alden, "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat panik?" Tanya Alenta dengan alis terangkat. Ia merasa heran melihat raut wajah Alden yang tegang.
"Ada banyak pria yang mencari keberadaan kita di rumah sakit, kita harus pergi," jelas Alden pada Alenta.
Alenta terkejut mendengar perkataan Alden, ia menatap pusara ibunya ragu lalu berkata pada Alden, "Tunggu sebentar,"
Alden menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangan tangannya. Alenta mundur untuk kembali mengusap pusara ibunya, ia menggenggam nisan sang ibu dengan perasaan berkecamuk lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Ma, aku pasti akan membalas semua kesakitan yang Mama rasakan, aku janji,"
Setelah mengatakan itu, Alenta berbalik dari makam Ibunya lalu berjalan ke arah Alden. Mereka terus berjalan hingga meninggalkan area pemakaman. Alenta mengepalkan tangannya kuat-kuat di samping tubuhnya. Demi ibunya, demi anaknya yang telah dibunuh oleh keluarga Herenson, ia akan membalas semua rasa kesakitan ini berkali-kali lipat pada mereka. Mereka harus merasakan kehancuran di dalam keluarganya seperti yang ia rasakan. Ia berjanji akan membalaskan dendamnya apapun yang terjadi. Pasti.
****
"Tidak ada siapa-siapa, Bu. Wanita itu tidak ditemukan di rumah sakit maupun di pemakaman" ungkap pria bayaran yang diperintah oleh Lauren.
Lauren berdecak mendengar laporan ketua preman yang ia sewa. Ia melempar ponselnya ke meja dengan keras. Siapa sebenarnya orang yang mencari informasi soal Ibu Alenta? Gara-gara pekerjaan anak buahnya yang tak benar ia harus kembali kerepotan mengurus satu orang. Jasad Alenta seharusnya ditemukan saat media melaporkan soal kematiannya, namun itu tak terjadi hingga esok menjelang. Lauren menjambak rambutnya dengan keras. Jika Alenta masih hidup maka Richard Herenson pasti akan menjadikannya mayat sebagai pengganti Alenta. Lauren bergidik, bagaimanapun keadaannya ia harus segera menemukan Alenta baik hidup atau mati.
****
Alden memilih membawa Alenta ke rumahnya alih-alih kembali ke rumah sakit. Mata Alenta melebar melihat rumah megah bernuansa putih di hadapannya. Ia menatap sekeliling rumah itu. Rumah yang besar, namun letaknya terpencil dan jauh dari keramaian.
"Rumah siapa ini?" Tanya Alenta bingung.
Alden melepaskan sabuk pengamannya lalu keluar dari mobil.
Masih dengan wajah bingung, Alenta mengikuti langkah Alden.
"Ini rumah peninggalan ibuku yang telah direnovasi,"
Alenta tersentak mendengar penuturan Alden. Ia menatap Alden dengan tatapan menyesal lalu bertanya dengan nada lirih, "Ibumu sudah meninggal?"
Alden menganggukkan kepalanya, "Aku sebatang kara karena itu kau bisa tinggal disini untuk sementara waktu," ujar Alden lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke rumah itu.
Alenta sedikit ragu untuk mengikuti saran Alden. Namun, mengingat banyak orang yang tengah mencarinya di luar sana membuatnya tidak punya pilihan lain. Dengan langkah yang diseret, ia mengikuti Alden dari belakang.
Alden membuka kunci pintu rumah itu lalu mereka melangkahkan kaki untuk masuk kesana.
Mulut Alenta setengah terbuka melihat penampakan rumah itu. Meski furniturenya masih terlihat kosong, tapi rumah itu memiliki desain interior yang sangat mewah dan elegan. Tidak disangka ternyata Alden merupakan orang dari kalangan berada.
"Sepertinya rumah ini ditinggalkan dalam waktu yang lama," komentar Alenta melihat banyaknya debu yang berkumpul di sekitar mereka.
"Rumah ini tidak pernah ku tinggali," lirih Alden. Ia membuka kain-kain yang menutupi kursi, menghalau debu-debu disana lalu mempersilahkan Alenta duduk, "Duduklah,"
Alenta mengangkat alis mendengar perkataan Alden. Ia sangat menyayangkan karena rumah besar dan megah seperti ini malah tidak berpenghuni.
"Aku akan menyiapkan kamar untukmu,"
"Eh? Tapi apa tidak apa-apa jika aku tinggal disini?" Tanya Alenta masih merasa sungkan dengan tawaran Alden.
"Tidak apa-apa, kau lebih aman disini. Tempat tinggal Selly berada di keramaian kota, mereka akan mudah menemukanmu jika tinggal disana," tutur Alden tanpa beban.
Alenta menggigit bibirnya mendengar penuturan Alden, ia merasa rikuh karena harus tinggal dengan seorang pria.
"Kenapa? Apa kau keberatan jika harus tinggal dengan seorang pria?" Tebak Alden.
Alenta terperanjat mendengar perkataan, ia lantas mengangkat tangannya lalu berkata, "Tidak apa-apa. Kurasa aku hanya tidak terbiasa," ucap Alenta.
"Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu, aku berjanji. Lagipula mungkin aku akan jarang berada dirumah,"
Alenta segera memasang wajah bersalah saat Alden mengatakan hal itu. Ia merasa menjadi seseorang yang tak tahu terimakasih karena bersikap seperti tadi.
"Maafkan aku, ini situasi yang canggung bagiku. Aku akan tinggal disini tanpa membuatmu repot. Kalau begitu, aku akan mulai bersih-bersih," ucap Alenta lalu bangkit berdiri.
Alden segera menghampiri Alenta lalu memintanya untuk duduk kembali, "Tidak, kau baru pulih, aku akan menyiapkan semuanya. Jangan khawatir," gumam Alden sambil tersenyum.
Alenta membalas senyum Alden lalu kembali duduk. Ia menghela nafasnya membiarkan Alden mulai terlihat sibuk menata ruangan.
"Tapi kenapa mereka bisa tahu tentang rumah sakit itu?" Tanya Alenta heran saat Alden berada di hadapannya.
Alden mengangkat wajah dari aktivitasnya lalu menjawab pertanyaan Alenta, "Aku baru di kabari oleh Selly, ternyata rumah sakit tempat ibumu dirawat dikepalai oleh Lauren. Sepertinya Richard sengaja mencari Lauren dan memerintahkannya untuk mengaborsimu agar semua rencananya berjalan dengan lancar. Jika kau masih hidup, maka ia mempunyai rencana lain untuk mengancammu agar menurutinya,"
Alenta terperangah mendengarnya, ia tidak menyangka bahwa Richard selicik itu.
"Dan sepertinya kematian ibumu berhubungan dengan itu, Alenta,"
Alenta terhenyak mendengar perkataan Alden yang terakhir. Ia berpegangan ke tumpuan meja untuk menahan tubuhnya yang terasa limbung sejenak karena terlalu terkejut.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Alden cemas lalu menghampiri Alenta.
Mata Alenta mengerjap beberapa kali, mencoba menghilangkan rasa pusing dalam kepalanya. Setelah beberapa saat, Alenta mengangkat tangannya, "Aku baik-baik saja," lirih Alenta.
Alden menghela nafas lega melihat keadaan Alenta, ia kembali berdiri.
"Sebaiknya kau kembali berbaring," saran Alden melihat kondisi wajah Alenta yang masih pucat.
Alenta menganggukkan kepalanya, ia membiarkan tubuhnya dipapah oleh Alden menuju kamar.
Alden membaring tubuh Alenta dengan perlahan.
"Alden, aku harus membalaskan semuanya pada keluarga Herenson. Mereka bukan manusia," geram Alenta dengan mata berkilat penuh amarah.
Alden mengangguk paham mendengar ungkapan perasaan Alenta. Gadis itu pasti merasakan dendam yang amat besar pada keluarga Herenson.
"Aku tahu Alenta, aku tahu. Aku mengerti semua perasaanmu." jawab Alden dengan penuh pengertian.
"Tapi bagaimana caranya aku menghadapi keluarga yang penuh dengan kekuasaan itu?" lirih Alenta putus asa. Hatinya serasa disayat saat tahu penderitaan seluruh keluarganya diakibatkan oleh ulah keluarga Herenson. Ibunya meninggal sia-sia karena kebodohannya yang terlalu mempercayai manusia licik itu.
Alden kembali menatap Alenta dengan tatapan iba. Entah kenapa ia merasa ikut perih melihat penderitaan yang dialami gadis itu. Kilatan peristiwa yang menimpa Alenta hampir sama dengan peristiwa yang terjadi pada Ibunya beberapa tahun yang lalu. Alden mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia berjanji akan membantu Alenta apapun yang terjadi. Alden menggamit bahu Alenta lalu menatapnya lekat-lekat.
"Alenta dengar, aku akan membantumu. Akan ku cari tahu cara untuk membalas segala perbuatan mereka padamu. Akan ku pastikan mereka membayar semua rasa sakit yang kau rasakan hari ini. Untuk itu, kau harus segera pulih dan membalas mereka semua,"
Alenta mengangguk dengan yakin, dadanya terasa terbakar mendengar perkataan Alden. Ia pasti akan membuat mereka membayar semua kesakitan ini bagaimanapun caranya. Harus.