Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia mengerjap memandang sekeliling lalu tatapannya berubah menjadi waspada saat ia melihat sekeliling ruangan itu berwarna putih, jelas-jelas ini adalah rumah sakit.
Tidak, ternyata dia belum keluar dari neraka ini. Ia melirik pisau buah di samping nakas, Alenta segera mengambilnya lalu ia sembunyikan pisau itu dibalik selimut.
Alenta mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kamar, ia kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Pintu kamar Alenta dibuka, jantungnya berdegup kencang, bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini.
"Kurasa dia akan sadar hari ini,"
"Baguslah kalau begitu,"
Suara seorang wanita dan pria. Alenta memegang pisau itu dengan erat. Ia sudah siap.
Alenta bangkit dari tidurnya, ia menarik tubuh sang wanita lalu mengancam lehernya dengan pisau.
"Nona, tenang," ucap si pria mengangkat sebelah tangannya. Si wanita terlihat akan menangis melihat ancaman dari Alenta.
"Jangan mendekat!" Ancam Alenta. Ia semakin mendekatkan pisau itu pada tubuh si wanita.
"Kau Lauren bukan?" tanya Alenta pada si wanita.
"Bukan, aku bukan Lauren."
"Nona, sebentar dengarkan kami dulu, sepertinya kau salah paham," ucap si pria berusaha menenangkan Alenta.
Alenta mendengus mendengar perkataan si pria. Mereka kira ia akan percaya begitu saja pada ucapan mereka.
"Kau bisa memeriksa kartu identitasku di leher, aku bukan Lauren!" Protes si wanita bersikeras.
Alenta menelisik wajah wanita itu kembali dengan lebih seksama, ia kemudian mencoba mengambil kartu identitas di leher wanita itu.
Si pria tidak melewatkan kesempatan, ia menerjang tubuh Alenta untuk merebut pisau itu lalu mengunci tangannya, membuat si wanita akhirnya terbebas dari cengkeraman Alenta.
"Lepas! Kalian membohongiku kan? Lepaskan aku! Akan aku bunuh wanita bernama Lauren itu," pekik Alenta, ia mencoba berontak dari genggaman Alden.
"Aku akan melepaskanmu, tapi kau harus tenang. Dengar, kami bukanlah orang-orang kau sebutkan itu," sahut si pria bersikeras.
Alenta tidak percaya, ia tidak akan tertipu lagi.
"Ya, aku dokter disini dan aku bukan Lauren, kau bisa memeriksa identitasku. Ini ponselku, kau boleh menghubungi polisi jika kami menyakitimu," ucap si wanita lalu mendekatkan ponselnya di samping ranjang.
Melihat si wanita melakukan itu, Alenta menjadi ragu, pandangan matanya berubah menjadi tenang kembali. Si pria melepaskan kunciannya pada tangan Alenta.
"Kalian bukan orang suruhan Richard?" Tanya Alenta memastikan.
Si wanita menghela nafasnya lega melihat Alenta sudah tenang, ia menggelengkan kepalanya, "Bukan, aku dokter Selly, dia temanku Alden, dia yang menemukanmu tergeletak di pinggir pantai," tunjuk Selly pada Alden.
"Ya, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku yang membawamu kemari, Selly yang merawatmu," timpal Alden,
Wanita bernama Selly itu menunjukkan kartu identitasnya, "Nah benar bukan? Aku Selly bukan Lauren seperti yang kau kira," jawab Selly dengan tersenyum.
Alenta merasa malu mendengar penuturan mereka karena ternyata ia sudah salah paham, "Maafkan saya," gumamnya pelan.
Selly mengangkat sebelah tangannya, "Tidak apa-apa. Wajar jika kau mencurigai seseorang dalam keadaanmu seperti ini," balas Selly lalu kembali tersenyum.
"Ah, anak saya? Bagaimana keadaan anak saya?" Tanya Alenta tidak sabar,
Selly tidak menjawab, ia memandang Alden dengan tatapan bingung.
Alenta merasakan firasat buruk saat Selly dan Alden saling bertatapan kebingungan.
"Dokter, anak saya baik-baik saja kan?" Tanya Alenta kembali pada Selly,
Selly menatap Alenta dengan tatapan menyesal, "Maafkan aku, tapi saat Alden menemukanmu, kamu sudah mengalami keguguran," lirih Selly iba.
Tatapan Alenta meredup mendengar perkataan itu, bibirnya gemetar menahan ribuan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia mengusap perutnya yang terasa kosong. Anaknya, anaknya telah menghilang.
Pertahanan diri Alenta runtuh, ia menangis sejadinya sambil mengusap perutnya. Batinnya terasa tersayat karena tidak mampu melindungi darah dagingnya dengan baik.
"Maafin Mama sayang, maafin Mama," lirihnya dengan begitu menyayat.
Selly yang iba melihat Alenta segera menghampirinya lalu memeluk tubuh ringkihnya yang makin gemetar.
Alden menunduk, tidak mampu mengatakan sepatah kata apapun. Ia mengepalkan tangannya, ikut merasa sesak dengan kejadian yang menimpa Alenta. Penjahat macam apa yang tega melenyapkan janin dari tubuh ibunya secara paksa?
****
Setelah beberapa menit, Alenta mulai terlihat tenang, ia menyandarkan tubuhnya ke tumpuan ranjang, hatinya masih terasa nyeri tapi ia tidak bisa terus menerus menangis. Ia sudah membicarakan semua masalahnya pada kedua orang di hadapannya.
Alden kemudian melemparkan beberapa artikel kepada Alenta, Alenta mendongak menatap Alden.
"Bacalah," tukas Alden singkat. Alenta melirik artikel itu lalu mengambil salah satunya.
Matanya terbelalak kaget saat melihat isi berita itu, ia kemudian mengambil artikel yang lain, namun saat ia membacanya isi artikel itu kurang lebih memberitakan hal yang sama.
"Ini, ini tidak benar! Aku.... Aku masih hidup dan aku tidak pernah menyentuh barang terlarang yang disebutkan itu, sungguh, ini semua bohong," tukas Alenta dengan sungguh-sungguh.
"Aku tahu dan sepertinya banyak yang menginginkan kematianmu, Alenta," ungkap Alden serius,
Alenta menatap bingung pada artikel di hadapannya, "Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah dianggap meninggal oleh semua orang," Alenta tiba-tiba bangkit dari sandarannya, "Tidak, ibuku, ibuku, dia pasti khawatir, oh tidak!" Jerit Alenta panik,
"Ibumu? Dimana ibumu?"
"Alden, bisa aku pinjam ponselmu sebentar?" Pinta Alenta dengan sorot mata memohon.
Alden menggelengkan kepalanya tidak setuju,
"Tidak, jangan menelepon Alenta,"
Alenta kemudian menarik jarum yang menusuk infusannya, "Kalau begitu, aku akan menemui ibuku sendiri!" Teriak Alenta keras, tidak ia pedulikan darah miliknya yang kini berceceran di lantai. Dengan susah payah Alenta mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya yang masih lemas membuat gerakannya menjadi terbatas.
Alden menahan tubuh Alenta, "Alenta tenang, kau masih belum pulih,"
"Lalu kau mau aku bagaimana? Ibuku, dia menderita sakit jantung jika dia menemukanku tewas, itu bahaya bagi jantungnya!" Teriak Alenta histeris, ia menangis kembali.
Setelah kehilangan bayinya, ia tidak bisa kehilangan ibunya lagi. Hatinya benar-benar hancur. Kenapa ini harus terjadi kepadanya? Seharusnya ia tidak pernah terlibat dengan pria brengsek seperti Rafael. Masa depan dan kehidupannya hancur berantakan.
"Alenta, ku mohon tenang, jika mereka menemukan dirimu lagi aku yakin mereka akan kembali membunuhmu, kau akan tewas sebelum menemukan ibumu," jelas Alden tegas, pria itu masih menahan tubuh Alenta yang terus berontak.
"Aku akan membantumu, aku yang akan menemukan ibumu," sambung Alden lagi dengan yakin.
Selly yang tadi pergi ke toilet datang dan langsung panik saat melihat darah berceceran di lantai.
"Alden, ada apa ini? Kenapa banyak sekali darah?" tanya Selly panik,
Melihat fokus Alden teralihkan pada Selly, Alenta mencoba berontak kembali. Alden akhirnya lengah oleh gerakan Alenta yang tiba-tiba dan berhasil lepas dari cengkraman kuat Alden. Namun, saat Alenta hendak lari menjauh dari mereka berdua, pandangannya seketika menjadi gelap. Gadis itu kembali tidak sadarkan diri.