webnovel

Chapter 28

Tubuh gadis berambut pirang merosot di lantai. Menutup kepalanya dengan kedua telapak tangan. Pandangan kosong menerawang, mendongak pada atap langit dari beton. Menelan ludah berusaha untuk melupakan kejadian barusan. Mulutnya menganga. Seolah-olah itu hanyalah bohongan belaka. Tubuhnya gemetaran sejenak. Berharap itu hanyalah mimpi belaka. Tongkat sihirnya tergeletak di lantai. Akan tetapi, telapak tangan dia tidak bisa mengangkatnya. Kedua kaki melemas sejenak. Kemudian, bangkit kembali meski sempoyongan. Berjalan pelan dengan satu tujuan. Yaitu menaiki anak tangga menuju menara tanpa jendela. Tepatnya di pojok atas. Melewati orang-orang berlalu lalang.

Beberapa siswa melihat sebuah tongkat ada di lantai. Seorang laki-laki menghampiri gadis berambut pirang. Dia menoleh penuh kaku tanpa suara, gadis berambut pirang menerimanya sembari membungkukkan badan. Lalu, berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya. Tubuhnya dirasa terlalu berat untuk mengangkat segi moral supaya bisa naik kembali. Akan tetapi, dalam pikiran dia selalu terbayang akan ejekan, hinaan dan cacian yang dilontarkan padanya. Serasa udara telah memasuki sebuah kubang dalam keadaan lubang besar menganga.

Pandangan dari Tiecia, gadis berambut pirang menyempit. Tidak lagi melirik sekitarnya kecuali lurus ke depan dipenuhi keramik dan batu-batuan yang tersambung. Suara bisikan dari kedua telinga tidak diindahkan. Hanya satu suara saja yang dia dengarkan. Berupa langkah kedua kakinya tanpa henti. Serta bola matanya kosong. Satu persatu, siswa-siswi yang melihatnya, memilih menjauh atau menyingkir dari hadapannya. Tetapi, Tiecia mana peduli akan hal itu. Sebelah kanan, ada sebuah anak tangga tanpa pintu. Ukuran dalamnya hanya bisa dimasuki satu orang saja. Lebih dari itu, orang tersebut akan mengikuti belakang.

Air mata Tiecia menetes membasahi pipinya. Selangkah demi selangkah menuju anak tangga. Gadis itu berjalan menapaki setiap kaki melangkah. Terasa berat untuk diangkat. Otot-otot paha dan lutut yang diangkat semakin susah. Di depannya, anak tangga melungker membentuk sebuah spiral. Dia tidak menghitung anak tangga yang ada. Serta ada lubang ventilasi udara di sana. Akan tetapi, Tiecia malah terkesan tidak peduli dengan hal itu.

Setelah dipikir-pikir, mestinya Tiecia tidak melarikan diri saat bertemu dengan kedua pria bernama Issac dan Reynold. Seharusnya, dia menuruti kata hatinya untuk berbincang lebih lama sama mereka.

Ketika Tiecia membawa Andrew ke ruang kesehatan, ada perubahan yang nampak pada wajah pasien. Terlihat pucat dengan kedua mata berkedip secara terus menerus. Seolah-olah dirinya sedang mengalami mimpi buruk berkelanjutan. Menoleh ke samping kiri dan kanan secara spontan. Keringat dingin di sekitar wajahnya. Suster Pond menyeka keringat seraya memperhatikan cek suhu tubuhnya.

"Tidak berhasil kah?" gumamnya.

Suster Pond mengaku kesulitan untuk menemukan cara yang tepat dari efek sampingnya, tepat setelah Andrew belum sadarkan diri. Tiba-tiba, sebuah ketukan pintu dari luar. Pintunya dibuka oleh Profesor Read dan Profesor Tristan. Mereka bersama tiga siswa dan seorang pria misterius, lengkap dengan pakaian dan senjata yang aneh.

"Profesor Read! Profesor Tristan!"

"Bagaimana dengan keadaan Andrew?" tanya Profesor Tristan tanpa basa-basi.

Suster Pond beranjak dari kursi dengan nada gugup. Beliau menggeser ke samping kanan. Menunjukkan hasil yang didapat. Issac dan Reynold menatap Andrew dengan kasihan. Teringat saat Reynold menendang pemuda itu. Dia meyakini, tewasnya Glenn dan Zack di tangan para monster undead. Reynold saat itu mengambil sebuah tindakan lebih awal. Yaitu menendang tubuh Andrew ke luar portal. Mendengar suara tubuhnya terpental ke lantai koridor. Sisanya, Reynold dan Issac bergegas mengalahkan segerombolan undead dan monster lainnya di Aeckland Stronghold.

Entah kenapa, Suster Pond merasa aneh dengan interaksi antara dua pengajar dengan ketiga siswa. Termasuk pria di sampingnya hanya bersiul disertai mendongak ke atap langit. Kedua tangannya menaruh ke belakang kepala. Menikmati percakapan yang membosankan.

"Profesor, siapa pria yang ada di belakang para siswa itu?"

"Namanya—"

Tiba-tiba, telapak tangan kanan berjabat tangan dengan Suster Pond. Jabatan tangannya sangat kasar dan tidak beradab. Serasa orang itu sedang mempermainkan beliau. Anehnya, beliau merasakan adanya energi sihir elemen di sekujur telapak tangannya.

Setelah itu, pria berpakaian ninja itu berkeliling mencari sesuatu. Melangkahkan kedua kakinya, melirik ruangan yang jadul. Dindingnya diberi keramik. Supaya tidak mudah hancur. Kedua bola mata pria berpakaian ninja penasaran. Melirik setiap sudut ruangan yang ada. Dua buah lampu di depan bola mata. Terdapat juga jam dinding ditaburkan dengan bubuk sihir. Begitu nampak dan jelas. Pria berpakaian ninja mengerutkan kening. Menghampiri jam dingin tersebut. Bentuk persegi panjang berdiri tegap, memiliki motif bunga pada bagian tengahnya. Dua sisi diukir dalam bentuk tiang. Sedangkan bagian bawahnya transparan. Menampilkan sebuah pendulum yang diayunkan horizontal. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Suara roda gerigi berputar ke kanan. Ketika telapak tangan kanan menyentuh kaca pendulum, suara orchestra dan alat musik instrumental terdengar. Berdendang sambil bernyanyi dengan penuh kesedihan. Pria berpakaian ninja mengerutkan kening. Issac dan Reynold tersentak dengan lagu instrumen tersebut. Termasuk Tiecia yang merasakan alunan musik itu. Keempatnya memejamkan kedua bola matanya. Membayangkan kesedihan yang dialami oleh tiap-tiap orang. Issac yang diusir oleh warga, Reynold pun mengalami hal serupa. Tiecia sering dibuli oleh orang-orang sejak kecil. Sampai pria berpakaian ninja merasakan kemarahan yang memuncak. Jantung berdegup kencang.

"Tuan Kiyoyasu!" jerit Profesor Read.

Namun, perkataan yang dialami oleh salah satu pngajar di sekolah akademi Daponia, tidak lantas terbangun. Anehnya, Tiecia yang baru saja bersama kedua pengajar, seketika menerima efek akibat Kiyoyasu.

"Besok temui aku jam 4 pagi di halaman sekolah. Dan bawa barang berhargamu pada kami. Jika tidak, siap-siap saja kau akan kuhancurkan saat itu juga! Apa bisa dimengerti?"

"Kau, mau pacaran denganku? Itu menjijikkan. Sana pergi kau, kutu air!"

"Dia itu iblis! Iblis yang menyamar sebagai manusia dan memakan orang-orang tidak bersalah!"

"Bagaimana rasanya keluargamu dibunuh olehku? Apa kau ingin balas dendam kepadaku?"

Berulang kali dengan kata-kata dan nuansa serupa. Reynold, Issac, Tiecia dan Kiyoyasu mengalami masa lalu yang cukup tragis. Suster Pond menoleh ke Profesor Read dan Profesor Tristan. Terbelalak kaget saat mereka berempat mengalami efek serupa. Berbeda dengan ketiga pengajar dan perawat tersebut.

"Bagaimana ini, Profesor Tristan?" tanya Suster Pond.

"Kita harus segera menghentikan jam dinding itu!"

"Tidak perlu! Biar kami atasi sendiri!" sanggah Reynold.

"Tapi—"

Meski mencegah ketiga muridnya melakukan tindakan ceroboh, entah bagaimana Profesor Tristan mempercayai tindakan dari Issac. Pemuda berambut perak memijat kepalanya sendiri. Menepuk kedua pipinya untuk fokus. Setelah itu, menarik napas dalam-dalam melalui pernapasan paru-paru. Berjalan dengan hati-hati. Menyentuh ke dalam jam dinding. Telapak tangan kanan mendapatkan sesuatu. Terasa keras dan kuat. Hingga dia berhasil mendapatkan benda yang ada di dalam jam itu. Keluarlah batu berwarna ungu. Memiliki duri yang kecil-kecil seperti seekor hewan laut. Menggelinding terus menerus. Berputar melingkar tepat berada di atas telapak tangannya. Pemuda berambut perak memberikannya kepada Profesor Read. Menyerahkan kepada beliau merupakan keputusan tepat. Seketika, suara itu mulai menghilang. Suster Pond merespon cepat dengan memberikan segelas air ke tiap siswa termasuk orang asing. Satu tegukan ditelan ke dalam tenggorokan. Tiecia, Reynold, Issac dan pria berpakaian ninja menenggaknya tidak berirama. Akan tetapi, segelas saja tidaklah cukup bagi Reynold dan Issac. Suster Pond memberikan satu gelas lagi. Menunggu satu dari dua orang akan berbicara.

"Aku … ada di mana?"

Suara pelan dari Andrew, yang terbaring di kasur. Suster Pond menghampirinya. Mengecek kondisi anak yang malang. Profesor Read dan Profesor Tristan duduk sejenak di kursi.

"Kau berada di ruang kesehatan, Andrew."

"Betul yang dikatakan Profesor Carr. Kondisimu sudah membaik kok," ucap Profesor Read mengiyakan perkataan Profesor Tristan.

Namun, reaksi Andrew berbeda 180 derajat. Sebaliknya, kedua bola matanya melirik ruangan kesehatan sangat asing. Kedipan kedua matanya secara spontan.

"Siapa kalian?"

Suster Pond mengecek retina, pupil melalui tongkat sihir milik beliau. Tongkat sihirnya diayunkan sembari memperhatikan perkembangan terkini dari Andrew. Sambil menunggu, Profesor Read dan Profesor Tristan duduk sambil menerangkan mengenai kisah mereka saat pertama kali bertemu. Di mulai dari pertemuan keduanya hingga menemukan sebuah istana benteng dan penjara bawah tanah yang bernama Edgeville Prison dan Aeckland Stronghold. Setelah Reynold dan Issac telah selesai berganti cerita, kedua pengajar merenung. Sedangkan Tiecia membuka mulutnya. Tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Gadis berambut pirang mendongak pada kedua laki-laki itu. Begitu beratnya mereka berjuang untuk bisa bertahan hidup.

"Tapi kalian pasti akan kembali ke sana lagi bukan?" tanya Profesor Read.

"Betul. Oleh sebab itulah, aku tidak ingin memberitahukan ini kepada siapapun. Termasuk pengajar lainnya."

"Wow! Keputusanmu untuk merahasiakan hal ini sudah terlambat, kawan."

"Apa maksudmu Kiyoyasu?" tanya Profesor Read mengerutkan kening.

Kiyoyasu menduga reaksi dari kedua pengajar. Pria berpakaian ninja berbalik badan. Bergegas untuk menutup pintunya. Pria itu mendongak setiap celah jendela pada bagian atas. Memastikan tidak ada yang mendengarnya. Kemudian, makhluk kecil berbentuk ikan koi terbang mengepakkan siripnya. Membiarkan makhluk itu berkeliling sembari memantau pergerakan mencurigakan. Dia pun berbalik. Keluarlah sebuah gulungan dari kertas. Gulungan itu menyebar ke area tertentu. Memproyeksikan sebuah gambaran peta dan sebuah peristiwa tidak biasa. Mereka memperhatikan secara seksama. Dimulai dari gerakan para ksatria dari Kerajaan Azucec. Hingga Kerajaan Oritus mencari keberadaan sebuah portal Unknown Origin Dungeon. Reynold dan Issac terdiam sembari memperhatikan gambar bergerak.

"Bagaimanapun juga, kedua kerajaan benar-benar ceroboh. Jika sampai mereka mengetahui salah satu portal itu berada di sekolah akademi Daponia, mereka menganggap tempat itu sebagai sarang monster. Dan pihak anggota dewan penyihir pasti mengeksekusi kepala sekolah beserta para muridnya," jawab Kiyoyasu.

Tiecia, Profesor Read dan Profesor Tristan menelan ludah. Yang terakhir mengepalkan tangan kanan, meninju ke meja dengan wajah mengeras. Profesor Read tidak bisa membantu untuk menenangkannya. Kedua lengannya gemetaran.

"Kenapa ini bisa terjadi? Apa yang membuat mereka berpikir demikian?" kata Tiecia.

"Aku tidak tahu. Tapi, aku masih memikirkan ketiga pangeran itu. Elliot, Walter dan yang terakhir Anton."

"Anton?" tanya Issac menaikkan kedua alisnya.

Kiyoyasu melihat reaksi dari pemuda berambut perak. Ekspresinya sedikit berbeda dari apa yang dipancarkan. Pria berpakaian ninja mengeluarkan pedang katana miliknya. Menarik napas dalam-dalam. Keluarlah sihir berelemen angin. Meniup area sekitarnya. Berputar badan sambil mengarahkan serangan secara horizontal. Suara jeritan terdengar dari arah kiri. Profesor Read dan Profesor Tristan bergegas menghampirinya.

"Itu kan—"

"Kemampuan sihirku. Bisa dibilang, aku mengaktifkan ikan koi untuk melakukan pengecekan setiap ruangan. Rupanya keputusanku sudah tepat," jawab Kiyoyasu.

"Luar biasa," puji Reynold disertai bibirnya menukik ke atas. Memperlihatkan kerutan pada dagunya.

Kedua pengajar itu berjalan cepat. Melihat sosok seorang pembunuh dalam keadaan tidak bernyawa. Lehernya mengalami pendarahan cukup banyak. Mengakibatkan dia sudah meregang nyawa. Kedua pengajar itu tidak menyangka bahwa kemunculan Kiyoyasu akan memberikan sedikit informasi mengenai Unknown Origin Dungeon. Akan tetapi, permasalahannya terletak pada Issac dan Reynold. Ketiganya sedang berdiskusi sesuatu. Tiecia kebingungan dengan arah pembicaran mereka.

Kedua bola mata Tiecia terpejam. Dirinya terus melangkah tanpa henti. Hingga gadis berambut pirang telah sampai di lantai paling atas. Kedua kakinya gemetar hebat. Dia tidak berani menatap matahari yang sebentar lagi terbenam. Di bawahnya, sebuah lapangan hijau yang dipenuhi rerumputan. Sampai Tiecia menelan ludah sendiri. Dia tidak berani memandang ke bawah.

Tarikan hembus keluar dari lubang rongga hidung. Perlahan-lahan, Tiecia menghembuskan napas pelan. Merasakan tiupan angin mengibaskan rambutnya untuk terakhir kali. Kedua kakinya berjalan pelan. Mendekati ujung menara. Ketika dirinya berniat untuk terjun dari menara, dua orang pria mencengkram kedua lengan Tiecia. Dia menoleh pada Issac dan Reynold. Erangan dari kedua mulutnya sembari menarik lengan gadis berambut panjang.

"Tarik Issac!"

"Aku tahu!"

"Lepasin aku!"

Tiecia berusaha meronta-ronta. Berteriak sembari memohon untuk melepaskan kedua lengannya. Akan tetapi, mereka tetap bersikukuh menolaknya. Otot-otot kedua lengan pria itu menengang. Kepala miring ke kanan. Berusaha sekuat tenaga untuk menariknya.

"Tarik!" jerit Reynold.

Akhirnya, kedua pria itu berhasil menariknya. Menjauhkan Tiecia dari lubang terowongan itu. Baik Reynold maupun Issac mengatur napas sedemikian rupa. Pemuda berambut perak bangkit berdiri. Disusul oleh Reynold. Tiecia sadar, aura intimidasi begitu menguat dari kedua laki-laki itu.

"Kau ini bodoh atau bagaimana? Bisa-bisanya kau mengakhiri hidupmu dengan cara seperti itu!" bentak Reynold.

"Aku tidak peduli! Meski kalian berusaha menyelamatkanku, lebih baik aku akhiri saja penderitaanku ini."

"Begitu rupanya."

Issac menghampiri Tiecia, mengulurkan tangan kanan ke arah wajah gadis berambut pirang. Kedua matanya berkaca-kaca, kebingungan reaksi apa yang diterima. Tiecia membungkukkan badannya. Kedua kakinya ditekuk ke belakang, menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.

"Issac, apa kau tahu situasinya?"

"Tidak. Tapi …"

Dia mengingatkanku sejak masih kecil, gumam Issac dalam hati. Begitu rapuh dan menyedihkan di mata pemuda berambut perak. Uluran tangan yang dilakukan Issac merupakan tahap pertama untuk bisa memberikan bantuan secara moral untuk Tiecia. Air matanya menetes membasahi pipinya beserta tangisan pun pecah. Dia tidak henti-hentinya berteriak. Kedua kaki dan tangan melemas. Dalam lubuk hatinya, Tiecia merasa lega karena beban yang selama ini dia pendam, mulai terangkat. Tetapi disisi lain, gadis berambut pirang merasa tidak berdaya akan cacian maupun hinaan yang dilontarkan kepadanya.

~o0o~

Tiecia berlari kencang menghindari kerumunan banyak orang berlalu lalang. Gadis berambut pirang tidak ingin menatap pada siapapun. Termasuk Joddie dan gengnya. Mereka melirik ke arah Tiecia yang berlari ke arah berlawanan. Hentakan kaki cepatnya melesat, melewati para siswa lainnya. Senyuman bibir menyeringai dari Joddie.

"Sepertinya ada Tiecia lewat dari ruang kesehatan," nyengir dari ucapan seorang gadis bernama Joddie.

"Apa yang harus kita lakukan, Nona Sapphire?" tanya gadis satunya bernama Taylor Stone.

Namun, tidak ada perkataan apapun dari Sapphire. Tatapan dingin terpancar dari kedua bola matanya. Merasa tidak suka dengan kemunculan Tiecia. Kemudian, dia menoleh pada Joddie dan Taylor Stone. Mengisyaratkan mereka untuk beraksi. Tidak seperti anak buah Prince Elliot yang ceroboh, mereka mengintai Tiecia dengan hati-hati. Gadis berambut pirang menggenggam erat. Mengacak-acak rambutnya saking frustasinya.

"Seharusnya aku ikut dengarin saja! Kenapa aku melarikan diri sih?" gerutu Tiecia.

Gadis berambut pirang melirik sekilas. Para siswa sepertinya saling berbincang mengenai insiden monster yang menyusup ke Sekolah Akademi Daponia. Rupanya, sudah menjadi berita hangat di mana-mana, gumam Tiecia dalam hati. Sampai dirinya merenung. Tangannya dikepalkan. Menggenggam erat tongkat sihir yang baru saja dikeluarkan. Memejamkan kedua bola matanya. Dia memutarkan anggota tubuhnya. Mengayunkan tongkatnya ke sisi belakang. Sihir berelemen api berkobar di sekitarnya. Membentuk sebuah spiral. Membakar pohon yang sudah lama tumbuh hingga jadi arang. Kobaran api begitu terasa. Tiecia menarik napas dalam-dalam. Merasakan gejolak batin yang sudah diangkat. Sampai gadis berambut pirang mendengar suara langkah seirama. Tiecia menoleh ke belakang. Seketika, tubuhnya gemetar hebat. Sengatan listrik masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Dia merasakan getaran yang sangat kuat. Jemari-jemarinya tidak mampu digerakkan. Serta ingatan yang memilukan dan trauma terpancar dari wajahnya. Kedua bola matanya melotot tajam. Adrenalinnya meningkat secara drastis. Sampai-sampai, kedua orang muncul dengan membawa ember melayang berisikan air.

"Halo anak haram."

"Sudah lama sekali kau tidak memanggilku anak haram, Joddie dan Taylor," kata Tiecia bernada datar.

"Ya ampun. Apa aku menyinggungmu, anak haram? Harusnya kau jangan sombong, dasar tidak tahu malu!"

Tiba-tiba, sebuah ember diayunkan dari belakang. Semburan air kotor membasahi pakaian yang dikenakan Tiecia. Gadis berambut pirang terkena dampaknya. Dia mengayunkan tongkatnya pada mereka. Akan tetapi, Joddie meninjunya. Taylor mengayunkan tongkatnya. Memperkuat kepalan tinju yang dilancarkan rekannya. Pukulan bertubi-tubi mengenai wajah Tiecia. Gadis berambut pirang berusaha bertahan. Berteriak dengan kencang. Sayangnya, Taylor membungkam mulutnya dengan sihir diam serta pelindung. Supaya mereka tidak bisa melihatnya. Lengan Joddie diayunkan ke depan. Mengenai hidung dan pipinya. Posisi Tiecia berbaring, memanfaatkan kedua lengan sebagai pelindung. Akan tetapi, dia sadar bahwa tongkat di sampingnya tidak bisa menggapainya. Taylor berjalan pelan. Menendang tongkat itu ke kanan. Mundur lima kali langkah sambil mengacungkan tongkatnya ke punggung Joddie walau berniat untuk memberikan hukuman pada Tiecia.

"Hentikan … hentikan …"

Joddie tertawa histeris. Pembuluh darahnya naik, merasakan senangnya luar biasa ketika aksi yang dilakukan berdampak pada kondisi psikis Tiecia.

"Apa kau tidak paham, betapa Sapphire sangat membencimu, Tiecia? Seharusnya kau tidak dilahirkan di dunia ini!" bentak Joddie tertawa terbahak-bahak.

"Hentikan!" jerit Tiecia.

"Anak haram seharusnya diam saja!"

Tidak ada seorang pun yang membelanya. Kedua bola matanya memohon pada para siswa yang melintas. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang datang untuk menolong. Pukulan demi pukulan terus dilancarkan oleh Joddie. Dia memutuskan untuk berhenti memukul. Bangkit berdiri, meludahi ke wajah Tiecia yang terisak-isak. Joddie memiringkan kepala pada Taylor. Gadis itu mendekati telinga Tiecia. Membisikkan sesuatu ke telinga gadis berambut pirang.

"Ibumu sudah diracuni oleh keluarga Turner. Ayahmu membiarkanmu hidup supaya dijadikan sebagai budak maupun kacung kami. Jadi, persiapkan dirimu sekarang juga. Jangan lupa, jika kau berani melawan kami … awas saja. Aku tidak segan-segan akan menghajarmu sampai pingsan!"

Saat itulah, Tiecia terbelalak tidak percaya. Ucapan yang dilontarkan Taylor tidak mempercayainya. Dalam lubuk hati dan pikiran, tidak mungkin keluarga Turner bertindak sekeji itu. Apalagi, dirinya dan ibunya, Trisha Kydwelly diasingkan ke sebuah desa terpencil. Istri pertama dari keluarga Turner, Nina memerintahkan para pengawal untuk mengusir selir Robert Turner dan anak haramnya. Sampai keberadaannya tidak diakui oleh bangsawan manapun. Seharusnya, dia bahagia bisa jauh dari keluarga Turner. Jauh dari cacian dan ejekan yang ada.

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sebentar. Tiecia Kydwelly dirumorkan bahwa disukai oleh anak kepala desa yang playboy. Gadis berambut pirang tidak mau, menyuruh Ibunya untuk pergi dari tempat itu. Akan tetapi, beliau tidak pergi ke mana-mana. Menunggu janji yang harusnya ditepati antara dirinya dan Robert. Sayangnya, itu hanyalah janji semata. Bahkan, beliau memberikan biaya sekolah untuk Tiecia karena ada rasa tanggung jawab terhadap anak-anaknya.

Oleh sebab itulah, Tiecia berusaha keras untuk menjadi lebih kuat. Supaya melawan Sapphire. Nyatanya, dia tidak menganggap dirinya sebagai rival maupun saudari perempuan sama sekali. Dia menganggap Tiecia sebagai pengganggu. Selama berada di Sekolah Akademi, Tiecia tidak henti-hentinya dibuli oleh grup yang dipimpin Sapphire.

Mendengar kisah dari mulut Tiecia, Reynold dan Issac saling mengangguk setuju. Gadis berambut pirang terperangah kaget dengan ucapan barusan. Pemuda berambut perak melirik Reynold meregangkan jemari-jemarinya, menyeringai lebar.

"Sudah lama sekali aku ingin menghajar orang yang sudah membulimu, Tiecia."

"Tidak apa-apa nih aku beri bantuan?" kata Issac.

Kedua lengannya menyilang. Membiarkan Reynold yang mengatasinya sendiri. Bersama dengan menghadapi masa lalu Tiecia yang sempat suram. Gadis berambut pirang menurunkan dua lengannya. Sorot bola mata memojok ke kiri bawah. Tubuhnya gemetaran, mencengkram lengannya sendiri. Laki-laki berambut perak menepuk pundaknya.

"Kadang kita takut jika berhadapan dengan kenangan masa lalu yang pahit. Tapi, jika kita tidak hadapi itu, seumur hidup akan diliputi rasa penyesalan."

Baik Reynold maupun Issac mengalami pahit sejak masih kecil. Mereka tidak ingin Tiecia mengalami nasib yang lebih parah dibandingkan dirinya. Ketika keduanya berdiri, ada sesuatu yang terjadi pada Unknown Origin Dungeon. Sementara itu, Kiyoyasu sedang bermeditasi membuka kelopak matanya perlahan. Merasakan adanya gejolak energi sihir dari dalam. Tombak, pedang gergaji dan katana miliknya beresonansi. Biasanya, Issac dan Reynold tidak mampu merasakan munculnya fenomena itu. Kemudian, Issac dan Reynold berbalik badan dari arah berlawanan. Menatap gadis berambut pirang.

"Maukah ikut dengan kami, Tiecia? Kami akan membantumu jadi kuat!"

"Tapi—"

"Pilihanmu ada dua. Ingin menjadi lemah selamanya? Atau menjadi lebih kuat dan merubah nasibmu?"

Sebuah pilihan yang mudah bagi Tiecia. Tetapi tidak dengan Reynold dan Issac. Mereka tahu, menjadi lebih kuat harus siap dengan konsekuensinya. Senjata yang dimilikinya begitu berat. Sampai harus menenteng di punggung maupun pinggang mereka. Respon yang diterima berupa anggukan tegas. Tiecia menerima uluran Reynold dan Issac. Bersiap menuju portal Unknown Origin Dungeon.