webnovel

Chapter 12

"Tahu begini, aku harusnya membunuh lebih awal."

Itulah kalimat pertama kali saat Issac berada di sebuah tempat misterius. Dia mendongak sebuah ruangan yang sangat luas. Panjangnya sangat luas hingga nyaris tidak terlihat. Dindingnya berwarna merah, terbuat dari batuan dasar. Berkelap-kelip di sekelilingnya. Menyatu dengan batu-batu lainnya. Di atap, terdapat sebuah ukiran berupa pertempuran antara Dewa Ila melawan sosok misterius berupa coretan menghitam. Tidak begitu jelas siapa yang lawan. Bentuknya cekung tanpa penerangan sama sekali. Meski memiliki wadah untuk penerangan, tidak ada yang tahu di mana lilin itu berada. Selain itu, baunya menyengat seperti telur membusuk. Issac menahan rasa mualnya. Merapikan rambut akibat terkena debu. Termasuk seragam sekolah yang dikenakan. Tidak ketinggalan, debu tersebut menempel hingga mengeluarkan suara bersin dari hidung Issac. Beberapa detik berselang, pemuda berambut perak melihat lantainya dipenuhi campuran antara darah manusia dengan kotoran hewan atau cairan lengket warna hitam. Kepala Issac merunduk pada tubuh Bullmond dalam keadaan terbujur kaku. Tangan kanan melepaskan genggaman kapak raksasa. Kedipan mata berulang kali dilakukan Issac. Melihat sebuah tombak yang masih tertancap di lubang bola mata sebelah kanan.

Kemudian, Issac mencabut tombak hitamnya. Keluarlah darah menetes dari ujung tombak dia. Pemuda berambut perak membuang darah yang tersisa, menaruhnya ke punggung. Dia merasakan jasad Bullmond sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Kedipan mata beserta lirikan mata Issac terfokus pada anggota tubuh monster berkepala banteng. Suara kerencang bergoyang pelan, sampai dia memilih tidak bersuara. Kedua kakinya berjalan pelan sembari menadahkan kedua telapak tangan pada tubuh Bullmond. Hingga dia merasakan kenyal di dalamnya. Issac mengeluarkan tongkatnya. Telapak tangan kanan memutar tongkatnya. Menarik kulit di dalam organ dalam itu. Akhirnya, Issac memutuskan untuk mengambil sesuatu di dalamnya. Terasa lengket dan menjijikkan. Pemuda berambut perak mengangkatnya ke atas hingga lengketannya menghilang dan pecah. Issac menadahkan tangan kanan ke dalam organ dalam. Dipencet-pencet organ dalam semacam usus dan ginjal sekalipun Tetapi, tidak ada apapun di sana. Rasa frustasi dalam diri Issac. Mengangkat lengan kanan sembari menggosok-gosok telapak tangan pada kulit Bullmond. Bibirnya ternganga. Merasa bahwa apa yang dirasakan olehnya kurang nyaman. Issac mendesis melotot tajam pada mayatnya. Akhirnya, pemuda berambut perak memotong tanduknya sebagai souvenir. Akan tetapi, langkah Issac berhenti sejenak. Memperhatikan tanduk yang keropos. Tempat bola mata kanan keluar darah sehabis dicongkel oleh tombak hitam miliknya.

"Tapi bagaimana caranya memotong tanduk itu?" gumamnya berpikir.

Dia tidak memiliki benda tajam kecuali tombak hitamnya itu. Memutar telapak tangan kanan. Sebuah simbol bahasa kuno yang bukan dari Epuni. Issac mengerutkan keningnya. Menarik napas dalam-dalam. Dia menuruni tubuh Bullmond. Menggeledah setiap inci tubuh di sekitar. Suara percikan air mengalir dari atas. Suara langkah kaki terdengar dari samping kiri. Issac menoleh ke asal suara itu. Akan tetapi, tidak ada siapapun di sana. Langkah pelan dari kaki kiri pemuda berambut perak, tangan kiri menadah ke belakang. Posisi separuh membungkuk dengan mata melotot ke sana. Terlihat sebuah pintu jeruji besi dalam keadaan terbuka. Dia mendorong pintunya. Suara decitan pintu terdengar. Issac berjalan pelan sembari mengambil obor.

Sesaat dirinya di ruangan selanjutnya, tiga tiang terbuat dari batuan dasar. Air mengalir membasahi tiang itu. Lima lubang pada tiap sisi, diberi pagar sihir supaya monster tidak menyerang. Walau demikian, itu tidaklah penting.

Pemuda berambut perak berjalan pelan. Langkahnya berhati-hati sambil memperhatikan hal-hal kecil lainnya. Percikan air jatuh ke permukaan tanah. Menghasilkan suara menggema. Issac berjalan pelan melewati lima sisi lubang yang ada di sampingnya. Sambil mengeluarkan tongkat hitamnya. Kedua bola matanya melirik semua area yang ada di depan matanya. Kedua telapak tangannya mencengkram energi sihir berwarna hitam. Pemuda berambut perak melihat undead sedang dibangkitkan. Issac pun memutuskan untuk menyerang. Menusukkan ke orb. Membiarkan mereka dalam keadaan tidak bernyawa. Satu persatu, Issac telah membunuh mereka. Kelemahannya terletak pada orb di bagian dada, organ dalam yang telah diserang barusan. Dan cara itu efektif.

"Halo! Siapa di sana?" ucap Issac.

Suara menggema terdengar di sekitarnya. Issac menduga dirinya berada di sebuah goa mencakup luas. Pemuda berambut perak memasuki sebuah tempat yang berbeda dari biasanya. Sebelumnya lorong panjang menyambung satu sama lain. Sekarang, Issac baru saja menemukan sebuah goa dalam keadaan disembunyikan. Terdapat sebuah batu mineral berbentuk segitiga lancip. Permukaannya kasar dan menerawang. Menghasilkan warna-warni apabila Issac mengambil jarak dekat.

Dia memutuskan untuk mendekat. Mencoba penasaran dengan batu yang ada di depan matanya. Sentuhan telapak tangan kiri Issac, menambah energi sihir dalam diri pemuda berambut perak. Dia terhenyak kaget merasakannya.

Sebelah kiri, terdapat pedang dalam keadaan berkarat. Tetapi masih bisa digunakan selama hanya untuk memotong atau mengiris. Issac mengambilnya. Berbalik arah ke monster berkepala banteng untuk dibedah. Meski potongannya kasar dan tidak menghasilkan kualitas bagus, setidaknya bisa dipakai untuk melindungi diri atau sekedar memotong. Itu sudah lebih dari cukup menurut Issac. Pemuda berambut perak mencengkram tanduknya, sekali potong. Tanduk dari Bullmond terlepas. Dikantongi oleh Issac dan dimasukkan ke dalam tas pinggang khusus. Tas itu dapat menyimpan beberapa benda yang terjatuh sehabis berburu monster.

Langkah kaki kanan diangkat, membelakangi bagian pantat ke wajah jasad Bullmond. Tetapi, posisi itu tidaklah menguntungkan. Issac memutar balik lagi. Menancapkan pedang itu ke dalam tubuh Bullmond. Darah bercucuran di sekitar Issac. Mengakibatkan seluruh pakaian yang dikenakan penuh darah. Ditarik pedang secara vertikal. Membedah tubuh Bullmon hingga terpampang organ dalamnya cukup besar. Tangan kanan menyelesaikan yang barusan belum kelar. Lendir di dalam tubuhnya begitu menguat. Sampai dia berkeinginan untuk menjual barang ke toko. Siapa tahu, uang yang dihasilkan dapat menarik penjual dan pengoleksi monster.

Di samping kanan, terdapat sebuah kotak harta karun yang belum tersentuh. Insting Issac mengatakan bahwa itu adalah perangkap yang telah disiapkan untuk orang-orang yang menyusup ke sana.

Kedua kaki melangkah menuju kotak harta karun. Melewati dinding koridor yang luas. Saat Issac mendekati kotak itu, sebuah tulisan bertuliskan ke dalam bahasa Epuni yang artinya 'berhati-hati'. Hingga dia mendengar suara langkah kaki yang menendang kerikil dari depan. Issac mengacungkan tombaknya. Rupanya, seorang pemuda bernama Reynold telah datang menemuinya. Kedua pemuda itu mengalami serangan jantung disertai syok melihat satu sama lain.

"Issac!" sembur Reynold.

"Maaf!"

"Kau ini membuatku serangan jantung saja!" pekik Reynold pada Issac.

Namun pemuda berambut perak membuang wajah ke samping kiri. Reynold menepuk jidatnya hingga permukaan wajah dia sendiri.

"Barusan kau berdecak lidah bukan?"

"Bukan apa-apa kubilang! Ngomong-ngomong, ini tempat apa?" sanggah sekaligus tanya dari mulut Issac pada Reynold.

"Aku tidak tahu."

Bagus. Jawaban yang tidak menyenangkan, gumam Issac dalam hati. Pemuda berambut perak dan Reynold saling bergantian untuk mengambil hasil jarahan dari Bullmond. Berharap Reynold menemukan apa yang dicari.

Di sisi lain, segerombolan undead bangkit berdiri. Kedua matanya memancarkan bola mata berwarna merah. Bersiap untuk menyerang Issac dari arah belakang.

~o0o~

Baik Reynold maupun Issac sangat membenci dengan tidak menguntungkan begini. Peluru pada shotgun mulai habis. Mengakibatkan dirinya tidak berguna dalam tembakan jarak jauh. Genggaman erat pada pedang gergaji mengalirkan energi berwarna hitam di sekujur lengannya. Issac melihat ada sesuatu yang salah dengan Reynold. Setiap kali melangkah, dia selalu menggenggam atau mengecek lengan sebelah kiri. Sesuatu yang membuat Reynold tidak fokus. Pemuda berambut perak berhenti sejenak. Mendengarkan suara gemuruh dari kejauhan.

Tiba-tiba, suara menggeram dari para undead di sekelilingnya. Membawa senjata berbagai macam seperti pedang perisai, tombak, anak panah dan kapak. Posisi melingkar hingga Reynold dan Issac terjepit. Tetapi, keduanya tidak mempedulikan hal semacam itu. Pemuda berambut perak berkedip sekali. Mengeluarkan tombak dengan melepaskan energi sihir berwarna hitam. Kemudian, tongkat bagian tengah diputar. Kepalanya merunduk bersamaan dengan gerakan refleks Reynold. Lirikan kedua bola matanya memperhatikan pergerakan serangan melingkar. Beruntung, Reynold jongkok lebih cepat. Jika tidak, dirinya akan terkena serangan oleh Issac. Serangan barusan telah melukai para undead di bagian kepala. Teriakan dari pemuda berambut perak menggema. Bagian belakang pada tombak dicengkram kuat-kuat. Dilemparkan tombak ke arah titik area luas. Jarak antara mereka berdua dengan tombak cukup jauh. Tetapi, para undead tidak tahu bahwa pemuda berambut perak telah menyiapkan sesuatu untuk berkumpul. Kepalan tangan kanan dicengkram kuat. Orb para undead mengalami retak dan pecah secara bersamaan. Reynold membuka pedang gergaji. Mengacungkan ujungnya ke atas, menebas dengan sekali serangan. Salah satu undead terbelah dalam bentuk diagonal. Retakan menghancurkan puluhan tulang yang menyatu.

Di sisi lain, Issac terus memburu para undead hingga tidak tersisa. Energi sihir yang didapat terkuras habis. Tarikan napas cepat beserta kedua lulutnya mulai melemas. Dua undead menyrang dari arah belakang. Reynold mendorong ke kiri melalui tendangan, berjalan cepat sembari memotong leher dua undead sekaligus. Tubuhnya tersungkur di lantai serta orb mulai pecah. Baik Issac maupun Reynold mulai kehabisan napas. Kedua kakinya tidak mampu berdiri kembali. Akhirnya, dengan terburu-buru mereka meluruskan otot pada kakinya. Digerakkan sampai mulai terasa lemas. Tongkat yang berada di saku pinggang akan dipakai oleh Issac.

"Benar-benar melelahkan …"

"Tanpa kau mengambil tindakan, aku sudah tahu monster itu akan muncul."

"Sungguh? Kalau saja kau tidak menghilang sejenak—"

Belum selesai Issac bicara, Reynold bersuara mendesis. Jari telunjuk menyentuh bibir masing-masing. Mereka berdua mendengar sesuatu. Suara bunyi decitan dari arah utara. Anehnya, Dengan tenaga tersisa, Issac dan Reynold berjalan menuju asal suara tersebut. Ketika mereka telah sampai di sana, tidak ada siapapun kecuali buku tergeletak di lantai. Pedang berkarat beserta pedang gergaji disarungkan ke pinggang dan punggung. Buku tersebut dipungut oleh Reynold. Keluarlah kobaran api berukuran sedang. Menyala-nyala seperti lilin untuk penerangan.

Sampul berwarna coklat beserta ketebalannya hampir mencapai ratusan lembar yang disusun rapi. Di bagian tengah, ada penanda tali merah. Tulisan tangan inisial R.L begitu rapi dan miring ke kanan. Karena penasaran, Reynold membuka halaman pertama terlebih dahulu. Issac yang nampaknya mulai kelelahan, duduk serta melurukan kedua kakinya. Halaman demi halaman dibaca oleh Reynold. Terfokus pada bacaan yang sulit dipahami. Dimulai dari waktu, tempat dan pengalaman. Reynold bergumam panjang.

"Bagaimana?" tanya Issac.

"Buku ini berisikan buku diari dari perspektif penulis. Kemungkinan, ada koneksi antara Edgeville Prison dan Aeckland Stronghold."

"Edgeville Prison? Memangnya kau tahu tempat itu ada di mana?" tanya Issac lagi.

Reynold berjalan memutar. Jari telunjuk diacungkan. Membentuk sisi delapan arah mata angin. Issac semula tidak mengerti maksudnya. Kedua bola mata terbelalak syok. Mulutnya menganga tidak mempercayai fakta yang ada. Telapak tangan kanan menutup mulutnya.

"Inilah Edgeville Prison. Penjara yang dikhususkan para monster atau makhluk hasil percobaan dari para peneliti suruhan Diligent Prince Waldwin."

"Kau pasti bercanda," sanggah Issac mengenai pernyataan Reynold.

Namun sepertinya itu sudah menjadi kenyataan. Pemuda berambut perak mulai kebingungan harus menjelaskan pada beliau.

~o0o~

Langkah kaki berjalan cepat dari sebuah ruangan besar. Lebih tepatnya, ruangan di dalamnya khusus Kepala Sekolah Akademi Daponia. Bersama dengan Profesor Tristan kebetulan sedang membawa sebuah dokumen rahasia. Tongkat miliknya membuka sebuah tempat penyimpanan khusus dan hanya beliau yang tahu cara menggunakannya. Lingkaran sihir diputar dari arah lawan jarum jam. Putarannya lebih kencang. Tangan kanan Profesor Tristan menaruh dokumen ke dalam. Baru dikeluarkan kembali. Lingkaran sihir tersebut mulai menghilang.

"Anak-anak mulai khawatir dengan keadaan sekolah ini," ucap Profesor Tristan.

"Saya berpikir demikian. Wajar sih karena satu dan satu murid telah tewas di sekolah. Tidak ada satu pun yang tahu bagaimana cara mengalahkan makhluk bernama Astraldi itu," sahut Profesor Read.

"Astraldi? Siapa yang memberikan nama aneh itu?"

"Menurut Profesor Watts, orang tuanya pernah bertemu dengan makhluk terkutuk itu sewaktu berpetualang," jawab Profesor Read.

"Astraldi, Astraldi, Astraldi … makhluk roh tanpa kasat mata itu ya?"

"Betul, betul. Katanya, ada sebuah insiden di mana dirimu terlibat dalam hal itu."

Ucapan Profesor Read barusan membuat langkah kaki Profesor Tristan berhenti sejenak. Kepalanya tertunduk. Tubuhnya gemtaran. Kedua bola mata beliau terpejam sembari menarik napas sejenak. Membayangkan dirinya berada di situasi yang disebut barusan.

Jeritan dan tangisan silih berganti. Berteriak meminta tolong pada orang-orang yang masih selamat. Air matanya tidak mampu terbendung ketika mengingatnya.

Namun, situasinya mulai berubah. Profesor Tristan tidak bisa menyembunyikan amarah dalam dirinya. Kepalan telapak tangan begitu terasa. Digenggam erat hingga bergetar cukup hebat. Profesor Read melirik pada sosok yang tidak asing di mata Profesor Tristan. Seandainya saja ada Profesor Watts kemari, tentu beliau bisa memberikan informasi berharga bagi keduanya. Tetapi, Professor Read tidak mampu bergerak lebih dalam. Hentakan kedua kaki tidak terasa. Tepat berada di depan mereka berdua.

"Edgeville Incident … aku tidak ingin membicarakannya!"

Tiba-tiba kedua pihak saling serang. Kedua Astraldi menyerang dua pengajar. Menghasilkan Professor Read terpental. Sedangkan Astraldi pertama juga mengalami hal serupa. Hanya saja, efeknya tidak berpengaruh apapun. Profesor Tristan membuka kalung yang ada di leher. Muncullah sosok seekor serigala berbulu biru. Tebal hingga nyaris tidak nampak bagian tubuh sesungguhnya. Serta mengeluarkan taring dan air liurnya menetes ke lantai. Tatapan tajam diarahkan pada Astraldi. Tiga langkah dari kaki Profesor Tristan berjalan. Mengacungkan tongkat beserta mengaktifkan kobaran api di sekelilingnya.

Profesor Read mengerang kesakitan. Tetapi, tubuhnya baik-baik saja. Akan tetapi, entah kenapa aura kebencian begitu menguat di sekitar area. Beruntung, tidak ada siswa yang melintasi area koridor.

"Profesor Tristan!"

"Rasakan ini pembunuh keparat!"

Sebuah kobaran api membesar, melingkari pada makhluk Astraldi. Tongkatnya diputar dengan bagian ujung berkedip. Kobaran tersebut semakin membesar. Astraldi tidak bisa mendekati karena dinding apinya menebal. Di sisi lain, Profesor Read terperangah melihat ekspresi kemarahan dan kebencian dalam diri beliau. Penuh dengan keringat di sekujur wajahnya. Merasa bahwa itu bukanlah Profesor Tristan yang dia kenal. Melainkan sosok survivor dalam Edgeville Incident bernama Tristan Carr.

"Profesor!"

"Jangan mendekat Read!" bentak Profesor Tristan tanpa menoleh wajah Profesor Read.

Para Astraldi melewati dinding api dengan mudah. Profesor Tristan masih belum menyerah. Beliau memiliki kartu truf yang akan digunakan untuk menghabisi mereka.