webnovel

Chapter 05

Tiecia menghindari sentuhan misterius dari makhluk astral. Gadis berambut pirang terus berlari penuh panik. Dia tidak ingin menengok ke belakang. Trauma terus menghantuinya pasca gadis yang tidak dikenal telah dipatahkan lehernya oleh mereka. Langkah derapan kaki silih berganti. Setiap sepuluh langkah kaki bergerak, kepala dia selalu menoleh ke belakang. Napasnya semakin tidak beraturan. Apa yang dilakukan makhluk astral itu tidak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka membunuh orang tidak bersalah. Tiecia mempertanyakan para guru akademi perihal keamanan yang ada.

Derapan langkah kaki tanpa berhenti. Berbelok ke kiri. Melihat ada sebuah jalan di tengah. Tanpa ada pilihan, Tiecia berbelok ke kiri sambil mengayunkan tongkat ke belakang. Memprlambat laju mereka dengan air. Bodohnya Tiecia bahwa makhluk itu dapat menembus objek benda padat. Jantungnya dipompa sangat cepat. Napasnya sudah mulai hampir habis. Melewati koridor ruangan. Menoleh ke belakang kembali. Makhluk astral itu mengejarnya. Keringat semakin banyak, hingga gadis berambut pirang itu terpaksa untuk menyerah. Kedua kakinya dipaksa berlari. Tarikan napas cepat dan berbahaya. Membuat Tiecia kebingungan. Dia mengakui sempat melihat jalan di tengah. Tepat di koridor sekolah akademi Daponia. Sayangnya, Tiecia sempat berpikiran negatif. Kedua bola matanya menyoroti penerangan yang minim. Seperti keuntungan yang tepat bagi seorang pembunuh, monster yang tertutupi kegelapan minim penerangan. Dari sudut pandang di antara keduanya, Tiecia mencoba mengulur waktu sebisanya. Gadis berambut pirang memutarkan separuh badan. Mengacungkan tongkat ke arah makhluk astral. Mereka bersuara menggema. Mengakibatkan lubang telinga berdengung. Tiecia menahan lubang telinganya. Memukul dua sisi bergantian. Dengan terpaksa, Tiecia memutuskan untuk kabur. Yang Tiecia pedulikan adalah keselamatan terhadap diri sendiri. Agak aneh jika dia menyelamatkan orang lain, jika tidak ada keterlibatan lebih dari ini.

Namun di tengah-tengah perjalanan ke arah sana, sosok makhluk astral mencekik Tiecia dari belakang. Erangan keluar dari mulutnya. Mengeluarkan air liur dalam jumlah volume lumayan banyak. Kedua kakinya berayun-ayun. Sedangkan kedua tangan Tiecia mencengkram lengannya lebih keras. Memohon untuk melepaskan gadis berambut pirang dari cengkraman leher oleh para makhluk astral. Di sisi lain, kedua makhluk astral itu berjalan pelan. mengangkat tubuh ke atas sembari mencekiknya. Tongkat yang dia genggam berjatuhan. Kaki kanan Tiecia menendang kecil ke lutut salah satu makhluk astral.

"Lepaskan aku …"

Kedua makhluk astral semakin mengencang cekikannya. Sampai alat pernapasan di dalam kerongkongan mulai terjepit. Mengakibatkan Tiecia sesak napas. Kedua bola mata terbelalak sambil mendongak ke atap langit. Gadis berambut pirang bertanya-tanya mengenai istilah sekarat. Ternyata, dia sudah mengalaminya. Meski demikian, Tiecia tidak mau menyerah. Walau tidak memiliki keunggulan apapun secara fisik, gadis berambut pirang sudah membkuktikan bahwa dirinya telah melawan monster semacam mereka.

Di saat hendak mengakhiri hidup, suara sonar berbunyi. Makhluk astral yang mencekik Tiecia, dipaksa untuk melepaskan kedua lengannya. Gadis berambut pirang terbatuk-batuk. Mengeluarkan dahaknya sembari menghirup udara sebanyak-banyaknya. Termasuk bernapas melalui diafragma dan perut secara bergantian. Tangan kanan mengambil tongkatnya. Merapalkan sebuah mantra disertai berupa sambaran petir, mengarah kepada mereka. Paha sebelah kanan darinya bergerak cepat. Berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang. Sesaat menjumpai siswa yang baru keluar, Tiecia berteriak dengan lantang. "Pergilah dari sini!"

Serta menunjukkan bukti makhluk astral di sampingnya, membuat para siswa berteriak histeris. Tiecia menyuruhnya untuk berlari. Para makhluk astral terus mengejarnya. Menggeram karena efek kejutan listrik. Sampai ada seorang guru berjubah merah, datang untuk menyelamatkan para siswanya. Berambut panjang acak-acakan. Poninya turut memanjang sampai menutupi bagian kedua bola matanya. Tudung kepala dari jubah dibuka. Hidungnya mancung dan ada bekas bibir di bagian bawah pojok kanan. Leher sebelah kanan, terdapat tato berlambang burung elang yang mengepakkan sayapnya. Sedang menggenggam tongkat berukuran panjang dan perisai bundar dengan corak warna antara kuning dan coklat tua.

Tiecia melirik ke samping kanan. Jalan tengah yang dimaksud itu malah menghilang. Gadis berambut pirang keheranan dengan hilangnya tempat tersebut.

"Kau baik-baik saja?" tanya salah satu siswi bersamanya.

"Ya."

"Wahai monster yang berbahaya, segera enyahlah dari tempat ini! Jika tidak, akan kukutuk kau—"

Belum selesai bicara, sebuah cengkraman dari makhluk astral mencekik guru berjubah merah. Rahang giginya menggeram. Lengan kirinya diayunkan dari arah serupa. Tetapi, dia kalah cepat. Kedua telapak tangan dari makhluk astral mencekiknya lebih kuat hingga bersuara keras. Kepalanya mendongak tanpa jiwa. Tubuhnya terbujur kaku. Saat menyerbu lagi, ada suara sonar kembali menerpa para makhluk astral. Mereka pun berbalik arah menuju sebuah dinding koridor. Langkah kakinya berjalan sangat lambat. Gadis berambut pirang melotot tajam pada punggung para makhluk astral. Kedipan mata sembari mengangkat tongkat dengan hati-hati. Memastikan mereka tidak berbalik arah dan menyerang ketiganya. Tangan kirinya membuka pengerat untuk perisai. Di saat dirinya menyentuh tongkat, sebuah elemen api merasuki ke tubuh Tiecia. Kedua gadis berambut pirang terbelalak, dan para siswi yang selamat menghampiri salah satu guru berjubah merah. Disusul oleh Tiecia yang mengawasi para makhluk astral menembus dinding tersebut. Para siswi mengecek urat nadi di pergelangan tangan kanan. Tetapi, beliau telah menghembuskan napas terakhir. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi, salah satu dari mereka telah berteriak meminta tolong pada siapapun yang lewat. Tiecia berharap, mimpi buruk itu akan segera berakhir.

Nyatanya tidak seperti itu. Para guru yang tidak bertugas, berlari cepat menghampiri peristiwa itu. Menanyakan para saksi yang menyaksikan kejadian tersebut satu persatu. Termasuk Tiecia yang tidak lepas dari pengawasan mereka.

Gadis berambut pirang memejamkan kedua bola matanya. Dirinya telah dibuli oleh Sapphire dan kawan-kawan. Merasa bahwa Tiecia mengalami kutukan yang membuat orang lain terbunuh. Kepalan kedua tangan tidak kuasa menahan emosi. Merasa gadis berambut pirang sangatlah lemah. Suaranya menggeram hingga terdengar oleh salah satu guru di belakangnya. Beliau berdeham dan menyunggingkan senyum.

"Apa anda baik-baik saja dengan kejadian itu?"

"Bohong kalau saya tidak apa-apa," ujar Tiecia membalas berupa senyuman paksa.

Wanita berusia 40an, berambut keriting mengenakan jubah lengkap dengan topi berwarna hitam. Wajahnya berbentuk segi empat, bermata coklat muda dan menatap pada salah satu guru berjubah merah dan para siswi. Sedangkan siswa lainnya berbondong-bondong memeluk atau mengecek kondisi mental para siswa yang melihat makhluk astral. Sadar bahwa mereka dapat menarik perhatian sekitarnya, gadis berambut pirang berancang-ancang untuk pergi.

"Seandainya ibu bertanya lagi, bisa langsung ke kamar asrama saya bu. Nanti saya akan jelaskan. Mau tenangin diri sejenak," gumamnya terburu-buru.

"Tunggu …"

Namun Tiecia tidak menoleh sedikit pun ke belakang. Tahu bahwa ada geng Sapphire menghampiri siswa di belakangnya. Aku tidak ingin dekat-dekat dengan mereka. Bisa-bisa, mereka menyalahkanku atas kematian di sekitarku. Aku harus bersembunyi, gumamnya dalam hati. Hingga Tiecia melihat dua pemuda sedang keluar dari batang kayu berukuran besar. Tepatnya di tengah-tengah koridor. Anehnya, orang-orang tidak menyadari kehadiran mereka. Tiecia mengekspresikan keheranannya sekaligus bingung melihat situasi semacam ini.

~o0o~

Issac tidak percaya bahwa apa yang dilakukannya akan berbuntut panjang. Pemuda berambut perak mengecek tubuhnya sendiri. Dimulai dari wajah, leher, anggota gerak seperti tangan dan kaki hingga alat vital sekali pun. Semua yang Issac sentuh telah mengalami perkembangan pesat secara dua kali lipatnya. Pasca menyentuh tombak misterius, serasa energi kegelapan merasuki tubuhnya. Pemuda berambut perak terdiam sejenak. Menunggu efek samping ketika bersentuhan dengan benda misterius. Di sampingnya, terdapat Reynold berkeinginan untuk melepas dan mengganti perban. Tetapi tidak jadi karena efeknya tidak terlalu banyak. Urat nadi Reynold mulai bergejolak. Pergelangan tangan kanan gemetar cukup hebat. Akhirnya, pemuda bertopi runcing mengambil sebuah keputusan. Yaitu melanjutkan kembali membuka perban meski bertentangan dengan hati nuraninya.

Pemuda bertopi runcing melihat sekelilingnya. Tidak ada siapapun yang menghampiri mereka. Muncullah sebuah pintu yang ada di samping kanan. Berdiri tegak memancing rasa penasaran Reynold dan Issac. Bagi Reynold yang sudah ke sekian kali dia kemari, itu merupakan hal biasa. Dia menunggu waktu yang tepat untuk bisa beradaptasi lagi.

Perban yang ada di kedua lengan gemetar sejenak. Dibukalah perban secara spiral dan penuh hati-hati. Tatapan tajam diarahkan pada lengan kiri terlebih dahulu. Suara percikan api memecah terkena ranting pohon. Tetapi tidak sampai terbakar sepenuhnya lantaran tidak terlalu dekat dengan kobaran api. Akan tetapi, semakin lama, ranting pohon menghitam. Issac menggerakkan ranting pohon panjangnya. Digerakkan sembari menatap Reynold sibuk membuka perban.

Ada bekas sayatan di sekujur lengannya. Tetapi, luka itu bisa sembuh dengan cepat meski meninggalkan bekas. Telapak tangan kiri digenggam perlahan, menghasilkan bayangan hitam dari tubuhnya. Muncullah seekor laba-laba berjalan cepat. Dimulai dari kepala, badan hingga kulitnya hitam. Kedipan mata seekor laba-laba terhadap Issac dan Reynold, melompat beserta mengeluarkan jaring ke bahu sebelah kiri.

"Laba-laba?"

"Dulu sebelum menjadi manusia seutuhnya, aku lahir separuh manusia, separuh laba-laba. Wajahku buruk rupa sampai dilempari batu oleh orang-orang sekitar. Katanya membawa bencana atau kutukan. Ya ucapan mereka tidaklah salah."

"Aku turut sedih mendengarnya," lirih Issac.

"Jangan. Aku tidak butuh simpati palsu," balas Reynold.

Namun, Reynold menatap wajah Issac penuh iba. Dia tidak bisa memungkiri bahwa pemuda berambut perak memiliki kesamaan mengenai masa lalunya. Dan Reynold sedikit lebih baik. Dia menyunggingkan senyum tipis.

"Tapi … tidak buruk juga ketika kau mengatakan secara langsung."

Reynold berpikir sudah saatnya melangkah ke depan. Berlatih keras hingga dirinya menjadi seseorang yang diharapkan keluarga kelak. Tentu saja demi garis keturunan keluarga Ellis yang sempat hancur.

~o0o~

Sejak kecil, Reynold dibesarkan di sebuah kota pesisir dekat dengan laut Meriley. Tempat itu sangat ramai dikunjungi banyak orang. Terutama kalangan wisatawan yang hendak berlibur menikmati panas teriknya matahari. Orang-orang sedang duduk di kursi. Terdapat payung yang terpasang di antara dua buah kursi dan meja bundar. Permukaan pasir merata. Batu kecil yang tersebar di pasir tersapu bersih oleh derasnya ombak. Beberapa orang mengayunkan kedua kakinya. Merasakan kenyamanan saat berenang di lautan. Berharap liburan tersebutt membuat tamu mulai senang.

Namun, tidak halnya dengan Reynold. Malahan, dia duduk termenung di dalam sebuah ruangan segi panjang. Dingin dan mencekam. Di saat orang lain sedang bersenang-senang, Reynold hanya bisa berbaring di sebuah kasur dari papan yang sangat keras. Membayangkan dirinya berada di pantai bersama teman-teman. Bermain air bersama, memainkan permainan bola voli, berenang, berseluncur, berjemur dan melakukan aktivitas yang sekiranya bisa menyenangkan baginya. Sayang, mimpi itu tidak akan pernah terwujud.

Berapa kali Reynold memohon, warga di sekitar Meriley tidak mengizinkannya. Terutama wajahnya yang menyerupai seekor laba-laba. Kedua bola matanya tumbuh berjumlah enam bola mata. Suara kerongkongan mengerang kesakitan. Dadanya mengalami sesak napas. Kaki dan tangan masih relatif aman mengenai kondisinya. Walau demikian, anggota gerak mengalami pendarahan. Bekas cakaran mulai menampak, mulai menghitam tanpa sebab. Ditambah punggung mulai memerah akibat efek samping perubahan drastis.

Jeritan demi jeritan terus dikeluarkan. Membuka mulutnya sembari menjerit bersuara melengking. Mengingatnya kembali masa-masa Reynold dihina oleh para warga Meriley.

Orang tua Reynold meninggal dunia setelah berpetualang. Mereka mengajak putranya karena tidak ingin merasa kesepian. Dan Reynold tidak keberatan ikut bersamanya. Walau demikian, dia tidak mengetahui bahwa mereka membawa sebuah benda berbahaya. Benda itu nantinya akan menghancurkan kehidupannya. Tidak peduli untuk masa sekarang hingga nantinya. Orang tua Reynold sejatinya memiliki reputasi terkenal sebagai pembunuh monster atau disebut monster killer. Mereka berburu monster jika memang hasilnya sepadan . Tentu saja dengan hasil jerih payah. Reynold yang berusia lima tahun saat itu merasakan senang saat dirinya menjadi anak dari petualang pembunuh monster. Bahkan, ibunya satu profesi dengan ayah Reynold. Bedanya, kedua mengambil jalan berbeda dalam menangani monster. Ayah Reynold merupakan seorang petarung. Sedangkan Ibunya peneliti sekaligus penyihir secara bersamaan.

Hingga suatu ketika, mereka mendapatkan sebuah misi berupa berburu salah satu iblis paling lemah. Yaitu bernama Kuzgan. Iblis itu memiliki tiga tanduk. Dua sisi tanduk pada bagian pinggir. Dan satu lagi ada di bagian hidungnya. Cakaran yang sangat tajam seperti seekor singa yang menerkam mangsa. Kepakan sayap berwarna hitam, melebar saat dibuka. Serta memiliki badan kurus bagaikan manusia yang tidak punya selera makan. Walau demikian, kekuatan iblis itu terletak pada sumber energi sihir, yang mana makhluk bertanduk itu akan menghisap energi kehidupan tiap individu. Baik itu manusia maupun hewan. Tidak ada yang tahu secara pasti seperti apa rupanya kecuali tiga buah tanduk.

Oleh sebab itulah, orang tua Reynold tidak membawa putranya untuk berpetualang. Takutnya dia akan menjadi korban keganasan oleh Kuzgan dan armada pasukan iblis. Reynold merasa sedih bahwa dirinya tidak bisa ikut bersama mereka. Saat itulah, Ayah dan Ibu Reynold menggandeng tangannya. Memeluk putranya seolah-olah pertemuan yang mengharukan itu adalah pertemuan terakhir di antara mereka. Kemudian, keduanya saling bergantian untuk mencium kening Reynold.

"Nak, aku tahu apa yang kau inginkan. Tapi percayalah. Aku tidak ingin melihatmu mati di tangan mereka. Setidaknya, lepaskan kami untuk melawan iblis."

"Tapi Ayah—"

Belum selesai Reynold berbicara, Ibunya memeluk erat. Mengelus-elus bagian kepala serta mengacak-acak rambutnya. Mencium aroma rambut yang dipakai oleh putra semata wayangnya.

"Berjanjilah untuk selalu jaga diri ya, nak …"

Reynold tidak mampu berkata apa-apa saat itu. Walau demikian, kehangatan yang terpancar itu mampu dirasakan. Kedua telapak tangannya mencengkram punggung beliau. Baik Ayah maupun Ibu Reynold tidak akan melepaskan pelukan erat dan hangat. Saling bergumam sembari membacakan lantunan doa dari bahasa Epuni.

"Nak, Ayah akan memberikanmu sebuah pelindung."

"Pelindung?"

Ayah Reynold memberikan sebuah toples berisikan energi sihir hitam dan seekor laba-laba. Toples itu dimantrai sihir oleh Ibunya. Tekanan sihir begitu dahsyat. Sampai tidak diperbolehkan untuk keluar. Reynold berkedip melihat isi tersebut. Laba-laba itu berjalan cepat merayap sebuah kaca di dalam toples. Melotot tajam pada Reynold. Ekspresinya terkejut ngeri. Bisa-bisanya, orang tuanya membawa barang itu di depan dia.

"Ayah tahu jika toples ini sangat tidak bagus untukmu. Tapi percayalah … Ayah ingin kau menjaga ini untuk melindungimu dari bahaya."

"Tapi aku tidak mau Ayah! Aku tidak ingin menggunakannya!" bantah Reynold memukul dada bidangnya.

Namun, Ayah Reynold nampaknya tidak begitu senang dengan jawaban putra semata wayang. Rambut coklatnya tertiup angin kencang. Merasakan sudah saatnya untuk segera pergi. Tidak bisa berlama-lama karena akan berbahaya jika musuh telah datang kemari.

"Ayah berjanji, begitu sudah pulang nanti … Ayah akan menjelaskan semua dan kegunaannya. Untuk saat ini, percayalah pada Ayah!" kata beliau menyunggingkan senyum.

Reynold tidak mampu membalasnya dengan kata-kata. Tangisan pun pecah. Mendongak ke langit disertai derasnya air mata. Memohon untuk tidak pergi. Termasuk pada Ibu Reynold. Kedua orang tuanya menitikkan air matanya. Diusaplah air mata dengan jari telunjuknya. Bersiap untuk pergi melakukan perjalanan.

Setelah itu, Reynold melihat kepergian orang tuanya. Meninggalkan dia seorang diri. Langkah derapan kaki mereka semakin berat. Berjalan tanpa menoleh ke belakang. Putra semata wayangnya menangis histeris. Mencengkram toples yang digenggamnya.

Dua tahun setelahnya, Reynold mendapatkan kabar bahwa orang tuanya tewas dalam pertempuran melawan Kuzgan, iblis paling terkuat. Hanya ditemukan potongan tangan dari orang tuanya dan name tag dalam wujud kalung. Reynold yang mendengar kisahnya menangis keras. Enggan bertemu dengan para petualang yang memberi kabar duka. Dia berbalik arah tanpa mempedulikan sekitarnya. Berlari sekencang-kencangnya. Seakan itu semua hanyalah bohong semata. Air matanya mulai tidak terbendung lagi. Mencengkram toples yang berisikan energi hitam dan seekor laba-laba. Bagi Reynold, itu hanyalah hadiah sampah yang dia terima selama masih hidup.

Hujan deras membasahi permukaan lautan. Terdiam sejenak, mendengar suara ombak deras di depan mata. Angin bertiup sangat kencang. Reynold berteriak kencang. Menyalahkan keadaan dan Dewa yang sudah merenggut kehidupan normalnya. Terus menjerit sampai pita suaranya habis.

Membanting toplesnya hingga energi hitam tersebut merasuki tubuhnya. Disusul oleh seekor laba-laba yang berniat menyusup pada kedua lengannya. Teriakan dari kerongkongannya tanpa henti. Mengeluarkan banyak darah di sekujur tubuhnya. Melotot tajam pada lautan beserta langit mendung. Rahang giginya menegang. Mencakar berkali-kali pada bagian lengannya. Bersiap untuk mengakhiri hidupnya dan memasrahkan diri terhadap makhluk yang bersemayam dalam tubuh Reynold.