webnovel

Chapter 04

Gadis berambut pirang merasa tidak nyaman berada di sekolah akademi Daponia. Ke mana-mana, dirinya selalu diintai. Semakin dia berjalan cepat, semakin rasanya sebuah tatapan misterius melotot tajam kepadanya. Seolah-olah, gadis berambut pirang telah melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Jantungnya berdegup kencang. Merasakan ketakutan mendalam pasca dibully oleh Sapphire dan gengnya.

Tubuhnya gemetaran meski sudah berakhir. Rahang gigi dia terus menerus bergetar. Sorot kedua bola matanya tidak lepas melirik ke sana kemari. Lensa mata dan pupil melebar. Bulu kuduknya bergedik. Gadis berambut pirang menelan ludah. Semenjak pertemuannya dengan Sapphire dan kawan-kawan, dirinya selalu terisolasi dengan orang lain. Dalam lubuk hatinya, gadis berambut pirang selalu memproteksi diri dengan benteng-benteng terkuat. Tidak mudah percaya dan memilih bungkam merupakan kunci darinya. Agar terhindar dari masalah yang tidak perlu. Selain itu, dia mudah curiga terhadap orang lain. Tidak peduli seberapa orang itu baik kepada gadis berambut pirang.

Beberapa siswa berjalan sembari melihat gadis berambut pirang. Lirikan kedua bola matanya mengabaikan keberadaan mreka. Selama mereka tidak menyapa duluan, dia tidak akan membalasnya. Derapan langkah kaki cepat dari sepatu yang dikenakan. Mencoba untuk rileks, tetapi tidak bisa. Dia bergegas menuju kamar mandi perempuan. Masuk ke dalam dan membukakan pintunya. Tidak ketinggalan, dia ke dalam kloset. Menutup pintunya sambil mengunci pintu rapat. Kedua kakinya merapat. Menarik napas panjang dan pelan. Kedua bola matanya melirik lambat. Dari posisi kanan mengarah ke kiri. Mencoba fokus mendengarkan suara apapun yang ada di sekitar kamar mandi.

Tiba-tiba, gadis berambut pirang mendengar suara pintu telah terbuka. Suara sepatu melangkah menuju sebuah wastafel. Gadis berambut pirang membayangkan orang itu sedang menatap sebuah cermin segi empat. Ditarik tuas ke atas, keluarlah air cukup deras. Kedua telapak tangannya dicuci sampai bersih. Digosok-gosok sampai pangkal telapak tangannya benar-benar bersih. Wastafel didorong ke bawah. Suara percikan air menetes. Mengambil tisu dekat wastafel dan mengusapnya hingga kering. Setelah itu, dia membuangnyake tong sampah. Berjalan menuju pintu keluar. Baru sampai menyentuh knop pintu, suara piring pecah terdengar dalam kamar mandi.

"Halo?" tanya salah satu gadis.

Selangkah demi selangkah dia berjalan. Mendengar suara piring kembali pecah. Begitu keras dan lubang telinganya perih kesakitan. Telapak tangan dia menghampiri asal suara tersebut. Dengan hati-hati, gadis itu mendekati sebuah pintu yang terletak di samping kanan. Saat dibuka, gadis berambut pirang beranjak dari kamar mandi. Mendorong pintunya ke depan. Menggandeng tangan gadis lainnya untuk pergi dari kamar mandi.

"Tunggu, apa—"

"Pergilah dari sini!"

Suara piring pecah ketiga kembali terdengar. Kali ini, sosok makhluk astral menembus dinding kamar mandi perempuan. Makhluk itu tidak berwujud manusia seperti biasa. Tanpa mata, hidung, telinga, bibir dan organ dalam apapun. Hanya kilatan cahaya putih menyinari tubuhnya. Seperti sebuah siluet kasat mata.

Ketika gadis berambut pirang menggandeng sesama perempuan, dia merasakan sensasi yang tidak biasa. Sensasi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata. Jantung berdebar-debar. Memompa begitu cepat hingga adrenalinnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Bagi gadis berambut pirang, sudah lama sekali tidak merasakan pengalaman menarik. Bibirnya menyeringai, merasa baikan setelah selesai keluar dari kamar mandi perempuan. Gadis yang digandeng berambut pirang mengatur napasnya. Kedua kakinya ditekuk ke depan. Tangannya menyentuh paha dia. Salah satu tangan kanan dikibas. Melotot tajam pada gadis berambut pirang.

"Yang barusan itu apa?" katanya mencoba mengatur napas.

"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, piring pecah itu adalah sebuah penanda."

"Penanda?" tanyanya lagi.

"Penanda bahwa sesuatu telah terjadi di sekolah ini. Dan kita harus mencari tahu segera," jawab gadis berambut pirang.

"Tunggu! Kau bilang 'kita'? Apa kau sudah gila nona—" ucapan tersebut dipotong oleh gadis berambut pirang.

Nampaknya, gadis itu sedang sibuk mencium aroma sesuatu. Dia melirik ke belakang. Tetapi, tidak ada siapapun di belakang. Hanya mencium bau aneh. Menusuk ke dalam rongga hidung. Hingga saat ini, gadis berambut pirang bersikap hati-hati. Wajahnya mengeras sembari memperhatikan sekelilingnya.

"Tiecia … Tiecia Kydwelly. Itu namaku," ucap gadis berambut pirang.

Gadis yang telah dia selamatkan menarik secarik kertas di punggungnya. Tanpa disadari, Tiecia merebutnya dengan cepat. Tatapan tajam disematkan pada tulisannya. Dalam bahasa Epuni, memiliki sebuah arti yang artinya miskin atau penniless. Menggeram karena tidak berhasil meyakinkan orang lain bahwa dia memiliki prestasi cemerlang. Helaan napas dibuang secara kasar.

"Kau sendiri ngapain di kamar mandi?" tanya Tiecia.

"Soal itu—"

Tiba-tiba, suara retakan ada di depan mata Tiecia. Lehernya diputar dengan cepat oleh makhluk astral. Melihat dengan penuh horor.

~o0o~

Suara burung gagak berkoak-koak, silih berganti. Membangunkan Issac kala tidak sadarkan diri. Kedua bola matanya terbuka pelan-pelan. Lehernya digerakkan sembari mendongak pada percikan api di perapian. Burung gagak bertengger di atas benteng. Berkoak-koak tanpa henti. Kedua bola mata Issac berkedip-kedip. Melirik sekelilingnya. Terasa sunyi dari indera pendengaran. Entah bagaimana Issac berada di sini. Lengan kanan mengucek-kucek kedua bola matanya. Melihat seorang pemuda seusianya. Terlihat dia sedang mendorong beberapa ranting kayu di bagian tengah. Kayu yang dia pegang terus digerakkan beserta masuk ke dalam perapian. Percikan-percikan api berjatuhan. Menghasilkan suara yang nyaring.

Pemuda itu mengenakan jubah hitam dengan topi runcing melebar. Mirip seperti seorang bajak laut. Matanya memancarkan rasa penasaran terhadap Issac. Laki-laki berambut perak menatap lebih lama padanya. Orang yang ditatapinya terasa tidak nyaman. Menaruh ranting kayu pada ujungnya ke dalam. Menaruh kembali sembari menatap balik.

"Kau sepertinya selamat dari serangan Bulprogi," ucap pemuda bertopi runcing.

"Terima … kasih?"

"Ngapain? Toh aku tidak melakukan apapun untukmu," sanggah pemuda bertopi runcing ketika Issac mengucapkan terima kasih.

"Terserah kau sajalah," cibir Issac.

Tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Issac melihat seorang pemuda bertopi runcing merogoh di dalam tasnya. Warna kuning tua dalam keadaan compang-camping. Bentuknya semacam tas selempangan. Berisikan beberapa obat seperti obat herbal untuk menyembuhkan penyakit dan luka dalam. Sebuah botol berisikan alkohol, dicampur dengan kain lusuh berwarna gelap. Apabila dilemparkan ke arah yang dituju, bom itu akan mengalami pecah, api langsung menyebar ke seluruh area. Akan tetapi, itu hanya berlaku selama beberapa detik saja. Tidaklah cukup jika dalam waktu yang cukup lama. Walau demikian, daya sebarnya meluas. Tidak sembarang dilempar begitu saja lantaran penyebarannya meluas.

Issac menatap pada bom molotov. Dengan enteng, telapak tangannya menyentuh botol berisikan bom peledak. Akan tetapi, pemuda itu menggerakkan separuh badan ke kanan. Kedua bahunya menegang. Meningkatkan kewaspadaan dari pemuda bertopi runcing. Issac menurunkan kedua tangannya. Mengambil tusuk kayu berisi makanan. Seekor ikan hasil tangkapan olehnya. Issac mengunyah dengan lahap. Tidak peduli ada tulang-tulang kecil, dia langsung memakannya.

"Kau pasti kelaparan bukan?"

"Tahu saja."

"Apa aku salah?" tanya pemuda bertopi runcing.

Namun tidak ada respon darinya. Kedua matanya mendongak pada perapian. Pemuda berambut perak menggeser kayu-kayu di dalamnya. Kobaran api mulai membesar. Begitu hangat setelah mengalami basah kuyub karena hujan.

Setelah dipikir-pikir, Issac baru pertama kali menyadari sesuatu yang salah. Dia mendengar suara derasnya hujan dari luar. Kedua bola matanya berkedip-kedip. Mendongak ke atap langit sebuah ruangan. Betapa terkejutnya tempat yang dia ketahui.

Tempat itu berisikan buku dalam keadaan usang dan dipenuhi sarang laba-laba. Tiap pojokan, ada seekor laba-laba bergelantungan sembari merajut dengan jaringnya. Tidak ada yang istimewa tempat yang disinggah kecuali buku dalam keadaan tidak rapi. Issac tidak mengerti dengan orang-orang sekarang. Meninggalkan sebuah barang yang sudah mati itu sama saja membiarkan seorang pencuri mengambil barang. Apabila tempat itu terkutuk, maka Issac tidak bisa menyalahkan keadaan.

"Manusia memang tidak pernah puas."

"Kau membicarakan pengalaman pribadi?"

Sebuah anggukan dari ucapan pemuda bertopi runcing. Issac menadahkan kedua telapak tangannya dekat perapian. Kedua bola matanya tertuju di ruangan yang tertutup. Hanya terdapat sebuah pintu di samping kiri. Dalam keadaan terkunci lantaran sebongkah kayu digeser.

"Orang baru?"

"Orang baru?" kata Issac mengerutkan kening.

"Biasanya, orang yang pertama kali ada di sini itu akan mengalami kebingungan untuk mencari jalan keluar. Termasuk para siswa sekalipun."

"Kau tahu banyak ya tempat ini," ujar Issac.

"Reynold Ellis. Kau?"

"Issac. Issac Garretwards," katanya berjabat tangan.

Pemuda bertopi runcing bernama Reynold menerima jabatan dari Issac. Keduanya menggoyangkan lengan sejenak. Sampai salah satu dari pihak melepaskan genggaman erat. Rupanya, Issac yang melepas terlebih dahulu. Mendongak pada sebuah ruangan dengan keheranan.

"Tempat apa ini sebenarnya?"

"Aeckland Stronghold. Atau bisa dibilang istana pertahanan dari serangan Dark Sideth. Monster yang telah melahap semua kehidupan yang ada. Sampai detik ini, tidak ada yang tahu wujudnya dan kenapa bisa menampakkan diri."

"Sampai sekarang?" kata Issac terperangah tidak percaya dengan penjelasan Reynold.

Namun, ucapan pemuda bertopi runcing ada benarnya. Kedua matanya membuka syal yang dikalungkan ke leher. Bibirnya dijilat oleh lidah. Berputar searah jarum jam karena mengering. Issac sebenarnya ingin bertanya sesuatu. Tetapi mengurungkan niatnya karena waktu kurang tepat.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa mengetahui tempat ini? Apa kau barusan melewati jalan tengah?"

"Y-ya … jalan tengah. Memangnya kenapa?"

"Itu adalah asal muasal dari sebuah dungeon bernama Unknown Origin. Sebuah tempat bagi orang-orang yang berkeinginan untuk bunuh diri dengan cara tragis," ujar Reynold.

"Bunuh diri? Aku tidak terlintas pikiran itu."

"Bagi orang normal ya. Tapi bagi Outcast seperti kita, itu adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Bahkan Sang Dew Ila sendiri memberikan perhatian khusus terhadap kita."

Lagi-lagi Dewa Ila, gumam Issac dalam hati. Pemuda berambut perak tidak menyalahkan atas kesialan yang menimpa dirinya. Walau demikian, Issac tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Kedua kakinya berusaha untuk berdiri.

"Selain itu, Unknown Origin itu semestinya tidak terkoneksi dengan sekolah. Terlalu beresiko. Belum lagi, setiap dungeon yang ada akan berubah secara acak. Apakah kau akan ditaruh di sebuah makam, istana pertahanan, benteng dan lain-lain. Hingga saat ini, tidak ada orang yang menyadari Unknown Origin seperti apa," kata Reynold penuh antusias.

"Apakah ada Kerajaan atau Kekaisaran mengetahui tempat ini?"

"Tidak. Kalau mereka tahu, kehidupan mereka akan berantakan. Ada kalanya, hanya orang-orang tertentu dan memiliki bermental baja bisa ke sana. Tidak peduli kehidupan kita keras, selama bisa menjaga kewarasannya."

Issac bergumam panjang. Mengelus dagunya sambil memperhatikan pakaian yang dikenakan Reynold. Entah kenapa, tidak mencerminkan selayaknya seorang siswa pada umumnya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki dipenuhi kotoran atau bekas tanah yang dipijak. Selain itu, baju yang dikenakan mengandung unsur kotoran hewan yang bercampur aduk. Issac menutup hidung disertai menjaga jarak dengannya. Kedua kakinya bergerak mundur disertai paha digerakkan. Lalu kedua telapak tangan kembali ditadahkan. Merasa bahwa sudah saatnya perlu menghangatkan diri.

Pemuda berambut perak membuka pakaian seragam. Takut masuk angin. Setelah itu, dia melepaskannya dan menjemur dekat perapian. Reynold memoncongkan bibir beserta alisnya berkerut. Hidungnya mendengus kesal. Melemparkan kain tebal untuk Issac. Pemuda berambut perak mencium aroma bau pada selimut yang dikenakan. Terasa bau bangkai hewan. Permukaan selimutnya kasar dan menghitam. Tidak menyangka Reynold menyimpan barang sebau ini.

"Jangan banyak mengeluh," gerutu Reynold.

"Siapa juga yang mengeluh, dasar bodoh!" sembur Issac. Dua jemarinya mengelus-elus dagunya sambil berkata. "Tapi bisakah kita cari jalan keluarnya? Jujur, tempat ini agak aneh dan mudah tersesat bagi orang yang baru pertama kali sepertiku."

Reynold mengibaskan telapak tangan kiri dengan tertawa masam. Kedua bibirnya miring ke kiri disertai berdecak lidah. Jari telunjuknya menyentuh pojok dekat hidung samping kiri. Tepat di bagian saraf mata. Tiba-tiba, lengan sebelah kiri gemetaran. Sudah lama sekali mengalami resonansi yang tidak wajar. Senyuman bibir darinya, membuka kain perban hitam. Perlahan-lahan Reynold membukanya. Kedua bola matanya fokus pada perban. Diputar-putar secara spiral. Kedipan bola mata cepat disertai napas tidak teratur. Berharap pemuda bernama Issac bisa menjauh darinya.