webnovel

Chapter 03

Tempat itu dipenuhi banyak sekali hal-hal yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Seolah-olah mendapatkan sambutan luar biasa dari tempat tersebut. Kekuatan sihirnya 20 kali lipat dari sebelumnya. Tekanan aura di sekelilingnya begitu terasa. Sebagian besar pohon dalam keadaan tumbang dan layu. Termasuk juga bunga-bunga yang turut mengalami layu. Baunya menusuk ke lubang hidung Issac. Petir menggelegar di sekelilingnya. Hujan deras membasahi pakaian pemuda berambut perak. Telapak tangan Issac mengusap wajah dia. Tiupan angin yang kencang mengenai seragam sekolah Issac. Dia mencairi cara untuk bisa berteduh.

Namun, selama berjalan tidak terjadi apapun atau lokasi untuk berteduh. Derapan langkah kaki Issa disertai berfantasi hal yang bukan-bukan. meski keduanya perempuan, merka memilih keterkaitan dengan tempat itu. Awan hitam menutupi sinar rembulan. Disertai kilatan petir yang nampak dari kejauhan. Derasnya hujan membuat Issac tidak betah berlama-lama karena basah kuyub. Laki-laki berambut perak berlari cepat. Kedua telapak tangannya menutupi kepala Issac.

Tidak peduli di manapun berada, tempat itu tidak akan bisa lepas dari keluarga yang ada. Akan tetapi, Issac merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan. Dia terus berjalan. Kedua bola matanya melotot tajam pada area sekelilingnya. Kosong tanpa dihuni orang. Rumah, gubuk, taman yang dipenuhi tumbuhan layu dan menghitam. Sekumpulan mayat tergeletak di jalan. Laki-laki, perempuan, anak-anak serta golongan tua sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Hujan deras tanpa henti. Mengakibatkan permukaan tanah menjadi becek. Sedangkan lantai yang sudah terpasang, akan mengalami hal serupa. Beberapa menit berselang, suara petir menggelegar kembali terjadi. Mengganggu indera pendengarannya.

Sesampainya di tengah perjalanan, Issac mendapati dirinya sulit untuk berjalan. Semakin dia bergerak, semakin susah untuk berpijak di tanah. Issac merunduk pada sepatu hitamnya. Melihat kedua telapak kaki berayun-ayun. Matanya terbelalak tidak percaya. Issac mencoba untuk turun secara paksa. Tetapi hasilnya nihil. Sebaliknya, pemuda berambut perak melihat ada benda yang biasa dipakai untuk bertahan. Sebuah tiang penerangan dan tanaman dari pohon kacang polong. Tingginya sekitar 230 sentimeter dan beratnya sepuluh kilogram. Tangan kanan menggenggam erat tiang penerangan terlebih dahulu. Kemudian, tanaman dari pohon kacang polong dicengkramnya erat. Erangan keluar dari mulutnya. Berharap dirinya dapat bertahan lebih lama.

Selangkah demi selangkah Issac tarik. Otot dan sarafnya kram. Pembuluh darahnya naik drastis. Kedua kakinya berhasil dipijak. Sampai dia mendapati lubang ukuran lingkaran. Kaki kanan dipijak. Telah mendapatkan gravitasi normal untuk berjalan. Tangan kiri menyentuh logam lingkaran di atas kakinya. Mengelus-elus sambil merasakan permukaan logam itu. Terasa kasar walau berat.

Tangan kirinya melepaskan tumbuhan dan tiang penerangan. Dengan hati-hati, sepatunya menginjak logam tersebut. Memikirkan cara supaya tidak kehilangan gravitasi. Di saat dirinya sedang berpikir, Issac melihat sebuah istana megah disertai benteng tangguhnya. Dia mendongak tidak percaya.

Karena penasaran, Issac mengambil sebuah resiko. Satu langkah kakinya melewati garis lingkaran. Ketiga jemari pada sebuah kaki bergesek pelan. Seketika, terangkat dengan sendirinya. Hingga Issac memiliki cara untuk melayang di udara tanpa menggunakan sihir. Tarikan napas panjang dari mulut Issac. Tarikan gravitasi ke atas, mengakibatkan pemuda berambut perak melayang. Mulutnya terbuka pelan. Bergumam sambil cari cara untuk menahan sebisanya. Kedua bola mata Issac tertuju pada sebuah istana yang megah tetapi diabaikan.

Dinding berdiri kokoh dan tebal. Berbentuk trapesium jika diperhatikan secara sekilas. Menjulang hingga sulit ditembus. Menara pengawas berjumlah sembilan pada lapisan kedua. Sedangkan lapisan pertama hanya menyisakan senjata semacam lima buah meriam. Pada bagian pojok kanan, terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama terletak Bagian atas di pojok kanan disertai menara pengawas. Tidak ada yang berjaga di sana. Sedangkan bagian bawah berukuran kecil dalam jumlah dua buah meriam. Terlihat bagian pemicu maupun roda pada bagian meriam dalam keadaan rusak parah. Selain itu, dua mayat berserakan di atasnya.

Issac tidak tahu harus merespon apa soal ini. Akan tetapi, dia hanya melihat sebuah menara terkecil yang pernah disaksikan. Pemuda berambut perak tidak paham dengan tempat itu. Sempat Issac bertanya-tanya ada yang salah dengan dunia ini. Di dalamnya, terdapat benteng kayu yang tersusun rapi. Tanah hitam berubah menjadi hijau. Walau demikian, itu hanyalah ilusi semata.

"Itukah istana? Kenapa terlihat kecil?" gumam Issac.

Semakin lama, jarak antara dirinya dengan tempat itu mulai menjauh. Issac mendorong kedua kakinya ke belakang. Pijakan pertama dia tempuh. Melesat cepat menuju sebuah istana tanpa ada yang berjaga. Sayangnya, dugaan Issac salah. Beberapa skeleton muncul mengangkat senjata. Dia mengeluarkan tongkatnya. Diayunkan tongkatnya, mengeluarkan pusaran angin yang besar. Menyapu bersih para skeleton. Sedangkan kedua kakinya didorong lebih keras. Seharusnya, Issac tidak perlu susah payah mencari rumput atau tiang penerangan sebagai penahan berat. Dia mengumpat dalam hati. Kedua kakinya dia berhasil pijak di tanah. Issac berada di sisi sebelah kiri dinding lapisan pertama. Baik belakang maupun depan terdapat bekas meriam dalam keadaan rusak. Roda, sumbu hingga tuasnya. Bahkan pelontar dari kayu dan tali mengalami patah dan putus. Issac berjalan ke arah kanan. Menuju sebuah kubah benteng. Tongkat Issac digenggamnya. Hujan deras membasahi pakaiannya. Langkah kakinya dan permukaan tanah becek, mengaburkan pandangan serta bau amis darah. Issac terdiam sejenak. Melihat sebuah kalung tergetelek di tanah. Ketika dibuka bagian luarnya, terdapat foto tanpa wajah. Tetapi satu hal yang pasti, tempat ini adalah gugurnya para prajurit menghadapi musuh yang tidak diketahuinya.

Issac menaruh kalungnya ke dalam saku. Berjalan cepat sembari melihat sekelilingnya. Derasnya hujan dan petir menggelegar silih berganti. Issac mengamati lapisan ketiga. Rupanya sebagian di antara dinding sudah hancur dan berlubang. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari dinding tersebut, gumam Issac dalam hati. Setelah itu, pemuda berambut perak menghampiri pintu kubah benteng tersebut. Hampir sama seperti pintu gerbang. Yang membedakan hanyalah ukuran kubah lebih kecil. Belum lagi, tulisan bahasa Epuni yang artinya 'Pergilah Kau Iblis'. Selain itu, tulisan itu dari darah yang sudah mongering. Issac sudah mengonfirmasikan permukaan dindingnya. Jemari-jemarinya dia remas dan saling bersentuhan.

Pemuda itu bergumam panjang. Mencari cara untuk bisa masuk ke dalam. Issac melirik sesuatu yang bisa dibuka pintunya. Tong barel berjumlah tiga buah. Berjejeran di sana tanpa ada sebuah tulisan apapun di dalamnya. Setahu Issac, selama berada di Desa Megona dirinya berjumpa dengan tong barel beserta tulisan semacam 'bahaya! Jangan disentuh!' atau 'minuman ini penuh alkohol'. Mengingatnya saja membuat Issac berpikir dua kali untuk mendekatinya. Telapak tangan kiri mengangkat tiap barel yang berjejeran. Tetapi, hasilnya nihil. Barel kedua pun bernasib sama dengan pertama. Issac memutuskan untuk mengintip barel ketiga. Ada sebuah penutup dari karet. Issac menariknya, menadahkan bola mata kanan ke dalam. Tidak ada apapun di dalam sana. Ekspresinya kecewa. Hingga dia mengintip barel ketiga. Kedua tangannya memutar bagian atas barel. Suara decitan kayu antara tutup dan isinya terdengar nyelekit. Kedua tangannya mendapati cairan berlendir warna biru muda. Tangan kanan diangkat ke atas. Mencoba melepaskan diri dari cairan menjijikkan itu. Secara tidak sengaja, ada sebuah batu tidak dalam kondisi rapat. Issac menaruh curiga. Tangan kirinya yang berlumuran lender memindahkan batu-batuan ke lantai permukaan batu. Melihat sebuah kunci berwarna emas. Tepat di antara tembok tebal.

Issac mengambil kuncinya, membuka pintu di depan. Suara decitan mulai terdengar lagi. Pemuda berambut perak berjalan cepat menuju siluet hitam dan putih. Mendapati ada dua buah anak tangga. Sebuah pintu berwarna coklat menuju sisi benteng, atau turun anak tangga supaya bisa masuk ke dalam istana.

"Kuharap ini sepadan dengan apa yang aku dapat," gumam Issac.

Pemuda berambut perak penasaran dengan isi dungeon itu. Memutuskan untuk tidak akan kembali sebelum mendapatkan apa yang diinginkan. Kepalan tangan kanan menggenggam erat tongkat miliknya.

~o0o~

Ketika masuk ke dalam kubah benteng, tidak ada apapun kecuali dinding tebal. Bayangan yang disebabkan oleh obor penerangan memunculkan sebuah ketakutan tersendiri dalam diri Issac. Jantungnya berdegup kencang. Pernapasan semakin tidak beraturan. Merasakan untuk ke sekian kali bahwa dirinya mengalami kecemasan luar biasa. Keringat bercucuran di wajahnya. Pemuda berambut perak menyeka keringat yang hendak membasahi pipinya. Sorotan kedua bola matanya melirik sekitar.

Issac menemukan anak tangga yang tersembunyi. Meyakini menuju lantai paling bawah. Tangan kiri ditodongkan ke arah anak tangga. Ada bekas kayu hasil pembakaran di ujung. Issac menoleh sekitarnya. Tidak ada jendela maupun apapun yang ada kecuali satu jalan. Pemuda berambut perak menaruh obornya sejenak. Membuka pakaian seragamnya. Takut masuk angin. Tidak ketinggalan, dia menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan perjalanan. Tongkatnya disarungkan ke dalam saku celana. Menengok setiap sudut yang ada di dalam kubah.

Obornya masih menyala, memperlihatkan bekas luka di sekujur tubuh Issac. Bekas cambukan di punggungnya terasa perih dan sakit. Rahang giginya bergetar cepat. Kedua lengan saling menggosok satu sama lain. Rambutnya didekatkan dengan obor. Beruntung ada penyangga dekat tangga. Keputusan teraneh yang diambil Issac. Setidaknya, daripada jauh-jauh mendingan mendekat lebih baik.

Selama beristirahat sebentar, Issac berharap tidak terjadi apapun di dalam kubah benteng. Walau demikian, itu hanyalah harapan palsu semata. Dari lantai bawah, keluar dari pintu gerbang. Sebuah istana berukuran kecil terdapat celah pintu dalam keadaan terbuka. Suara menguak dari dalam. Menjilat setiap dinding yang makhluk itu rasakan. Tentu saja Issac belum mengetahuinya.

Sepuluh menit berselang, Issac melanjutkan perjalanan. Satu persatu kancing sudah terpasang. Menunggu momen yang tepat untuk turun dari kubah benteng. Badan diputar ke belakang. Menuruni anak tangga dengan kedua kaki serta tangan digerakkan mundur secara teratur dan berirama. Dia turun dengan hati-hati. Sedangkan tangan kirinya memegang obor. Meski sendirian, entah kenapa Issac merasa ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Kepalanya merunduk ke permukaan lantai. Menodongkan tangannya ke sisi berlawanan. Jantungnya semakin berdegup kencang. Kulitnya dipenuhi air keringat. Napasnya semakin teratur. Sadar bahwa percuma saja Issac cemas. Di tengah-tengah anak tangga, pemuda berambut perak menarik napas dalam-dalam. Menghirup udara dari diafragma hingga keluar ke rongga hidungnya. Kedua matanya berkedip sejumlah dua kali. Memastikan indera penglihatan tidak mengabur karena berbagai hal. Anak tangganya dicengkram erat. Bergegas untuk turun sembari melirik sekitarnya.

Sesampainya di lantai paling bawah, ruangan itu penuh bau kotoran hewan dan mayat yang membusuk. Kibasan telapak tangan mencegah masuknya bau menyengat. Obor diputar ke kiri dan ke kanan. Tidak ada hal yang menarik di sekitar kecuali roda penarik tuas untuk pintu gerbang. Issac menghampiri benda itu. Tongkat yang disarungkan, dikeluarkan kembali. Mengacungkan setiap permukaan besi yang ada. Kondisinya sudah berkarat. Bibir Issac mancung ke depan. Derapan langkah kaki terdengar menggema. Suara mencicit dari tikus, bertengger di selokan paling atas. Tidak paham arah pembuangannya.

Dia berjalan menuju pintu keluar kubah. Sambil mengacungkan tongkat ke samping kanan. Berusaha tenang sambil mencari cara untuk menemukan petunjuk keluar dari sini.

"Tidak ada siapa-siapa di sana," komentar Issac.

Walau demikian, pemuda berambut perak tidak ingin meninggalkan momentum yang didapat. Percuma jika dia balik dari sebuah portal dungeon ke sekolah akademi Daponia. Hasilnya, mereka tidak akan mempercayainya apapun yang dikatakan Issac. Percuma saja aku berprasangka buruk atau sekedar berbincang tentang orang lain, gumam Issac dalam hati. Mereka itu segerombolan orang-orang kaya yang mementingkan harta, status dan wanita yang dimilikinya. Seperti itulah para bangsawan, tambah dari pemuda berambut perak.

Issac mendorong pintu dari dalam. Berjalan penuh hati-hati. Derapan langkah kaki terdengar. Hingga suara air mengalir dari dalam kubah benteng. Tarikan napas memanjang dari paru-paru Issac. Pemuda berambut perak menarik tuasnya. Saat di sana, kondisinya masih hujan deras. Sempat berpikir menggunakan tongkat sebagai pelindung diri dari tiupan angin dan hujan membasahi pakaiannya. Akan tetapi, Issac tidak berkeinginan untuk melakukannya. Sebaliknya, pemuda itu memilih mengambil langkah maju. Berjalan cepat sambil merasakan derasnya hujan lagi. Menikmati setiap pori-pori kulitnya basah. Entah bagaimana, Issac menikmatinya. Senyuman miring dari bibir pemuda berambut perak. Dalam lubuk hatinya, dia berkeinginan untuk melepaskan penderitaan selama 16 tahun. Tanpa mempedulikan orang-orang sekelilingnya.

"Semua guru harus kau pahami betul karakternya seperti apa. Jangan sampai melewatkan sebuah ilmu tanpa melakukan proses percobaan. Carilah sesuatu yang mungkin berguna dalam kehidupanmu. Tidak harus menjadi seorang ilmuwan, ksatria, penyihir atau lainnya. Selama punya mimpi, kejar dan raih itu sampai ujung langit."

Sebuah mimpi kah? Gumam Issac dalam hati. Aku akan mempertimbangkannya. Dia terus berlari cepat. Menutupi kepalanya. Akhirnya, pemuda berambut perak telah sampai di depan pintu. Sebuah gapura dalam tulisan bahasa Epuni yang artinya 'keluar'. Dia merasa belum puas menjelajah tempat itu. Akan tetapi, Issac memilih berkunjung kemari. Mengutarakan rasa penasaran dan pelampiasan stres yang selama ini dipendamnya.

Tiba-tiba, Issac mendengar suara burung gagak bergaok. Segerombolan burung gagak bertengger di atap benteng. Issac merasakan respon yang tidak biasa. Firasat buruk menghampirinya. Ketika Issac membuka pintunya, lidah memanjang menyerang pemuda berambut perak. Dia merunduk dengan cepat. Tongkat sihir miliknya diaktifkan secara cepat.

Seekor katak belentung berukuran besar. Memakan mayat-mayat yang ada di dalam area. Berkulit coklat dengan mata hitam kecoklat-coklatan. Berkepala melebar, dengan hidung moncong yang pendek. Ditambah lidahnya memiliki panjang sekitar 75 meter. Jari tangan panjang dan memipih datar di bagian muka. Memiliki kaki yang pendek dan dapat menyerang kapan saja. Saat kata bersuara menguak, kulitnya ditumbuhi duri-duri yang tajam seperti seekor landak. Beberapa detik berselang, duri itu langsung menyusut. Selain itu, jika suasananya sedang memburuk, katak itu akan melompat dan menerjang siapapun yang menyerangnya. Termasuk Issac sekali pun. Ekspresinya berupa mulut dia ternganga. Tongkatnya dicengkram kuat meski gemetaran.

"Sialan! Bulprogi!"

~o0o~

Issac membenci seekor katak seperti Bulprogi. Katak itu melompat ke arahnya. Pemuda berambut perak menghindar. Dia berlari memutar-mutar. Mencari senjata untuk bisa dilawan. Issac memutar badannya, mengacungkan tongkat pada Bulprogi. Akan tetapi, serangan sihir itu tidak bekerja. Serangan elemen angin tidak membuat Bulprogi itu menyerah. Sebaliknya, katak Belentung itu semakin marah. Telapak kakinya ditepuk keras. Menguak nyaring hingga mengganggu indera pendengaran Issac. Berdecak kesal lantaran tongkatnya tidak berhasil membunuhnya. Dia melihat mayat para ksatria tertancap di lantai. Issac melihatnya sebagai peluang emas. Pemuda berambut perak berlari kencang. Bulprogi menjulurkan lidah ke arah Issac. Dia merunduk sembari merangkak dalam posisi tidur. Tatapan tajam pada sebuah pisau. Pemuda berambut perak berhasil mendapatkan sebuah pedang ketimbang pisau.

Pedang itu ditempa sangat rapi dan sempurna. Sayangnya, ujung pedang tersebut tidaklah lancip karena dalam keadaan patah separuh. Gagangnya sendiri polos tanpa ada simbol atau apapun itu. Genggaman tangan Issac terasa berat.

Bulprogi menghampiri Issac melalui lompat. Dan pemuda berambut perak berhasil berlari kencang. Nyaris terkena tindihan Bulprogi. Di sisi lain, pemuda itu berandai obornya dibawa kemari. Tetapi dia juga mempertimbangkan cuaca hujan saat itu. Issac mencoba melawan dalam keadaan hujan deras. Meski beresiko, setidaknya dia ingin melawan Bulprogi dalam keadaan lapangan terbuka.

Issac menyarungkan pedangnya. Mendobrak pintu yang ada di depannya. Bulprogi menjulurkan lidah pada Issac. Tetapi, serangan yang dilontarkan meleset semua. Selain itu, tongkat yang dicengkram tangan kanannya diayunkan ke Bulprogi. Sihir berelemen angin menyebar berwujud bulan sabit. Tetapi, katak belentung menggembungkan pipinya. Muncullah duri-duri dalam kulitnya. Issac berdecak kesal. Sorotan kedua bola matanya melirik sekitar dia. Pemuda berambut perak dikeluarkan. Langsung berlari cepat sambil menghindari lidah yang memanjang. Issac berbelok kiri ketika lidah itu menyerang dari kanan. Sebaliknya langkah kaki dan belokan sudah terbaca dengan baik. Bulprogi melompat setinggi-tingginya. Menempel di atap benteng. Tatapan tajam dari Bulprogi. Menusuk pedang patah pada katak. Sayangnya, kulitnya mengeras. Dan duri-duri siap untuk dijatuhkan. Issac pun mundur. Menggeram karena tidak mampu mendekatinya. Pemuda berambut perak menggigit bibirnya.

"Aku tidak bisa mendekatinya!" keluh Issac.

Namun, pemuda berambut perak tidak bisa membaca pergerakannya. Hingga dia melihat Bulprogi hendak melakukan sesuatu. Kedua kaki Issac melemparkan pedang patah. Menganggap yang didapat itu tidak berguna. Saat hendak dilempar, wajah katak Belentung itu marah. Makhluk itu turun dari merayap. Menerjang Issac sekuat tenaga. Issac pun berputar badan. Berlari sekencang-kencang menuju kubah benteng. Dia pun menutup pintunya. Mencari suatu benda untuk ditahan. Issac melirik sebongkah kayu, didorongnya sampai rapat. Lirikan kedua bola mata dan wajah mencari sesuatu. Suara keras dari pintu luar. Memukulnya sekeras-kerasnya. Issac selalu berpikir bahwa seekor serigala raksasa yang melakukannya. Tetapi, katak pun juga sama walau mengandalkan lidahnya untuk memukul Issac.

Saat dirinya terpojok, ada sebuah tarikan gravitasi yang Issac rasakan. Kedua bola mata dan alisnya terangkat. Menoleh ke belakang. Dia teringat saat dirinya melayang di udara. Langkah mundur perlahan-lahan. Menyoroti kedua matanya menatap Bulprogi merayap ke dinding benteng. Kepalanya berputar sambil menerjang Issac. Pemuda berambut perak mundur sambil berharap menyentuh sebuah anak tangga. Matanya tidak lepas dari atap langit. Tetapi, Issac tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera pemuda berambut perak menaiki anak tangga dengan cepat. Dia terus memanjat tanpa henti. Sesampainya di lantai atas, dia merasakan energi sihir gravitasi di sekitarnya. Semakin lama, semakin mendekat dan membesar. Issac berlari sembari sebuah ledakan dari luar dinding. Kepalanya merunduk disertai memegang tongkat pada telapak tangan kanan. Suara pecahan kaca berjatuhan. Menjadi kepingan-kepingan kecil. Saat itulah, mata Bulprogi melotot tajam pada Issac. Pemuda berambut perak tersentak kaget, nyaris mengalami sesak napas. Kedua kakinya bergerak mundur. Tongkat sihirnya diayunkan ke arah Bulprogi. Mengalihkan perhatiannya berupa pecahan dinding pada katak itu. Serangan itu tidak berhasil. Malahan, Bulprogi semakin marah. Kedua bola matanya melotot tajam dan berubah berwarna merah.

Tangan kiri Issac diangkat dan tangan kanan memegang tongkatnya. Memutar lengan kanannya hingga terbentuk sebuah lingkaran. Pusaran angin berputar sangat kencang. Mengakibatkan berubah arah menuju ke Bulprogi. Kedua lengannya mulai melemas. Tekanan angin yang begitu membesar. Otot-ototnya menegang. Merasakan hujan semakin deras. Ditambah tiupan angin menjadi satu. Membuat Issac tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Kedua lengannya mulai kram. Erangan dari bibir Issac. Napas yang semakin tidak beraturan. Katak itu melompat serta menerjang pemuda berambut perak. Dia tidak tahu apakah makhluk itu berhasil mendapatkannya atau tidak.

Di saat pemuda berambut perak mundur beberapa langkah, tiba-tiba Issac tidak sengaja menyentuh sebuah tombak. Jemari-jemarinya merasakan tombak itu berwarna hitam pekat. Dilapisi logam emas dalam keadaan terukir. Entah bagaimana tombak itu bisa berada di belakangnya. Tetapi, Issac tidak memiliki sebuah pilihan.

Saat mencengkramnya, tombak itu berubah wujud. Memiliki empat sisi lekukan dengan ukiran bahasa Epuni. Sesungguhnya bukan ukiran yang patut dipertanyakan oleh Issac. Melainkan kekuatan yang dimiliki pada tombak itu. Kedua lengannya mencengkram tombaknya. Diangkat ke tubuh Bulprogi. Darah mulai muncrat di mana-mana. Merembes ke permukaan tanah hingga organ dalamnya ikut tumpah. Kedua bola mata Bulprogi terbelalak kaget. Belum puas sampai disitu, Issac melancarkan serangan akhir. Menusuk ke titik tubuhnya beserta tulang belulangnya. Termasuk bagian otak sekaligus. Tubuhnya langsung tersungkur ke tanah. Erangan napas tidak karuan. Mengalami efek yang tidak biasa. Pandangannya berkunang-kunang. Mendongak ke cakrawala yang tidak biasa dari kejauhan. Issac mencengkram keningnya. Mengerang kesakitan. Dia melihat sosok asing yang ada di belakang. Sedang menaruh kedua telapak tangan ke saku sembari tersenyum tipis.

"Sepertinya, kau perlu istirahat dulu kawan. Dan kau membutuhkannya sehabis melawan Bulprogi."

Ucapan yang dilontarkan pria itu benar. Kepalanya berayun-ayun tidak karuan. Kepala beserta tubuhnya ambruk begitu saja tanpa aba-aba. Indera penglihatan mulai mengabur, sampai kondisi gelap gulita beserta mendengkur pelan.