webnovel

TWIN’S PET

The Twins’ Pet (HIATUS) G: Fantasi Dark Romance. Dilarang mengcopy paste tulisan ini dalam bentuk apa pun!!! Tindakan plagiatan akan saya proses secara hukum. SINOPSIS: ========== Vol 1. Crescent Moon Perasaan yang dalam. Ikatan yang kuat. Cinta yang manis. Pengorbanan yang tulus. Membuat ketiganya bisa mengatasi tiap rintangan dalam kehidupan yang tidak masuk diakal ini. Saat gairah cinta yang menggebu melilit penuh harmoni bersamaan dengan nafsu yang membuncah. Kekuatan itu hadir, memenuhi jiwa, memenuhi tiap-tiap pembuluh darah dengan ledakkan adrenalin. “My soul will rise in your embrance,” ucap Sadewa saat memandang iris mata Liffi dengan penuh hasrat. “Sadewa,” lirih Liffi. “For I’m yours, and you’re mine!!” bisik Nakula penuh gairah, desah napas terasa hangat pada daun telinga Liffi. “Nakula,” desah Liffi. Black and White. Fresia and Hibicus Musk and Vanilla Fresh and Sweet “Mana yang kau pilih, Liffi?” Ikatan cinta yang kuat membuat Liffi enggan untuk memilih salah satu di antara keduanya. Lantas siapakah yang Liffi pilih? Nakula yang garang, liar, dan penuh kekuatan? Atau ... Sadewa yang pintar, dingin, dan penuh wibawa? Hanya sebuah kisah cinta biasa, namun bisa membuatmu merasa luar biasa.—BELLEAME. This cover novel is not mine. If the artist want to remove it, please DM, I’ll remove it. Terima kasih. Selamat membaca, Belle Ame.

BELLEAME · Fantasia
Classificações insuficientes
389 Chs

CHOICE

Sadewa is calling...

Bagaimana ini? Sadewa menelefon Liffi saat ia tengah berduaan dengan Nakula. Mata bulat Liffi terlihat semakin bulat saat terbelalak kaget mengetahui bahwa Sadewa sedang menunggunya di seberang telfon.

Apa yang harus aku katakan? pikir Liffi galau. Ia tak ingin menyakiti ke duanya.

"Kau tak mengangkatnya?" Nakula bangkit, ia mendekati Liffi dan memeluk gadis itu dari belakang.

"Maaf, Naku. Aku harus pergi." Liffi melepaskan diri dari dekapan Nakula.

Liffi kembali memakai pakaiannya dan menyahut tasnya. Secepatnya Liffi mencoba keluar dari apartemen Nakula.

"Tunggu, Liffi!!" Nakula tak mau melepaskan gadisnya itu.

"Maafkan aku, Naku. Aku tidak bisa." Mata Liffi berkaca-kaca. Liffi tetap menghempaskan tangan Nakula. Ada rasa di dalam hatinya yang juga menginginkan kebersamaan bersama dengan Nakula, tapi hubungannya dengan Sadewa telah terikat. Dan Liffi tak ingin mengkhianatinya.

"Siapa yang menelefonmu? Pacaramu?" Nakula memandang tajam kedua bola mata Liffi, mencari jawaban atas penolakannya.

"Iya. Maaf, Naku. Beristirahatlah!" Liffi membuka pintu, namun tangan Nakula menahan tangan Liffi.

"Kenapa? Kau mate-ku?! Siapa laki-laki itu? Kenapa kau lebih memilihnya dibandingkan aku yang adalah mate-mu." Nakula tak habis pikir dengan penolakan yang dialaminya. Kata ayahnya, mate selalu saling terikat dan tertarik antar satu dengan lainnya.

"Aku manusia, Naku. Aku bukan mate-mu." Ada rasa sakit di hati Liffi saat mengatakan hal itu. Seperti halnya Sadewa, Nakulapun punya arti tersendiri di dalam hati Liffi.

"Aku akan menghajarnya, aku akan membunuhnya." Nakula mengatakan hal yang paling di takuti oleh Liffi. Liffi tak ingin kedua pria itu saling menyakiti karena dirinya.

"Tidak!! Kau tak boleh melakukannya. Aku akan berpisah darinya." Liffi menjanjikan hal yang tidak mungkin. Liffi terpaksa, amarah dan emosi Nakula harus mereda.

"Aku akan mencarinya! Katakan Liffi! Siapa dia? Dan di mana dia?" Nakula belum menyerah, ia sangat ingin menghajar pria itu.

"Nakula!!!" Liffi berteriak marah, kenapa Naku begitu keras kepala?!

"Liffi..."

"Aku benci padamu!!" Liffi menangis.

"Hei, hei, Girl, stt ... OK! OK! Sorry aku tak akan mencarinya." Nakula kelabakan, dia paling tidak bisa melihat wajah Liffi saat menangis.

"Benarkah? Kau berjanji?"

"Ck ... oke, aku berjanji," decak Nakula, ia terpaksa.

"Thanks, Naku. Aku harus pulang." Liffi membuka pintu apartemen Nakula dengan tergesa-gesa.

"Hei, Girl." Nakula menarik Liffi dan mencium bibirnya.

Rasa manis kembali terasa, vanila yang lembut. Nakula mencium Liffi begitu dalam sebelum Liffi pergi. Membuat Liffi semakin sulit untuk menentukan pilihannya.

ooooOoooo

Suara degupan jantung Liffi terdengar cepat dan tak beraturan. Liffi berlari menyelusuri trotoar dan jalanan sempit, jalan tikus yang biasa ia lalui memang terlihat gelap dan menakutkan di malam hari. Namun yang membuat jantung Liffi berdegup tak karuan bukan karena gelapnya jalan, bukan juga karena larutnya malam, ataupun pertarungan yang baru saja ia alami.

Yang membuat jantungnya berdegup kencang dan tak beraturan adalah karena ia baru saja hampir mengkhianati Sadewa. Dan Sadewa menelefonnya, bagaimana bisa timming-nya terjadi begitu tepat? Apakah Sadewa sedang berada di depan rumahnya saat ini? Yang jelas Liffi harus segera menata hatinya untuk kembali menelefon dan mencari alasan pada Sadewa.

Liffi membetulkan bajunya, menata lagi rambutnya yang kusut karena angin dingin. Dengan langkah cepat Liffi kembali ke jalanan besar menuju ke apartemennya.

"Liffi?!" panggilan Sadewa terdengar. Dugaan Liffi benar, Sadewa menunggunya di depan pintu gedung. Bersandar dengan cemas di samping mobil sportnya.

"Sadewa?! Kau kemari? Malam-malam?" Liffi syok, bukankah sore tadi Sadewa sudah menemuinya. Kenapa malam ini kembali datang?

"Harusnya aku yang bertanya, Liffi. Dari mana kau malam-malam begini? Kenapa kau tak menjawab panggilanku? Aku frustasi dan hampir gila menanti kabarmu." Sadewa memeluk Liffi.

"Maaf, aku membeli camilan dan kopi di minimarket. Ponselnya aku silent, jadi aku nggak mendengar ada panggilan masuk." Liffi memejamkan matanya, menyesal. Entah bagaimana kebohongan bisa terucap sedemikian masuk akal dari dalam mulutnya.

"Masuklah, Sadewa!" Liffi berjalan mendahului Sadewa.

Sadewa sedikit curiga dengan kelakuan Liffi yang tak seperti biasanya. Mini market hanya berjarak 50 meter, kenapa keringatnya begitu banyak? Dan napasnya tak berarturan? Seperti habis berlari dari tempat yang jauh. Apa lagi saat melihat baju Liffi yang kotor, dan noda darah dari lengan bajunya.

Apa yang kau sembunyikan dariku, Liffi? pikir Sadewa.

.

.

.

Liffi membuka pintu kamar apartemennya dan mempersilahkan Sadewa masuk. Tanpa meminta izin dari Sadewa, Liffi masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Keringatnya cukup banyak dan pasti darahnya dan Nakula membekas pada tubuhnya.

"Maaf, bisa kau tunggu aku, Dewa."

"Oke."

Liffi masih terus berpikir bagaimana caranya menjelaskan semua hal ini? Sadewa bukan anak kecil, bukan juga orang bodoh. Tentu dia sudah menyadari semua kebohongan Liffi dari awal.

Liffi benar-benar gundah. Andai saja Sadewa dan Nakula bukanlah saudara kembar. Andai saja ia bisa memilih. Liffi geram, Kenapa hatinya nggak mau menetapkan pilihan pada satu orang saja??

Kau pasti sudah gila, Liffi!!! Liffi mengumpati bayangan dirinya yang terpantul di atas permukaan cermin.

Tok tok tok!

"Kau baik-baik saja, Liffi?" Sadewa mengetuk pintu, membuat Liffi berjengit kaget karena lamunannya buyar.

"I'm OK. Aku akan segera keluar!" teriak Liffi.

Sadewa mengangguk mendengar jawaban dari dalam kamar mandi. Ia sudah melepaskan kaosnya dan merebahkan diri di atas ranjang Liffi. Sadewa memandang langit-langit kamar apartemen Liffi. Sungguh dia merasa ruangan ini terlalu sempit dan kasur ini terlalu kecil.

"Sadewa? Kenapa kau membuka bajumu?" Liffi kaget melihat Sadewa sudah bertelanjang dada saat ia keluar dari kamar mandi.

"Aku akan menginap di sini." Senyum Sadewa.

Liffi berjalan ke arah Sadewa ia sudah berganti dengan piyama tidur yang lebih nyaman. Lengan panjang piyama bisa menyembunyikan luka gores pada siku lengannya. Liffi duduk di pinggiran kasur, tersenyum manis di samping Sadewa.

"Kau marah padaku?" Liffi merebahkan kepalanya pada dada telanjang Sadewa.

"Walaupun aku marah padamu, aku punya sejuta alasan untuk bisa memaafkanmu." Sadewa memeluk Liffi, membuatnya ikut rebah dan tidur di sampingnya.

"Sadewa ..." Wajah Liffi langsung menjadi sendu, ia merasa dirinya begitu hina. Mencintai dua pria secara bersamaan.

"Aku tahu kau berbohong padaku, Liffi."

"Maafkan aku, Sadewa." Liffi memepererat pelukkannya. Liffi ingin menangis, tapi ia menahannya.

"Aku akan menunggumu mengatakannya dengan jujur." Sadewa mengelus rambut hitam Liffi. Menikmati aroma bunga hibicus yang semakin membiusnya.

"Terima kasih." Liffi mengangkat tubuhnya dan mencium bibir Sadewa.

Sadewa membalasnya dengan kecupan ringan dan berubah menjadi lumatan mesra. Sadewa menyesap leher Liffi perlahan dan dalam. Napasnya yang teratur membuat leher Liffi terasa begitu panas. Jari jemari Sadewa mulai masuk ke dalam sela-sela kancing piyama Liffi. Mengelus hangat perut langsingnya.

"Jangan, Sadewa!!" Liffi mencengkram dan menghentikan permainan tangan Sadewa.

Sadewa menaikkan alisnya meminta alasan pada Liffi.

"Aku ada kuliah pagi besok." Jelas Liffi, padahal ia hanya tak ingin Sadewa melihat luka gores pada lengannya.

"Baiklah, ayo tidur." Sadewa mengecup kening Liffi. Menyimpan kembali hasratnya untuk bercinta.

"Ayo." Liffi mematikan lampu utama, menggantinya dengan lampu tidur.

"Belilah ranjang yang lebih besar, Liffi." Sadewa memeluk Liffi dari belakang.

"Mau di taruh mana?" Liffi terkikih, apartemennyakan sempit.

"Harusnya kau pindah saja." Sadewa mendengus sebal, gadis ini terlihat tak menyukai kemewahan yang bisa ia tawarkan.

"Sudah, ayo tidur!" Liffi tak memberikan jawaban. Ia memilih menikmati dekapan hangat dari Sadewa.

Sadewa hanya menghela nafasnya panjang dan mengecup punggung Liffi sebelum ia mencoba untuk tidur.

ooooOoooo

Hallo, Bellecious

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana