Waktu berselang dalam perjalanan, berdasarkan petunjuk yang diberikan tabib itu padaku. Semakin jauh, semakin jauh, dan semakin jauh. Aku merasa seperti tidak mengenal lagi sang tabib, tapi anehnya, aku merasa dia berada dekat disampingku. Aku merasa bahagia,entah karena apa, hingga aku lupa akan dia.
"Oh, inikah tempat itu? Inikah tandanya?" tanyaku pada diri-sendiri ketika aku tiba di sebuah dataran tinggi.
Banyak pepohonan rindang kutemui, lalu ada sebuah tempat terbuka berisi kolam dan taman-taman bunga beraneka warna dan jenis. Aromanya begitu harum memenuhi rongga dada.
"Sedang apa, Puteri?"
Satu suara mengejutkanku, dan aku berbalik seketika.
Seorang lelaki tampan sedang berdiri dihadapanku, wajahnya putih bersih dan dari tubuhnya tercium aroma wangi.
"Saya tersesat," jawabku.
Lalu kulihat dia tersenyum dengan ramahnya.
"Barangkali bisa saya bantu?"
Aku tak langsung menjawab, aku berfikir, apa yang harus kukatakan padanya, bantuan apa yang perlu kuminta padanya.
Tiba-tiba dia memberikan isyarat agar mengikutinya. Lalu aku dibawa ke sebuah gazebo yang berada di tengah taman bunga, dan mempersilahkanku duduk di kursi yang berada didalamnya.
Aku menghela nafas panjang.
"Tuan, aku ingin bercerita terlebih dahulu…." Kataku, lalu kuceritakanlah semua yang terjadi selama perjalananku. Semuanya, tentang sakitku, tentang pangeranku, sampai pertemuanku dengan seorang tabib dan petunjuk yang diberikannya padaku.
Kulihat lelaki itu tersenyum setelah mendengarkan cerita tentang perjalananku. Perlahan dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik sakunya.
"Barangkali, inilah obat yang dimaksud oleh tabib itu…." Katanya sambil membuka kotak kecil yang diperlihatkannya padaku.
Aku nyaris terlonjak.. Betapa tidak, aku melihat sebuah petunjuk, sebuah cincin emas dengan tulisan terukir padanya.
"Oh, apakah Tuan ini seorang Pangeran?" tanyaku kemudian.
Dia mengangguk dengan senyum yang ramah.
"Tahukah Puteri, saya pun sedang sakit. Dan menurut petunjuk dari tabib yang merawat saya, saya akan sembuh bila bertemu sebuah mutiara yang indah namun retak. Dan keretakannya akan hilang jika saya membacakannya sebuah mantera…"
Tiba-tiba, tubuhku bergetar hebat, kurasakan sesuatu yang aneh mengalir keluar dari raga ini. Aku seperti mimpi. Aku bertemu dengan obatku!!! Aku sembuh!!! Nyaris aku teriak, aku sembuh!!!
"Tuan, tolong ucapkan mantera itu, sebab saya masih ragu," pintaku padanya.
Sejenak lelaki itu tertegun, lalu sebelum berkata-kata, ia menarik nafas.
"Hai mutiara yang retak, kulekatkan dengan sumpahku, agar Kau menjadi Indah, dan akan kuletakkan dalam hati sebagai penutup lukaku, berselimut dalam aliran darahku, yang keindahannya akan menggulung meliputi jiwa ragaku. Akan kujaga seumur hidup dan tak akan pernah aku keluarkan dan campakkan"
Sekali lagi, tubuhku terasa ringan, bahkan teramat ringan begitu mendengar mantera yang diucapkan oleh sang pangeran.
Lalu kuhadapkan wajahku ke langit.
"Tuhan, tolong sampaikan pada Ayah, bahwa aku telah sembuh…."