webnovel

Bab 15-Pertempuran & Kecemburuan

Bertempur hingga titik darah

tumpah dan membelasah

di sela aroma dendam

dan serasah dedaunan

membuat hari-hari menjadi basah

oleh gelegak amarah

Pemuda anak angkat Arawinda ini tidak mau mengelak. Dia ingin mencoba sehebat apa nenek yang punya julukan mengerikan itu. Tangannya terulur ke depan. Menyambut pukulan dahsyat Angin Darah yang dilepaskan Malaikat Darah.

Bresssssss!!

Kedua orang yang beradu pukulan itu sama-sama terpental ke belakang. Ario Langit terjajar mundur hingga 3 langkah, sedangkan Malaikat Darah 2 langkah. Hawa sakti yang berimbang meski Ario Langit masih kalah sedikit.

Nenek tua yang pemarah itu menjerit nyaring dan menerjang ke depan sambil melepaskan pukulan Angin Darah bertubi-tubi ke arah Ario Langit. Disambut dengan gerakan luar biasa cepat pemuda itu mengelak dan balas menyerang dengan jurus-jurus pukulan Aguru Bayanaka. Pertarungan seru tersaji. Jalanan tertutup oleh debu dan daun-daun yang beterbangan terkena imbas angin pukulan dahsyat kedua orang lihai itu.

Terdengar jeritan nyaring ketika Bidadari Darah ikut terjun dalam pertempuran membantu gurunya. Ayu Kinasih yang hendak bergerak membantu Ario Langit terpaksa membatalkan niatnya karena dua orang Panglima Malaikat Darah menghadang dan menyerangnya.

Dua gelanggang pertempuran memenuhi jalanan utama menuju Pajang. Orang-orang yang hendak lewat dari dua arah terpaksa menyingkir jauh-jauh. Termasuk para pedagang yang memundurkan kereta kudanya. Terlalu berbahaya berada dekat arena pertempuran karena bisa saja mereka terluka terkena angin pukulan nyasar.

Ario Langit dan Ayu Kinasih sama-sama terdesak. Jika satu lawan satu mereka masih bisa mengimbangi. Kepandaian masing-masing Panglima Malaikat Darah hanya berselisih sedikit dengan Malaikat Darah sendiri. Karena itu Ayu Kinasih mulai terdesak hebat. Orang-orang nomor dua di Perkumpulan Malaikat Darah itu terus melancarkan serangan bertubi-tubi. Tak lama lagi putri dari Bimala Calya dan Ardi Brata itu bisa saja tewas atau terluka.

Melihat keadaan Ayu Kinasih, Sekar Wangi cepat mengambil keputusan untuk membantu. Tubuhnya bergerak maju menyerang satu Panglima Malaikat Darah setelah membaringkan baik-baik Jaka Umbara.

Ayu Kinasih sedikit bernafas lega. Kini karena satu lawan satu dia bisa mengimbangi lawan dengan baik. Tidak sanggup mendesak tapi juga tidak terdesak. Sementara Sekar Wangi masih sedikit kalah tingkat sehingga perlahan mulai terdesak. Gadis ini mempunyai kemampuan hebat dalam hal sihir. Untuk olah kanuragan, ilmu yang dimilikinya belum terlalu tinggi meski diajari oleh ayahnya yang punya ilmu-ilmu pukulan aliran hitam yang berbahaya.

Ario Langit mengeluh pelan saat tubuhnya terpental bergulingan terkena hantaman pukulan Bidadari Darah. Pemuda ini bangkit lagi dengan cepat meski sedikit terhuyung-huyung. Dari sudut mulutnya mengalir darah segar. Ario Langit terluka dalam.

Melihat pemuda ini masih dalam keadaan limbung, Malaikat Darah menyusulkan sebuah pukulan Angin Darah yang mematikan mengarah kepala Ario Langit. Jaka Umbara yang bisa melihat dengan jelas semua jalannya pertempuran menahan nafas. Pemuda perkasa itu bisa tewas seketika apabila terkena pukulan sedahsyat itu di kepalanya. Jaka Umbara menyesali keadaannya yang lumpuh sehingga tidak bisa membantu pendekar itu.

Dessss! Brukkkk!

Pukulan Angin Darah bertemu dengan lengan halus Ratri Geni yang tiba tepat waktu. Malaikat Darah terjungkal ke belakang. Tokoh aliran hitam yang sakti itu kalah tenaga dari Ratri Geni yang telah dimatangkan hawa saktinya berkat petunjuk Ki Ageng Waskita.

Gadis ini memang diminta turun gunung untuk menunaikan tugas yang diberikan gurunya. Pergi ke Gunung Ciremai untuk ikut menjaga Kitab Pusaka Langit Bumi agar tidak terjatuh ke tangan orang-orang jahat. Beredar isu yang sangat kencang mengenai keberadaan kitab pusaka itu di Puncak Ciremai sehingga berduyun-duyun orang pergi ke sana untuk memperebutkannya.

Malaikat Darah menyumpah-nyumpah. Dadanya terasa sesak setelah beradu pukulan dengan gadis muda yang entah darimana tiba-tiba muncul. Nenek itu baru sadar setelah anak buahnya yang bernama Walung Wesi berteriak gentar.

"Bidadari Bumi!"

Malaikat Darah memperhatikan. Jadi yang disebut Bidadari Bumi adalah gadis muda yang masih bau kencur ini? Keparat! Nenek itu menerjang maju dibantu Bidadari Darah menyerang Ratri Geni yang tidak mau hanya menghindar tapi balas menyerang dengan tak kalah hebat.

Pertempuran babak selanjutnya terjadi. Posisi Ario Langit yang terluka dan sekarang duduk bersila di samping Jaka Umbara, digantikan oleh Ratri Geni. Jaka Umbara terbelalak matanya melihat kehebatan gadis yang baru datang itu. Gadis yang diketahuinya mempermainkan dan menghajar Walung Wesi di warung makan belum terlalu lama tadi. Ilmunya bahkan lebih tinggi daripada Ario Langit yang lihai. Gadis itu bisa mengimbangi bahkan mendesak keroyokan guru murid yang bengis dari Perkumpulan Malaikat Darah.

Tak perlu waktu lama bagi Ratri Geni untuk menyarangkan sebuah pukulan dari jurus Bayangan Matahari yang mengenai paha Bidadari Darah. Wanita muda murid kesayangan Malaikat Darah itu terjatuh dalam keadaan terluka. Bukan luka dalam yang hebat, tapi kakinya tidak sanggup lagi digerakkan. Beberapa anggota Perkumpulan Malaikat Darah langsung menggotong tubuh Bidadari Darah yang meringis kesakitan. Kakinya serasa dipanggang api dahsyat. Panas membakar.

Malaikat Darah yang melihat muridnya tak mampu lagi melanjutkan pertempuran, bukannya berhenti tapi malah menambah serangannya terhadap Ratri Geni. Gadis itu tersenyum dengan mulut mengejek melayani setiap gempuran Malaikat Darah.

Gadis ini punya ciri khas senyuman mengejek apabila sedang menghadapi tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan sikap memandang rendah, namun Ratri Geni mengikuti petuah ayahnya yang mengatakan tunjukkan sikap yang sama sekali tidak takut dan tersenyumlah seolah sedang mengejek sehingga lawan semakin terbakar kemarahannya dan itu akan membuatnya lengah.

Nenek tua yang sakti itupun terbakar amarahnya hingga ke ubun-ubun. Gadis muda ini seperti memandang rendah kepadanya. Karena itu pukulan Angin Darah tingkat tertinggi dikeluarkan dengan tenaga sekuatnya. Bau anyir yang memusingkan kepala merebak di sekitar gelanggang pertempuran. Membuat orang-orang yang berada di tempat jauh namun searah dengan angin menutupi hidung dan mulut karena bau anyir itu luar biasa menyengat dan membuat mual serta pusing.

Tapi Malaikat Darah berhadapan dengan gadis yang ditempa oleh Arya Dahana dengan berbagai macam ilmu pukulan sakti. Salah satunya yang bisa memunahkan ilmu sihir dan hawa beracun adalah pukulan Geni Sewindu. Ilmu aneh yang sebetulnya dari segi kekuatan masih kalah dahsyat dengan Bayangan Matahari maupun Busur Bintang, namun memiliki kelebihan menawarkan segala jenis pukulan beracun sekaligus menolak sihir.

Begitu membaui hawa anyir dari pukulan Malaikat Darah, Ratri Geni langsung saja mengeluarkan pukulan Geni Sewindu. Belum sesempurna ayahnya yang memiliki kekuatan dari Mustika Naga Api dan Naga Air, tapi sudah mencapai tingkatan tertinggi berkat latihan tambahan yang diajarkan oleh Ki Ageng Waskita.

Angin pukulan Geni Sewindu menderu-deru mengeluarkan hawa panas yang mengusir bau anyir seketika. Ratri Geni semakin mendesak hebat Malaikat Darah. Nenek tua yang pemarah itu hanya bisa mundur-mundur dan berlompatan kesana kemari menghindari pukulan Geni Sewindu yang terus dimainkan oleh Ratri Geni.

Pada satu kesempatan, nenek tua itu tidak sanggup lagi menghindar. Mau tidak mau beradu pukulan langsung. Angin Darah bertemu dengan Geni Sewindu dalam sebuah ledakan dahsyat yang melemparkan tubuh Malaikat Darah ke belakang dalam kondisi terluka. Ratri Geni sendiri bergoyang-goyang tubuhnya akibat benturan itu.

Barulah Malaikat Darah sadar bahwa dia tidak bisa menandingi Bidadari Bumi. Sambil melompat pergi, dilambaikannya tangan kepada semua anak buahnya agar pergi dari tempat itu. Termasuk kedua Panglima Malaikat Darah yang masih bertarung melawan Ayu Kinasih dan Sekar Wangi, akhirnya juga bergegas melarikan diri.

Pandangan mata Ratri Geni bertemu dengan mata Ario Langit yang mencoba tersenyum kepadanya, dan juga berbenturan dengan tatapan kagum Jaka Umbara yang masih dalam posisi setengah terbaring. Ratri Geni melengos. Menghindar dari tatapan kedua pemuda itu. Gadis itu membalikkan tubuh ke Ayu Kinasih dan Sekar Wangi yang berdiri bersisian. Ratri Geni yang hendak mengucapkan sesuatu kepada Sekar Wangi membatalkan kata-katanya karena dilihatnya mata gadis itu berkilat aneh. Begitu pula Ayu Kinasih yang menatap tajam ke arahnya seolah hendak menelan dirinya bulat-bulat. Eh! Ada apa ini?

-*****