webnovel

8

Pada sebuah nama, aku ... jatuh cinta padamu.

--

Anggi membenamkam wajahnya pada kedua lipatan tangannya yang bertumpu di atas meja. Kebisingan kelas pada jam istirahat tidak mengusik ketenangan cewek itu. Mata Anggi sungguh tidak bisa diajak kompromi, dia mengantuk berat.

Semalaman suntuk Anggi menonton drama Korea secara maraton. Lingkaran hitam menandakan perjuangan Anggi melawan kantuk demi menatap laptop yang menampilkan wajah oppa tampan.

"Nggi, lima menit lagi masuk. Temani gue ke toilet dong, kebelet nih," ujar Nurul dengan mulut penuh roti isi kelapa yang ia dapat dari hasil rampasan.

"Mager gue. Sendiri ajalah," suara Anggi tertahan antara meja dan kepalanya.

"Temani gue," Nurul memelas.

"Gue dapat apa?"

"Absen lo gue amankan sama ibu Rossa. Lo bisa tidur di UKS," Nurul dapat membaca akal bulus Anggi. Temannya yang satu itu tidak akan mau melakukan sesuatu tanpa imbalan. Dasar teman laknat.

"Deal!" Anggi berseru girang. Secepat cahaya ia bangun dan berdiri dari duduknya. Lihat, bahkan langkah cewek itu sudah mencapai pintu kelas.

"Dasar," Nurul mengumpat melihat tingkah Anggi.

Selepas dari toilet Anggi langsung bergegas menuju UKS tanpa ditemani Nurul. Membayangkan ranjang empuk di UKS membuat rasa kantuk Anggi semakin dalam. Dia sungguh tak sabar merebahkan diri lalu tidur dengan damai.

Anggi membuka pelan pintu UKS yang tertutup. Ia memeriksa suasana di dalam. Biasanya jam istirahat kedua seperti sekarang petugas UKS sudah tidak lagi berjaga.

Mata Anggi menyipit mendapati seorang cowok yang tidur di kursi petugas UKS. Cowok berseragam SMA itu tidur dengan kepala terpedam di antara kedua tangannya yang bertumpu pada meja. Anggi tidak dapat melihat wajah cowok itu, namun postur tubuhnya tak asing bagi Anggi.

Decitan pelan terdengar saat Anggi menutup pintu UKS. Ia mendekat pelan.

"Ternyata bukan cuma gue yang mau bolos," ujar Anggi pelan sambil berjongkok di dekat meja, ia berniat mencari tau siapa yang berani membolos selain dirinya.

Anggi terpaku ketika cowok itu melakukan pergerakan. Wajah yang semula terbenam, kini menghadap sempurna ke arah Anggi.

"Arya," cicit Anggi pelan.

"Euuugh," Arya membuang napas dalam tidurnya.

"Kenapa gue selalu kebagian adegan bareng Arya saat cowok ini lagi tidur?" tanya Anggi pada dirinya sendiri.

Mata Anggi menelusuri wajah tampan Arya. Ia tersenyum kecil melihat wajah Arya yang polos, namun ada guratan kesedihan yang coba disimpan oleh wajah tampan itu.

Arya kembali melakukan pergerakan kecil sambil membuang napas kasar. Arya terlihat tak tenang dalam tidurnya. Butir-butir keringat kecil membanjiri jidat Arya, padahal siang ini cuaca tidak begitu panas.

"Arya," panggil Anggi pelan.

"Euugh," Arya kembali melenggu.

Ini cowok kenapa, sih? Lagi mimpi basah kali, ya? Batin Anggi.

"Mama ... euuggh a-apih," suara Arya tertahan, namun masih dapat Anggi dengar dengan jelas.

Mama? Nyokap Arya kah maksudnya?

Dan, api?

Anggi tersenyum miris, ia mengerti sekarang. Anggi bukan orang bodoh yang tidak mengerti maksud dua kata yang baru saja dikatakan Arya. Bukan, bukan mimpi basah yang menghampiri tidur Arya. Mungkin masa kelam 'itu' yang datang tanpa permisi menghampiri tidur cowok itu.

Kejadian saat Arya dan Arkan masih duduk di bangku kelas satu SD. Masa sedih yang merenggut senyum dua sepupu itu, merenggut kebahagiaan mereka, merenggut kebersamaan yang sebelumnya terjalin indah antara Arya dan Arkan. Semua seperti mimpi buruk bagi Arya dan Arkan.

Ada ruang tersendiri di hati Arya dan Arkan untuk menyimpan kenangan kelam itu. Anggi sendiri takut untuk memasuki ruang kelam yang tersimpan rapat di hati dua sepupu itu.

"Mama," lirih Arya. Air mata jatuh dan mengalir di pipi kirinya.

Tangan Anggi refleks terangkat. Ragu, namun pada akhirnya tangan Anggi berakhir di pipi Arya. Dengan ibu jarinya Anggi membersihkan air mata Arya. Anggi melakukannya dengan hati-hati dan penuh kelembutan.

Angin berhembus pelan. Menerbangkan beberapa helai rambut Anggi.

"Arya," Anggi memekik tertahan saat tangannya tiba-tiba diraih oleh Arya, cowok itu mengenggam tangannya erat.

Apa itu artinya Arya sudah bangun? Oh my!

"A-Arya, ini nggak seperti yang lo pikirkan," Anggi berusaha menjelaskan tindakannya.

Sial! Anggi merasa seperti kedapatan mencuri ciuman pertama Arya. Hei, tapi ini tidak seekstrim itu. Anggi hanya melakukan tindakan simpatik pada Arya dengan menghapus air mata cowok itu, ya walaupun secara diam-diam. Tapi ini tidak salah, kan? Iya, kan? Anggi benar, kan? Kan?

"Arya, gue ..." Anggi masih belum dapat merangkai kata yang pas. Tangannya berkeringat dan terasa dingin.

Arya tak mengeluarkan sepata-katapun. Mata cowok itu masih tertutup rapat. Ia bahkan tak bangun dari posisinya, Arya justru mengenggam tangan Anggi semakin erat dan menempelkannya pada pipinya.

"Arya, lepasin tangan gue! Gue akan pergi dari sini," ujar Anggi setenang mungkin.

"Jangan pergi," balas Arya dengan suara pelan.

"Hah?"

"Gue kesepian," lanjut Arya.

Apa telinga Anggi tidak salah dengar? Tolong bawa Anggi ke dokter THT sepulang sekolah nanti.

"Temani gue tidur."

"Apa?!" Anggi menjerit histeris.

Tanpa basa-basi dia langsung menarik tangannya dari genggaman Arya. Secara naluriah Anggi menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ini tindakan melindungi diri.

Gila nih cowok, omelnya dalam hati.

"Jangan setuh gue. Gue masih polos," Anggi mengeleng-geleng lebay.

Sambil berdisis Arya bangun dari posisi tidurnya. Mata Arya melirik sinis pada Anggi.

"Dasar perusak suasana," maki Arya. Ia mengumpat karena perkataanya disalah artikan oleh Anggi.

"Pikiran lo kotor. Bukan tidur yang ada di pikiran lo itu yang gue maksud," lanjut Arya.

"Jadi, maksud lo apa?" tanya Anggi polos.

"Gue cuma butuh teman. Lo cuma duduk manis di sini, terus gue tidur," jelas Arya dengan penuh penekanan.

Anggi cemberut dengan bibir dimonyong-monyongkan. "Makanya kalo ngomong yang jelas dong."

"Dasar piktor," ledek Arya.

Anggi tak menyahut. Ia terlalu malu mengakui bahwa perkataan Arya memang benar. Jangan salahkan Anggi jika berpikir kearah yang lain. Oh ayolah, siapa yang tidak salah tanggap jika ada seorang cowok mengatakan 'temani gue tidur,' bahkan banci Thailand sekalipun akan salah tanggap.

Anggi mengalihkan pandangannya. Matanya menatap nanar pada dinding putih UKS.

"Lo ngapain di sini?" Arya kembali bersuara.

"Hah? Gue? Oh, gue mau bolos," jawab Anggi, matanya kembali menatap sosok Arya yang duduk tegap pada kursi. Sementara Anggi masih berjongkok dihadapan cowok itu.

Tak.

Arya menjitak kening Anggi, cewek itu meringis karenanya.

"Lo makin nakal aja sekarang. Sejak dulu nggak pernah berubah. Tetap jelek dan bodoh."

"Cih," Anggi berdecak mendengar hinaan Arya. "Dari pada lo berubah jadi nggak punya hati kayak robot," umpatnya pelan.

Arya tertengun mendengar umpatan Anggi.

Sadar bahwa dirinya salah bicara, Anggi segera meralat perkataannya. "Ma-maksaud gue lo berubah jadi cowok sok cool yang irit ngomong."

Arya tak merespon.

"Maaf. Gue salah ngomong," cicit Anggi pelan. Ekspresinya berubah takut.

Angin kembali bertiup seiring dengan senyuman tipis yang mengembang di bibir Arya. "Lo nggak salah kok," ujarnya.

"Apa?" Anggi merespon bodoh.

Senyuman Arya semakin mengembang. Tangannya terangkat dan berakhir di puncak kepala Anggi. Cowok itu menepuk pelan puncak kepala Anggi sebanyak dua kali.

Dug. Dug. Dug.

Jantung Anggi berpacu dua kali lipat lebih cepat. Pemompa darah itu bekerja semakin keras karena tindakan Arya yang tidak biasa. Seperti mimpi rasanya.

Oh senyuman Arya yang terlampau manis, tolong hentikan itu! Anggi bisa mati di tempat jika senyuman Arya tak segera dimusnahkan.

"Yang lo bilang memang benar. Gue berubah sejak saat itu jadi manusia yang nggak punya hati. Jangan ngerasa bersalah," tutur Arya dengan senyuman yang semakin lebar.

"Senyuman lo manis," ujar Anggi tanpa sadar. Saat itu juga Arya terbahak karena perkataan bodoh Anggi.

Eyaaaang, Anggi keceplosan, Anggi menjerit histeris dalam hatinya.