webnovel

3

--

Anggi melemaskan otot-ototnya selepas bu Ayu keluar dari kelas mereka. Ia merapikan segala alat tulisnya yang berserakan di atas meja.

"Nggi, kantik yuk?" ajak Nurul. Nurul Hasanah merupakan teman dekat Anggi sejak menjalani masa putih abu-abu. Mereka menjadi teman satu meja sejak dari semester awal.

Kantin, tempat pelarian yang paling bagus saat jam istirahat, apalagi sebelumnya otak Anggi disodori pelajaran sosiologi yang membahas mengenai kesenjangan sosial.

"Lo duluan aja, ntar gue nyusul. PR sejarah gue belum selesai. Pinjam punya lo dong," minta Anggi.

Dan sepertinya kali ini Anggi harus menahan kakinya untuk tidak melangkah menuju kantin. Pekerjaan rumahnya lebih penting daripada nanti ia harus terkena hukuman dari ibu Rusda.

"Sebelum masuk tadi udah gue kumpul di meja ketua. Lo sih datangnya telat," ujar Nurul ditemani wajah sesal.

Anggi cemberut. "Ya udah deh."

"Ntar nyusul ya, Nggi," pamit Nurul sebelum pergi.

Anggi membuka buku tugas sejarahnya. Dari lima soal baru tiga yang Anggi selesaikan. Sisa dua soal lagi. Kedengaran sedikit memang. Soal yang tertulis pada buku cetak hanya dua baris, tapi apa kabar dengan jawabannya?

Namanya juga pelajaran sejarah. Mengenang masa lalu selalu punya banyak cerita. Seperti mengenang mantan, begitu jugalah pelajaran sejarah. Jawaban dua butir soal itu lebih panjang dari kisah-kisah novel yang ada di wattpad.

Anggi mendesah lega setelah menyelesaikan kalimat terakhir sebagai jawaban soal sejarah yang seharusnya menjadi tugas rumah. Hanya tinggal dikumpulkan pada ketua kelas, maka urusan Anggi dengan masa lalu akan selesai.

Anggi beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju meja ketua kelas yang terletak di kursi paling belakang dekat dengan jendela. Meja Arya tepatnya. Well, apa perlu Anggi ingatkan bahwa Arya itu adalah ketua kelas di kelas mereka?

"Arya?" panggil Anggi pelan.

Arya tak bergeming. Cowok itu sedang tidur dengan posisi kepala terletak di atas meja dan mengahadap pada dinding.

Anggi memutari meja Arya. Dia duduk di kursi paling sudut, kursi yang menempel langsung dengan dinding.

"Arya," panggil Anggi sekali lagi.

Arya masih menutup matanya seolah tidak terganggu dengan kehadiran Anggi.

Anggi menatap wajah polos Arya yang tertidur. Wajah tampan Arya diterpa oleh sinar matahari yang masuk melalui celah jendela kaca kelas mereka.

Ganteng, lirih batin Anggi.

Wajah Arya semakin bersinar akibat ditimpa cahaya matahari. Walau bagaimanapun pasti tidak nyenyak ada yang mengganggu tidur kita, sekalipun itu cahaya matahari yang hangat.

Anggi menegapkan posisi duduknya, mencoba untuk menghalau cahaya matahari yang menimpa wajah Arya. Namun, sinar matahari itu tetap nakal. Membuat Anggi memilih untuk berdiri dan cahaya matahari itu kini menerpa tubuhnya.

Arya terlindungi.

Anggi tersenyum bodoh. Apa yang ia lakukan? Melindungi Arya dari cahaya matahari. Hell, ini tindakan yang salah.

"Gue ini kenapa, sih?" gumam Anggi pada dirinya sendiri.

Anggi berniat beranjak dari sana. Namun kakinya tak juga bergerak. Ia terus berdiri di sisi Arya dan menghalangi cahaya matahari untuk tidak mengganggu tidur cowok itu.

Anggi melirik suasana kelas. Teman-teman seperjuangannya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang fokus pada ponselnya, bergosip, mengejek, dan hal-hal tidak wajar lainnya. Semoga saja tidak ada yang menyadari apa yang sedang Anggi lakukan.

Anggi meraih buku tugas yang seharusnya ia kumpulkan pada Arya. Cewek itu pura-pura sibuk membaca. Ia membuka lembar demi lembar kertas buku tulisnya, dan sesekali melirik pada Arya yang masih terlelap.

Satu menit.

Anggi masih bertahan pada posisinya.

Tiga menit.

Lima menit.

Cahaya matahari yang tembus melalui jendela kaca mulai berkurang. Namun Anggi belum beranjak.

Sepuluh menit.

Hingga bel pertanda istirahat telah berakhir berbunyi. Bunyi teeet membuat Arya terusik dalam tidurnya. Matanya mengerjab-ngerjab pelan.

Melihat pergerakan Arya buru-buru Anggi meletakkan buku tugas yang memang harusnya ia kumpulkan pada Arya, lalu beranjak dari sana sebelum Arya menyadari kehadirannya.

Arya kini benar-benar membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah dinding kelas yang dihiasi coretan. Ia mengambil posisi tegap, lalu merenggangkan otot-ototnya.

Sementara Anggi melirik pada Arya. Dia duduk kaku di kursinya.

"Arya, ibu Rusda nanya tugas sejarah. Gue baru dari kantor guru. Kenapa belum dikumpul tugas dari kelas kita?" Seorang siswa laki-laki berteriak dari pintu kelas.

"Gue ketiduran. Gue kumpul sekarang," jawab Arya kalem. Dengan sigap ia bangun dari duduknya.

"Baru kali ini gue tidur di kelas nyenyak banget," lirih Arya pelan.

Anggi dapat mendengar perkataan Arya. Cowok itu pas sekali melewatinya saat berkata-kata.

Iya tidur lo nyenyak. Tapi badan gue yang pegal, dumel Anggi dalam hati.

~o o~

"Woi, lo disuruh eyang tuh pulang bareng Anggi," Arkan berteriak dari depan kelas pada Arya. Beberapa murid kelas itu yang belum pulang langsung menoleh pada Arkan.

"Lah? Kenapa gue? Lo yang dapat

chat WA dari eyang, kenapa gue yang harus kena imbasnya?" debat Arya tidak terima.

Arkan menatap Arya dengan mata menyipit. "Gue tau lo juga pasti di-chat sama eyang."

Arya mendengus. "Gue udah jemput dia tadi pagi. Sekarang giliran lo"

"Ogah!" tolak Arkan.

"Gue juga ogah!" Arya tak mau kalah.

Yuyun, salah satu dari murid kelas 12 IPS 4 terbengong-bengon melihat perlihat pertengkaran Arya dan Arkan. Yuyun mematung dengan Gerakan sedang menyapu kelas. Sudah biasa memang melihat pertengkaran Arya dan Arkan, namun setiap perang itu terjadi seluruh dunia seolah berhenti beraktivitas.

"Gue bilang lo yang ngantar Anggi, ya harus lo," suara Arkan naik.

"Gue nggak bisa. Gue sibuk!"

"Gue jauh lebih sibuk dari lo! Gue ada jadwal kencan hari ini," ujar Arkan ngotot.

"Terus gue peduli?" Arya tak mau kalah

Sementara Anggi yang masih duduk manis di kursinya hanya dapat melongo melihat pedebatan dua cowok itu. Bingun, dia adalah pemeran utama dalam cerita ini. Harusnya Anggi jadi rebutan. Benar, kan?

Tapi, kenapa dua sepupu itu tidak mau memperebutkan dirinya? Setidaknya Arkan dan Arya saling tonjok untuk mendapatkan tempat di sisi Anggi. Ayolah, biarkan Anggi sedikit merasa cantik. Tolong perebutkan Anggi. Tolooong!

"Apa gue sejelek itu?!" tanya Anggi pada Nurul.

Nurul mengangguk pasrah. "Mungkin lo sama sekali nggak cantik. Sedikitpun nggak cantik."

"Lulus SMA nanti gue harus operasi plastik di Korea," Anggi beranjak dari duduknya. Lebih baik pergi dan pulang sendiri. Tidak, jangan tahan Anggi untuk tidak pergi. Jangan. Tolong jangan.

Hei, memangnya siapa yang mau menahan kepergiannya? Dua sepupu itu?

Anggi menoleh sekali lagi pada Arya dan Arkan. Haaah, keduanya masih sibuk berdebat agar tidak pulang bersama Anggi.

Fix, gue memang seratus persen jelek, Anggi membatin.