webnovel

Bab 8

Keesokan harinya, Bara berangkat ke sekolah lebih awal. Dia berlari menuju aula napasnya terengah-engah.

Dia berhenti di dekat tempat sampah di depan aula matanya mulai mencari-cari gambar yang ia buang kemarin. Tapi tentu saja tempat sampah tersebut sudah kosong.

Hatinya setengah menyesal kemarin dia terlalu kesal sehingga membuang karya-karyanya terbaiknya tanpa pikir panjang.("Mungkin lebih baik seperti ini") katanya dalam hati sambil memejamkan mata.

Hubungan Dinda dengan Bara semenjak kejadian di aula menjadi berbeda. Walaupun Bara masih tetap menjadi teman yang ramah, Dinda tidak bisa menanggapinya dengan perasaan yang sama karena setiap kali Dinda memandang matanya yang teringat adalah tatapan sedih Bara karena tidak bisa menggapai mimpinya lagi.

Jarak enam langkah di antar mejanya dan meja Bara telah berubah menjadi kesedihan yang tak terperikan. Untungnya beberapa hari kemudian ujian semester datang, sehingga untuk sementara waktu pikiran Dinda, lebih terfokus pada harapanya untuk lulus ujian.

Bagaimana pun, ia tidak ingin mengecewakan mama dan pilihannya masuk jurusan IPA. Setelah ujian berakhir, libur akhir tahun datang Dinda ingin memanfaatkan liburan untuk mengobati rasa sakit di hatinya.

Bulan telah berganti tahun perasaan suka Dinda pada Bara sedikit demi sedikit memudar lagi pula, kini Dinda lebih berkonsentrasi pada pelajarannya, karena ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi.

Namun, kalau hatinya sedang lengah ia mendapati dirinya memandang Bara di kejauhan.

Besok, hari Minggu sekolah seakan mengadakan piknik ke pantai untuk seluruh siswa kelas 3. Kepala sekolah ingin anak-anak mendapatkan selingan sebelum berkonsentrasi menghadapi ujian nasional.

Dinda membangun dengan semangat baru di hari itu. Ia ingin melupakan soal-soal ujian di benaknya untuk sesaat.

"Selamat pagi, sayang" Kata mama melihat putrinya yang baru keluar dari kamar.

"Selamat pagi, ma " Balas Dinda. Mama mendekati putrinya lalu menciumnya. "Selamat ulang tahun sayang."

Dinda baru menyadari hari ini hari ulang tahunnya sendiri mama menghadiahinya baju baru. "Kau bisa memakai nya hari ini, untuk piknik sekolah, bersenang-senanglah ."

Dinda mengangguk setuju."Terima Kasih, ma."

Sesampainya disekolah jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Piknik ke pantai di jadwalkan berangkat pukul 08.00 Sudah banyak siswa yang berkumpul di lapangan. Enam bus besar sudah terparkir di depan area sekolah.

Dinda menatap Bara yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Hati Dinda sedikit goyah ia tidak pernah melihat Bara mengenakan baju santai dengan kaos Biru, celana jeans hitam, dan topi hitam, Bara terlihat sangat tampan.

Dinda membalikkan badannya.("Aku tidak boleh terus-menerus memandangnya, aku tdak ingin perasaanku jatuh lebih dalam lagi").Ia buru-buru naik ke bus dan duduk di kursi belakang.

Kepala sekolah meminta para siswa masuk bus masing-masing. Sepuluh menit kemudian, bus yang ditumpangi Dinda melaju menuju pantai sepanjang perjalanan Dinda mendengar musik dari handphone nya, Ia berusaha tidak menatap Bara yang berada di kursi paling depan.

Dua jam kemudian, terlihat hamparan laut dari kaca jendela bus Dinda tersenyum.

Dinda belum pernah ke pantai. Selama ini ia hanya melihatnya dari buku atau televisi. Cahaya matahari pagi membuat air laut berkilauan.

Setelah bus berhenti di tempat parkir, para siswa langsung turun dan berteriak gembira menuju pantai. Dinda turun paling akhir kedua kakinya menginjak pasir pantai dengan senang. Setelah itu, ia bergegas mengikuti jejak teman-teman yang lain untuk merasakan air laut.

Dinda melepas sandal yang di kenakannya dan kakinya terendam air laut para siswa lain sedang bermain pasir. Dinda memandang lautan luas di depannya, senang menghabiskan ulang tahunnya di tempat seperti ini.

Keringat membasahi punggung Bara setelah beberapa sesi bermain voli di pantai bersama teman-temanya, dia sedikit kelelahan. Teman-temannya mengajak naik banana boat, tapi Bara memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Dia berjalan menuju cafe untuk membeli minuman dilihatnya Dinda sedang mengantri.

"Hai Dinda" sapa Bara.

Dinda berbalik perlahan. "Bara, hai. Mau antri beli minuman juga?".

Bara mengangguk saat antrean sampai pada giliran Dinda, Bara menyela."Biar aku yang traktir."

Dinda keberatan dengan usul itu."Tidak usah Bara, biar aku yang bayar sendiri saja." Tapi Bara sudah memesan pada pelayan cafe.

"Kopi dingin, dua."

"Bara " sela Dinda lagi.

"Aku tahu kau tidak mau di traktir tapi anggap saja ini hadiah karena sudah membuat kelas kita menang sewaktu bazar dulu. Aku belum sempat mengucapkan terimakasih padamu."

"Ehm...bukan begitu " lanjut Dinda ragu."Bisakah kau mengganti pesananku? Aku tidak bisa minum kopi ganti jus jeruk saja."

Bara keheranan "Kau tidak bisa minum kopi?".

Dinda mengangguk. "Aku pernah mencobanya sekali tapi perutku langsung mual jadi sejak itu aku menghindari kopi. Aku rasa kopi kurang cocok untuk perutku "

"Baiklah " Kata Bara, lalu berkata lagi pada pelayan cafe "Ganti pesanannya, satu kopi dingin dan satu jus jeruk."

"Terima kasih" Kata Dinda.

Mereka duduk berdua di cafe menunggu pesanan.

"Di mana jihan? Dia tidak bersamamu hari ini?" tanya Dinda bingung biasanya Jihan selalu berada di samping Bara.

"Dia pergi keluar kota ada kompetisi marching band disana" Kata Bara memberi penjelasan.

"Dia baru saja mengirimiku kabar katanya dia lebih suka berada disini. Tapi bagaimanapun sebagai.ketua club, dia harus berada disana lagi pula, ini kompetisi terakhir yang akan dia hadiri."

"Semoga Jihan bisa memenangkan kompetisinya " Kata Dinda tersenyum

"Aku pernah melihatnya beraksi dia mayoret hebat." Bara tersenyum."Ya, dia hebat"

Sang pelayan cafe mengantarkan pesanan mereka. Bara menyodorkan jus jeruk di depan nya untuk Dinda. Keheningan meliputi ke duanya Bara meletakkan gelas kopinya di meja.

"Kita jarang berbicara lagi sejak bazar waktu itu." Dinda berhenti meminum jusnya.

"Ya ,aku tahu."

"Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku sudah melupakan masalah itu.Aku sudah baikan dengan papa. Aku harap kita juga akan seperti dulu lagi" ujar Bara mencoba memberi tau keinginan nya.

"Syukurlah " ujar Dinda lega.

"Aku tidak pernah menyalahkanmu. Maafkan aku, aku tidak ingin kau jadi tidak enak hati karena kejadian itu." Bara menatap Dinda seakan meminta maaf.

Dinda menggeleng cepat. "Tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Aku yang minta maaf karena sudah mencoba menyakinkanmu untuk memajang gambarmu."

Bara tersenyum. "Sudahlah, lupakan saja masalah itu. Aku senang waktu gambarku di pajang. hampir semua orang mengatakan gambarku bagus".("Kecuali Papamu") pikir Dinda."

"Saat itu aku benar-benar puas, setidaknya aku sudah mencoba nya walau sekali" Lanjut Bara lagi.

Dinda menatap Bara dengan lembut. "Kau memang berbakat, seandainya kau menjadi perancang perhiasan buatanmu."

Bara tertawa pelan "Terima kasih, tapi aku tidak ingin berandai lagi " Lalu mata Bara menerawang dan dia menatap Dinda lagi."

"Aku sudah menyukainya sejak kecil. Waktu umurku 10 Tahun, papa dan mama mengajakku ke pameran perhiasan dan saat itu aku melihat kalung berlian yang sangat indah. Mataku tak bisa berpaling dari situ, menurutmu aneh tidak kalau seorang pria menyukai perhiasan wanita?"

Dinda menggeleng "Tidak"

"Tampaknya hanya kau yang tidak menggangapnya aneh." Bara tersenyum lagi

"Orang tuaku menganggapnya aneh"

"Menurut mereka aku tidak cocok menjadi perancang perhiasan. Lagi pula orang tuaku ingin aku menjadi seperti mereka." Bara mendesah kasar seolah melepas segala kepenatan di dada nya.

Dinda tidak ingin Bara seperti itu lagi hingga ia berusaha mengalihkan topik percakapan mereka.