"Pusing deh, punya tetangga kayak si Rava," komentar Yona setelah mendengar cerita Ananda. Yona sedang berada di kost Ananda, menengoknya karena tadi bolos kuliah.
Ananda mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudah tampak kotor. Dan kemudian menghela napas.
"Padahal, aku pikir akhirnya dia udah agak baik," kata Ananda mendesah. "Ternyata, tetep se-labil yang kemaren-kemaren."
"Kira-kira apa ya, masalahnya?" tanya Yona tiba-tiba. "Kaburr dari rumah? Ayah nya selingkuh? Atau... ceweknya diambil orang?" lanjutnya ngaco.
Ananda mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan—ngawur—yang dikatakan Yona. Yona sendiri terkekeh saat mencoba membayangkan alien aneh nan cool itu benar-benar mengalami hal-hal tersebutt.
"Apa pun masalahnya, sepertinya berat banget," kata Ananda.
"Tapi, Ananda... kalo suatu saat kamu tau apa masalah dia, emangnya kamu masih mau nemenin dia?"
Ananda terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul lengan Yona.
"Kamu apa-apaan, sih, Yona! Jangan nakut-nakutin gitu, dong!" seru Ananda membuat Yona tertawa.
"Kamu-nya serius amat sih, jadi aku pengen aja ngegodain!" seru Yona, dia bangkit dan berjalan menuju jendela, mencoba untuk melihat pemandangan di luar.
Tak berapa lama, Yona sibuk melihat-lihat keadaan di luar, sementara Ananda memikirkan perkataan Yona tadi. Bagaimana kalau yang dikatakan Yona benar? Bagaimana kalau masalah Rava jauh melebihi perkiraan Ananda?
Ananda ingin membantu Rava semampunya, tetapi Rava bahkan hampir tak pernah mengatakan apa pun mengenai dirinya sendiri. Mungkin Rava tak bisa mempercayai siapa pun. Namun, Ananda yakin Rava bisa mempercayainya.
*
Rava melangkahkan kakinya pulang ke kost-nya. Dia melirik rumah Tante Alena yang masih gelap, penghuninya masih pergi. Angga dan Alvin juga tidak tampak di mana pun. Rava melirik ke atas, dan kamar Ananda juga tampaknya gelap. Rava menghela napas lega. Dia tak mau bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.
Saat Rava memutar kunci, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin terlebih dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.
Rava terpaku saat melihat Ananda sedang bersandar pada pagar pembatas. Dia tidak menyangka cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum cewek itu melihatnya. Namun, tahu-tahu Ananda menoleh dan mendapati Rava yang baru mau turun.
"Rava!" seru Ananda ceria membuat Rava tak sengaja menoleh. "Sini!"
Rava menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan kaki, tangan Ananda menariknya dan membawanya ke pagar pembatas. Ananda lalu menunjuk ke langit yang bertebaran bintang.
"Liat deh, Rava! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Ananda girang. Rava menatap arah yang ditunjuk Ananda, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!" lanjut Ananda lagi.
"Kemungkinannya satu banding sejuta," kata Rava pendek, melepaskan diri dari pegangan Ananda.
"Heh? Masa, sih?" tanya Ananda tak percaya.
"Mana aku tau, emangnya aku astronot!" balas Rava lalu beranjak pergi.
"Yee... kalo gitu nggak usah sok tau!" seru Ananda sambil menarik Rava lagi.
"Apa, sih?" seru Rava sambil kembali berusaha melepas tangan Ananda yang mengamitnya.
"Tungguin, Rava, siapa tau ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!" sahut Ananda berapi-api.
Rava menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langit juga.
"Tau, nggak, apa permintaanku tadi?" tanya Ananda lagi, dan Rava tak berniat menjawab. "Aku minta, apa pun permasalahan kamu, semoga bisa cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngedo'ain orang lain?"
"Nggak ada yang minta," jawab Rava sekenanya.
"Kamu ngerasa ngutang nggak?" tanya Ananda.
"Nggak juga," kata Rava membuat Ananda mendelik.
"Dasar nggak tau diri ya, udah dido'ain juga," balas Ananda. "Kalo kamu ngerasa ngutang, kamu harus tungguin satu bintang jatuh lagi, terus do'ain yang baik-baik buat aku!"
Rava hampir mendengus karena menganggapnya permintaan bodoh. Baru saja Rava akan berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan, membuat mata Rava melebar tak percaya.
"Rava! Rava! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" sahut Ananda girang sambil menggoncang-goncangkan Rava yang masih bengong. Beberapa lama kemudian, Rava tak juga berbicara. Ananda menatapnya bingung, "Rava? Kamu minta apa?"
"Minta supaya cewek bawel ini nggak nyampurin urusan orang lain lagi," kata Rava sambil menatap Ananda dingin. Rava kemudian beranjak pergi.
"Kenapa, sih, kamu segitu nggak percayanya sama aku?" tanya Ananda membuat jejak langkah Rava berhenti. "Kenapa kamu tertutup banget?"
"Karena kmu bukan siapa-siapa," jawab Rava sambil berbalik dan menatap Ananda tajam. "Dan karena kamu bukan siapa-siapa, aku nggak harus menceritakan apa pun sama kamu. bukannya aku udah bilang dari awal, jangan nyampurin urusan aku? Kenapa kamu terus keras kepala, sih?"
"Tapi..."
"Apa susahnya, sih, ninggalin aku sendirian? Kalo kamu sepeduli itu sama aku, tolong hargai privasi aku. aku nggak suka ada cewek bawel nyampurin urusan aku," kata Rava lagi, dia pun bergerak turun.
Rava melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan diri ke kasur. bukan, bukannya Rava tidak mempercayai Ananda. Hanya saja, dia tak ingin Ananda tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kalau Ananda tahu, Ananda mungkin saja akan menghindarinya, sama seperti orang lain. Dan, entah kenapa, Rava tidak menginginkan itu terjadi.
Ternyata, sangat susah hidup tanpa ketamakan dan keegoisan. Pada keadaan begini, Rava masih saja mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Rava lakukan untuk menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Ananda walaupun dengan cara yang menyakitkan.
Rava menatap botol obat yang tergeletak di depannya, yang sudah sekian lama tidak disentuhnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.
*
"Lang, aku harus cepet-cepet nemuin dia," kata Rava pada Gilang. Mereka sedang makan di kafetaria, setelah seharian berputar-putar di kampus Teknik.
Gilang menatap Rava heran. Tak pernah dilihatnya Rava seniat ini. Mungkin cowok itu sempat sangat bertekad pada awal-awal datang ke Yogyakarta, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu memikirkannya. Baru sekarang Rava seperti ini lagi.
"aku harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Rava lagi, membuat Gilang menemukan permasalahannya.
"Cewek itu ya?" ujar Gilang paham. "kamu pada awalnya mikir kalo kamu nggak mungkin jatuh cinta sama dia, tapi kenyataannya kamu jatuh cinta?"
Rava tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.
"Pokoknya aku harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu aku datengin juga setiap tempat kost di kota ini," kata Rava lagi. Gilang menatapnya simpati.
"Kasih tau aja cewek itu soal masalah kamu ini, Rava," kata Gilang membuat Rava menatapnya marah. "Kalo dia malah menghindari kamu, bukannya malah bagus? Masalah kamu yang itu akan terselesaikan, kan? bukannya itu yang kamu mau? kamu jadi nggak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"
Rava terdiam, memikirkan kata-kata Gilang. Sepertinya ini sebuah usul yang bagus. Dengan demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...