"Woi! Woi! Kamu kenapa?" sahut Rava panik. Dia lalu memeriksa tubuh Ananda dan kaget saat melihat dahi Ananda sudah berdarah. Rava menepuk-nepuk pipi Ananda. "Woi! Sadar!"
Setelah menyadari bahwa Ananda tidak akan bangun, Rava segera mencari kain untuk menutup luka Ananda. Dia menggendong Ananda dan membawanya ke bawah. Alvin yang sedang membetulkan motor menatap Rava bingung.
"Lho, ada apa, Rava?" sahutnya.
"Ketimpa rak buku," jawab Rava cepat. "Rumah sakit yang deket sini di mana ya?"
"Ya, aku tau! Udah, biar aku aja yang anter Ananda! Bentar, aku ambil kunci motor dulu!" sahut Alvin sambil buru-buru masuk dan keluar dengan memegang kunci motor. "Kamu nyusul aja pake motornya Ananda! Sana cepat ambil kuncinya!"
Rava mengangguk, meletakkan Ananda di motor Alvin, dan segera naik ke atas lagi untuk mengambil kunci motor Ananda. Beberapa detik kemudian, dia sudah menyusul dan mengikuti Alvin dari belakang sambil mengawasi kalau-kalau Ananda terjatuh. Alvin memegang Ananda dengan satu tangan dan berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.
Sesampainya di rumah sakit, Ananda segera masuk UGD dan menerima perawatan, sementara Alvin dan Rava menunggu di luar. Rava menatap kausnya yang terkena darah Ananda.
"Anaknya emang agak ceroboh," kata Alvin membuat Rava menoleh. "Jadi, tolong sekalian dijagain, ya."
Rava hanya bisa diam, tak menjawab.
Tak berapa lama kemudian, pintu UGD terbuka dan Ananda berjalan keluar dengan dahi diplester. Rava dan Alvin sama-sama bengong.
"Kata dokter, aku cuma pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sorry ya, udah ngerepotin."
Ananda nyengir bersalah dan Alvin menghela napas lega. Rava sendiri langsung berdiri.
"Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka.
Ananda menatap punggung Rava sebal, dia melirik kakinya yang juga diperban.
"Sakit, lho," gumamnya pelan. Alvin tersenyum geli, lalu menepuk kepala Ananda.
"Sini, aku bantuin," katanya sambil mengalungkan lengan Ananda ke pinggangnya dan membantunya berjalan.
*
Rava menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar membuatnya pusing. Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru dikenalnya? Kenapa setiap Rava mau menjauh ada-ada saja yang terjadi?
Mendadak, terdengar suara-suara berisik dari kamar sebelah. Rava melirik dinding disebelahnya sebal. Kali ini apa lagi?
Rava baru ingin memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah tambah keras dan mulai mengganggu. Rava berdecak kesal, dia bangkit dan keluar kamar. Lalu dia mendapati Ananda sedang berjongkok di depan kamarnya dengan memegang palu. Di depannya ada rak buku yang patah dan paku-paku yang beserakan.
Rava mengernyit heran. Ananda menoleh sebentar, kemudian kembali mencoba untuk menyatukan bagian yang patah di raknya. Ananda mengetukkan palu kuat-kuat dan seketika pakunya bengkok.
"Nggak bisa besok aja, ya? Berisik, nih," kata Rava.
"Aku nggak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini. Lagian, kamarku udah jadi lautan buku, tau," ujar Ananda sambil kembali mencoba memalu pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.
Rava menatap Ananda yang sedang mencoba lagi. Rava kemudian mengambil palu dari tangan Ananda kemudian berjongkok di sebelahnya. Ananda menatap Rava takjub. Rava mencoba untuk tidak mempedulikannya. Dia mengambil paku, lalu memakunya dengan mudah.
"Hmm... ternyata baik juga, ya," gumam Ananda membuat Rava hampir memaku jarinya sendiri.
"Ini supaya cepet selesai. Atau aku yang nggak bakal bisa tidur," kelit Rava. Ananda mengangguk-angguk jahil.
"Yang tadi siang, makasih ya," ujar Ananda kemudian.
"Bukan apa-apa," balas Rava sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat selesai. "Tapi, pingsannya nggak penting. Cuma, kamu pikir kamu enteng?"
Ananda terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Setahun yang lalu, aku liat gimana ayah dan ibuku berdarah-darah. Sejak itu aku takut ngeliat darah," jelas Ananda membuat Rava terdiam sejenak. Dia kemudian melanjutkan memaku.
"Tapi tadi kamu khawatir, kan, sama aku?" lanjut Ananda lagi membuat palu Rava berhenti di udara. "Kata Alvin muka kamu pucat banget waktu ngangkat aku. Seneng, deh."
Rava tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Ananda. Dia mengetuk-ngetuk paku cepat-cepat. Rava takut kalau sedikit lebih lama bersama cewek ini, dia akan mulai berharap untuk mendapatkan setitik kebahagiaan.
"Ayo ngaku, deh, Rava, waktu kamu liat aku pingsan tadi, kamu pasti panik berat, kan? Kamu pasti nyesel udah ngejek-ngejek aku sebelumnya...," ujar Ananda lagi. "Makanya, jangan suka ketawa di atas penderitaan orang lain..."
Mungkin sedikit waktu saja boleh. Rava melirik Ananda yang sedang mengamati perban di kakinya. Mungkin, Rava bisa menghabiskan waktu bersama gadis ini, walaupun hanya sebentar saja.
"Kakiku udah kayak kena penyakit kaki gajah, lho, Rava. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi, enaknya, besok nggak ke kampus, deh..."
Semua beban Rava seperti terangkat saat bersama gadis ini, seakan Rava baik-baik saja. Kalau gadis ini begitu sulit dijauhi, kenapa Rava tidak membiarkannya saja? Kenapa harus bersusah payah menjauhinya?
"Rava?" tanya Ananda membuat Rava tersadar. Ananda mengangguk-angguk dengan tampang jahil. "Nah ya... Kena karma, kan?"
Blush.
Rava jadi salah tingkah, buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya, tetapi justru ibu jarinya yang terpukul. Rava segera meringis kesakitan.
"Ya ampun Rava!" seru Ananda panik. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
Rava menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Ananda langsung pucat.
"A... aku cari tisu dulu!" sahut Ananda yang segera masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berjinjit. Tak berapa lama kemudian, dia sudah keluar sambil membawa tisu dan kemudian menyodorkannya pada Rava. Rava segera menggunakannya untuk menghentikan pendarahan. "Ng... aku ambilin plester, ya!" ujar Ananda lagi.
Ananda segera masuk lagi ke kamarnya untuk mencari plester. Rava menekan tisu itu sambil menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat merembes di tisu itu, dan saat itulah Rava tersadar. Tubuh Rava tiba-tiba membeku. Jari-jari tangannya dingin. Matanya terpancang pada tisu yang sudah berwarna merah.
"Rava, ini plesternya. Sini, biar aku pasang..."
Rava menepis tangan Ananda yang akan menempel plester. Ananda menatap bingung Rava yang membatu dan berkeringat dingin.
"Rava? Kenapa..."
Rava bangkit mendadak, bergerak ke kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Ananda yang masih bingung. Rava mengunci pintu kamarnya, Kemudian terduduk lemas di lantai.
Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tak boleh. Rava memang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kebahagiaan apa pun.
Rava menatap tisu di tangannya nanar, mengambil korek api dan menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Tisu yang sebelumnya putih bersih, kini telah ternodai oleh darah kotor yang dimilikinya. Air mata Rava tiba-tiba menetes, menyadari bahwa seharusnya dia tak pernah berharap apa pun.