Hari Minggu siang. Rava baru saja bangun, ia tidak berniat pergi ke mana pun karena kampus libur. Dan itu akan membuat orang yang dicarinya akan semakin sulit ditemukan. Rava akan berusaha pergi ke mal-mal atau tempat hiburan lain, nanti jika nyawanya sudah lebih terkumpul.
Rava membuka pintu kamarnya dan seketika terbatuk karena debu-debu tebal yang berterbangan di sekitanya. Rava menoleh dan mendapati Ananda sedang memukuli kasur yang tergantung di depan kamarnya. Dia memakai kain untuk menutup hidung dan mulutnya, sementara dipinggangnya tergantung kemoceng.
Ananda berhenti memukul, ia menoleh pada Rava. Dia berkacak pinggang, menatap Rava sambil memicing.
"Ya ampun, hari gini baru bangun? Mau jadi apa generasi zaman sekarang?" katanya sambil geleng-geleng kepala.
"Bawel," balas Rava sambil menggaruk kepalanya. "Kamu ngapain, sih? Bikin polusi aja. Kalo mau, di atas aja sana."
"Oh, berhubung sekarang Kamu ngomong gitu, tolong sekalian bawain, dong, ke atas. Aku nggak kuat, nih," pinta Ananda membuat Rava menyesal telah memberinya saran.
Rava berdecak, tetapi ia mengangkat kasur Ananda dan berjalan malas ke atas. "Awas jatuh," kata Ananda saat menaiki tangga. "Kasurnya."
Rava mendelik sementara Ananda tertawa. Tak berapa lama, Rava sudah meletakkan kasur itu di antara dua kursi. Ananda segera memukulinya dengan heboh, membuat hujan debu di mana-mana.
"Udah berapa taun, sih, kmu nggak ngebasin kasur?" seru Rava di sela-sela batuknya. "Mending buang aja, deh!"
"Enak aja kamu ngomong. Emang mau beliin lagi?" sahut Ananda tak jelas, karena megap-megap di balik kain penutup hidungnya. "Kalo kamu mau tau, kasur yang kamu pakai lebih banyak debunya, mungkin malah bisa jadi adukan semen!"
Rava jadi teringat pada kasur di kamarnya, dia berjanji dalam hati tidak akan duduk serampangan lagi. Selama beberapa saat, Rava memerhatikan kesibukan Ananda .
"Eh, kamu tau mall di sini di mana?" tanya Rava tiba-tiba.
"Mall?" Ananda balik bertanya. "Emang kenapa?"
"Nggak, cuma nanya doang," jawab Rava berkelit. Ananda berhenti mengebasi kasur, dan menatap curiga.
"kamu mau ngelamar kerjaan jadi cleaning service, ya?" tanyanya membuat Rava bengong. "Nggak diterima di mana-mana, makanya putus asa, ya, kan?"
Rava berdecak, dia menatap Ananda ganas.
"Udahlah, lupain aja," ujarnya keki.
"Eh, kenapa harus dilupain?" sambar Ananda jahil sambil mendekati Rava dan menatapnya seolah memberi semangat. "Cleaning service juga kerjaan. Yang panting halal. Ya, nggak?"
Rava tertawa garing sambil menatap ke sekeliling. Pemandangan di depannya hanyalah atap-atap rumah tetangga, tetapi langit biru cerah membuat perasaannya nyaman.
"Oh, iya, Aku tau!" seru Ananda lagi, membuat perasaan Rava kembali tidak enak. "Gimana kalo kamu bantuin Aku beres-beres kamar Aku, sekalian latihan jadi cleaning service nanti!"
Rava menatap Ananda datar, melewatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Cewek itu memang makhluk yang kompleks.
*
Rava tadi sudah mengunjungi satu mall yang dianggapnya paling dekat dari tempat kost-nya. Karena sudah malas bertanya pada Ananda , akhirnya dia bertanya pada Gilang. Selama beberapa jam dia mencari, tetapi orang yang dicarinya tak ketemu juga. Rava juga baru tahu, kalau setelah pukul enam malam di Yogyakarta tak ada lagi bus yang beroperasi. Jadi, dia pulang jalan kaki dan sekarang dia hampir tak punya tenaga lagi untuk naik tangga.
"Kenapa, Rava? Kayak kakek-kakek gitu," celetuk Ananda yang tak sengaja melihat Rava berjalan terseok-seok menaiki tangga. Rava hanya nyengir tak jelas.
"Rava," panggil seseorang yang ternyata Alena yang sedang menyiram pot-pot di depan rumahnya. "Nanti makan malam bareng, ya!"
"Saya udah makan, Tante," kata Rava cepat. "Terima Kasih."
Rava lalu buru-buru naik, sebelum Alena mulai membujuknya atau menanyainya macam-macam. Setelah aman, Rava kembali berjalan terseok. Ketika lewat depan kamar Ananda , Rava tak sengaja melirik. Di dalam, Ananda yang sedang menghadapi layar komputernya menoleh.
"Wah, udah pulang! Gimana, dapet kerjaannya?" tanya Ananda , dan Rava memilih untuk tidak menjawab. Ananda bangkit berjalan keluar kamar. "Gitu aja nggak dapet? Aduh, ternyata kamu sebego yang Aku kira, ya..."
Ananda terkekeh kejam, membuat Rava menatapnya sebal.
"Berhenti ngegodain Aku, oke? Yang kemarin-kemarin, Aku beneran nggak sengaja," kata Rava membuat Ananda memicing.
"Tapi kamu sempet liat ukurannya!" balas Ananda sengit. "Dalam waktu sesingkat itu, kamu bisa liat ukurannya!"
"Oke, oke, Aku liat ukurannya. Jadi? Nggak penting juga, kan?" jawab Rava membuat Ananda semakin panas. Rava mendesah. "Oke, kalo ini emang penting buat kamu, Aku minta maaf."
Ananda menatap Rava, menimbang-nimbang. Akhirnya, dia mendesah.
"Yah, mau gimana lagi. Emang cowok zaman sekarang pikirannya selalu ke situ," kata Ananda membuat Rava melotot.
"Ke mana maksud kamu?" katanya tak terima.
"Tapi Aku mau kamu ngelakuin sesuatu buat gantinya," kata Ananda membuat Rava mengernyit. "Ambilin kasur Aku, terus taruh di kamar Aku."
Rava bengong sesaat. "Bilang aja kamu mau minta tolong ambilin kasur!" sahut Rava keki. "Pake nyudutin Aku segala, lagi!"
"Yah, itu kan salah kamu juga. Udah, ambilin sana!" balas Ananda .
Rava akhirnya pergi juga walaupun sambil bersungut-sungut. Ananda nyengir penuh kemenangan.
Beberapa saat kemudian, Rava datang sambil membawa kasur. Ananda sudah menantinya dengan senyum lebar.
"Taruh di mana?" tanya Rava kesal.
"Di sini," kata Ananda sambil menunjuk karpet yang terhampar. Rava meletakkan kasur itu, kemudian menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu kasur itu.
Ananda segera memberi seprai pada kasur itu, sementara Rava mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Ananda yang bernuansa ungu. Tanpa disadarinya, dia melangkahkan kakinya ke arah papan target Ananda dan membacanya.
"Satu. Menjadi penulis best-seller," gumam Rava, lalu menoleh pada Ananda dan mentapnya sangsi. "Kamu? Penulis best-seller?"
"Eh, jangan salah! Suatu saat, kalo Aku beneran jadi penulis best-seller, kamu jangan nyesel ya, nggak baik-baik sama Aku." Ucapan Ananda membuat Rava mendengus. Dia kemudian melirik sebuah pigura berisi foto Ananda bersama dua orang yang sepertinya orang tuanya, seorang pria yang tampak masih muda berambut hitam panjang terurai dan seorang wanita yang memiliki wajah sangat mirip dengan Ananda .
"Meninggal setahun yang lalu," jelas Ananda seolah mengetahui pertanyaan di benak Rava. "Kecelakaan mobil."
"Oh," kata Rava. "Sorry."
"Nggak apa-apa," jawab Ananda . Dia telah selesai memasang seprai dan kini bediri di samping Rava. "Orang tua Aku bilang, apa pun cita-cita Aku, Aku pasti bisa raih kalau Aku bener-bener berusaha. Makanya, Aku yakin bisa jadi penulis best-seller. Kalo cita-cita kamu apa, Rava?"
Rava mendadak bergeming. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya di sini, di kamar ini. Dia tidak tahu kenapa dia malah mengobrol tentang ini-itu bersama seorang gadis yang hampir tidak dikenalnya, dan tidak boleh dikenalnya lebih jauh.
"Rava?" tanya Ananda , bingung pada Rava yang tiba-tiba membatu.
"Aku... capek," kata Rava dingin. Dia melangkah keluar kamar dari kamar Ananda dan segera masuk ke dalam kamarnya.
Rava terduduk di kasur, matanya menerawang. Selama ini, dia bertekad tidak akan memulai hubungan apa pun dengan siapa pun, dan selama ini telah berhasil pada semua orang yang ditemuinya. Tetapi, kenapa tidak pada gadis ini? Kenapa setiap kali Rava berusaha menjauhinya dia selalu saja lupa?
Rava tak boleh lupa siapa dirinya. Tidak boleh.