webnovel

The Title: Nevtor Arc - Second Phrase

[ SINOPSIS ] Perjuangan Nevtor sang Ras Bawah masih berjalan mengikuti arus tujuannya. Meski dia gagal menjadi seorang Titlelist Magic karena ketidakmampuan ia menggunakan sihir, namun itu bukanlah akhir baginya. Kini dia harus menghadapi masa-masa baru di tempat lain. Sektor Barat. Empat dari wilayah terluas di dunia ini. Kehidupan baru Nevtor di sana sebagai tempat bernaung. Bersama teman-teman baru. Juga hal-hal yang akan mendatang. Mampukah Nevtor menghadapi masa kehidupan barunya? Yuk, ikuti kisahnya!

Nautilus_624 · Fantasia
Classificações insuficientes
22 Chs

Chapter 27 Who is that?

Suara erangan itu kian semakin jelas. Sumber yang tak lain berasal dari arah lantai dua bar tersebut. Kami pun beranjak menaiki lantai penginapan dan mencari-cari keberadaan sosok tersebut pada setiap kamar yang memiliki enam ruangan. Memeriksa ke bawah tempat tidur hingga isi dalam lemari, namun hasilnya benar-benar nihil.

Tatkala hendak menuju kamar paling pojok di sudut kiri, suara itu kembali terdengar. Keras dan jelas. Sempat terdengar pula bunyi derak kayu seperti di tendang-tendang.

Kami tiba pada pintu kamar itu. Ternyata sudah terbuka lebar. Nampak telah ada seseorang yang masuk sebelumnya. Tetapi tidak waktu memikirkan itu. Lekas kami pun beranjak masuk dan suara itu merebak sangatlah dekat. Lebih tepatnya, lemari besar yang berada di sudut kiri ruangan kamar.

Aku berupaya membuka lemari tersebut. Namun sayangnya itu terkunci rapat oleh gembok yang melekat tepat di gagang pintu. Tanpa kunci, itu mustahil dapat dibuka.

Dengan terpaksa akupun menebas gembok itu dengan pedangku. Setelah hancur, aku lekas membuka dan memeriksa siapa gerangan yang ada di dalam.

"Hmphh... mpphh ..." Sesosok gadis berambut coklat dengan mulut disumpal kain dan tubuh terikat tali ada di dalamnya. Ia menatap kami penuh ketakutan dan tangisan.

Aurora pun mencoba mendekati seraya menenangkan gadis itu. Kemudian ia lekas membuka belenggu di mulut dan tubuhnya. Namun sesaat ikatannya terlepas, mendadak gadis tersebut berlari menjauh dan mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Dia menondongkan pisau itu kepada kami dengan raut ketakutan dan tangan yang gemetaran.

"J-Jangan mendekat! Atau aku akan menusuk kalian!" Gadis berambut coklat itu berucap dengan terbata-bata. Sampai air mata mulai keluar lalu membasahi pipinya. Selain itu, gadis tersebut tampak tidak asing di mataku.

"Tenanglah, kami tidak menyakitimu!" Bujuk Aurora dengan nada lembut sambil melangkah mendekati gadis itu.

Terlepas dari apa yang kulihat, Aurora kali ini begitu berbeda. Mengingat sifat yang begitu dingin, aku sempat sedikit terkejut.

"Jangan mendekat!!!" Teriakan gadis itu begitu keras hingga menggema ke seluruh ruangan. Dia seketika histeris sambil mundur perlahan.

Sementara itu, aku sudah ingat akan identitasnya. Jikalau gadis tersebut adalah Lena, putri dari pemilik bar ini. Singkatnya, dia gadis yang ditolong Sead tiga bulan lalu.

Langkah Lena terhenti. Dia menatap lekat diriku. "... K-Kau ... kau bukankah pemuda yang bersama Sead waktu itu," ujarnya terbata-bata. Dia masih mengingatku meski sudah cukup lama sekali.

"Ya, aku kenala--temannya. Jadi kau jangan takut, kami ke sini untuk menyelamatkanmu!" Balasku mencoba menenangkannya.

Sang gadis berambut coklat itu kembali menatapku lekat. Air mata pun mulai membasahi pipi lagi setelah sebelumnya mengering. Iris mata biru pucat itu berkaca-kaca. Raut yang tampak ada perasaan lega dibaliknya.

"Syukurlah!" Mata Lena sayu. Gadis itu pun menjatuhkan pisau di genggamannya bersamaan dia juga ikut ambuk tak sadarkan diri.

Diriku pun lekas membopong gadis itu dan pergi keluar dari bar lalu bergegas kembali dua persimpangan tadi seraya meniup peluit berkali-kali. Tak lama setelahnya, Felicia dan Walru datang. Kemudian di susul Clain dan Feek dari arah selatan. Seusainya, kami semua pun beranjak mencari tempat aman untuk memeriksa kondisi gadis yang ada di punggungku saat ini.

-----

Tepat di rumah yang tak memiliki atap kami semua berkumpul. Suasana begitu hening tak ada sedikit suara pun. Tak lama kemudian, pintu ruangan yang berada di samping kanan kami perlahan terbuka. Dari balik pintu sang Title Fighter wanita keluar.

"Bagaimana?" Tanya Feek pada Felicia tengah yang menutup pintu.

"Dia hanya mengalami sedikit luka dan kelelahan saja. Setelah cukup beristirahat mungkin ia akan kembali sadar," jawab Felicia. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang sibuk bersandar pada dinding kayu. "Nevtor, Aurora di mana kalian menemukan gadis itu?" Tanyanya.

"Kami menemukannya di sebuah penginapan dalam bar. Dia dalam keadaan terikat dam mulut disumpal pada sebuah lemari besar," jawabku lugas.

"Apakah ada yang mencurigakan di sana ataupun orang lain selain kalian bertiga?"

"Tidak ada. Namun, saat kami hendak masuk ke kamar itu pintunya telah terbuka. Nampaknya ada seseorang yang sebelumnya ...."

"Juga di depan pintu bar itu pun ada seseorang tewas yang tergeletak," sela Aurora secara cepat. Sang gadis dingin itu ikut dalam obrolan kami. Dia kemudian melirikku sesaat. "Pemuda ini mengatakan bahwa korban itu merupakan seorang kandidat perekrutan."

"Kandidat perekrutan? Apa kau mengenalnya, Nevtor?" Tanya Felicia.

"Dia kenalan seperjalananku dari Kota Koza, Sektor Selatan. Kami melakukan perjalanan bersama untuk menuju Kota Lanc. Hingga setibanya di desa ini, ia pun memutuskan untuk tinggal karena suatu alasan."

"Begitu ya," ujar Felicia. "Baiklah kalau begitu aku akan ke tempat tersebut untuk memastikan." Title Fighter wanita itu memerintahkan Walru untuk ikut bersamanya. Tentu dengan sigap, anak berambut pirang itu pun menyetujuinya tanpa pikir panjang.

Tempat ini lagi-lagi senyap setelah kepergian mereka. Sang pria berjirah yang sedang nampak sibuk memikirkan sesuatu sedari tadi. Sedangkan Clain tengah duduk di kursi kayu sambil menggosok-gosok bilah pedangnya dengan secarik kain putih. Sementara itu, Aurora, dia seperti biasanya. Hanya terdiam membisu dengan tatapan dingin. Setelah sebelumnya ia cukup membuat diriku banyak mengeluarkan kosa kata dalam obrolan tadi.

Melihat yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku beranjak keluar untuk mengusir kebosanan. Namun nyatanya, pemandangan disekitar luar malah membuatku terjelembap dalam kesuraman. Yah setidaknya angin yang berhembus menyegarkan suasana saat ini. Walaupun itu angin gersang yang panas dan penuh debu.

Tatkala sudah mendapat ketentraman sejenak, derak pintu kayu berbunyi perlahan. Di iring sang gadis berambut ungu nan dingin memasuki teritoriku. Iris mata amethyst itu pun langsung lekat menusuk tatapanku. Menyajikan kondisi sama yang pernah kurasakan saat di perpustakaan waktu itu.

"Kota Koza? Sektor Selatan?" Mendadak mulut gadis itu berkomat-kamit. "Jadi kau berasal dari sana ya," ujarnya. Tidak ada ekspresi sama sekali. Tetapi suaranya lembut seperti wanita feminim pada umumnya.

"Kau pandai sekali dalam menggali informasi ya," balasku santuy.

"Tentu. Berkat beberapa bumbu pertanyaan dan basa-basi, aku bisa mendapat hasil yang kuinginkan."

Pandanganku terpaling ke depan. Kembali dalam posisi awal tadi. Meski suasana saat ini sangat berbeda dari sebelumnya. Di depan panas, dan di belakang dingin.

"Gadis tadi mengatakan 'Sead'. Apa itu nama dari pemuda yang tewas tadi?" Tanya Aurora tiba-tiba.

Sejauh itu dia ingin terus bertanya-tanya?

"... Ya!"

"Lalu, apa maksud dengan kenalan? Bukankah kau mengatakan kalau ia adalah temanmu?" Lagi-lagi gadis dingin itu bertanya-tanya. Pertanyaan yang bisa dihitung jari ia lontarkan dalam sehari ini.

"Entahlah, mungkin itu sebuah misteri untukmu," jawabku seraya menoleh sedikit padanya. Sontak raut dinginnya perlahan berubah. Kesal atau penasaran, sulit menerka perasaan gadis tersebut.

Beberapa lama tak bergeming dari tempatnya, sang gadis dingin itu mulai melangkah mendekatiku. Namun kembali diam sesaat pintu perlahan terbuka. Clain keluar setelahnya, lalu menatap kami. Kehadirannya membuat Aurora pun beranjak pergi dan berjalan menjauh ke depan sana.

Pemuda itu kemudian mendekati tempat bernaungku. "Hey Nevtor. Apa kau punya hubungan dengan Aurora?" Pertanyaan ia lontarkan tiba-tiba. Itu terkesan seperti, 'Tidak kusangka, ternyata kau punya pacar.'

"Tidak, dia hanya menyapaku saja. Lagipula akan mengerikan jika aku hubungan dengannya. Mungkin Jake akan terus menterorku."

Clain terkekeh. "Kau benar juga! Aku tidak bisa membayangkan itu."

***

Usai lima jam telah berlalu. Lena kembali sadar dari fase pingsannya. Ia bahkan tak henti-hentinya menangis. Nampak ingatan akan rasa ketakutannya acapkali membuat ia berteriak histeris.

Felicia pun berupaya untuk meredam rasa takut gadis berambut coklat itu. Lamban laun, Lena perlahan tenang dan mau menjelaskan kronologi kejadian yang melanda desa-nya. Juga tragedi yang menimpa dirinya.

Setelah mendapat informasi yang ada, Feek pun mengintruksikan Felicia dan Clain untuk membawa gadis tersebut ke kota. Menyisakan kami berempat untuk melanjutkan ekspedisi yang memang sama sekali belum bisa dikatakan tahap selesai. Lain kata, inilah adalah awal dari dimulainya ekspedisi.

Seperti yang dijelaskan oleh Lena, jikalau pemimpin kelompok tersebut bernama Autern. Dia yang mengenakan mantel putih mewah layaknya bangsawan. Kemudian anggotanya terdiri dari tiga pria dan satu wanita. Jiza, Yeter, Baff dan Loudd. Dan dari penuturan Feek, bahwa pria berperawakan kekar dan luka sayat di pipinya atau lebih kukenal pria bercodet, dia merupakan Jiza, Title Fighter yang sangat terlatih. Sekaligus buronan kelas tinggi yang saat ini tengah di cari-cari oleh komandan Title Knight.

"Lalu, dalam penelusuranku tadi bersama Clain. Kami menemukan secarik kertas di rumah kepala desa. Isinya tentang lokasi markas kelompok kriminal tersebut. Dan titiknya tepat berada di hutan selatan. Dari yang kuketahui, bahwa di sana terdapat desa yang telah lama terbengkalai," tambah Feek.

"Kalau begitu, bukankah sebaiknya kita segera ke sana," usul Walru.

"Jangan bertindak gegabah! Kita tidak tahu apakah memo itu benar-benar menunjukan lokasi mereka. Mungkin saja ini hanya jebakan untuk menuntun kita dalam perangkap mereka," jelas Feek.

"Lalu bagaimana sekarang, Tuan Feek?" Tanya Walru.

"Aku akan melakukan pengintaian terlebih dahulu pada lokasi tersebut. Jadi kalian tunggu di sini sampai aku kembali. Namun, jika aku tidak kembali dalam 30 menit, segeralah kembali ke kota untuk melapor kepada Tuan Pare. Mengerti!" Tegasnya.

"Mengerti!" Jawab kami serentak.

Tak lama setelah kepergian Feek secara cepat arus kesunyian menyelimuti kami. Tidak satupun kata-kata yang terlontarkan. Bahkan Walru yang selalu bersemangat pun tampak tidak mampu mengatasi situasi sekarang. Dia hanya mematung tidak bergeming seraya menatap kakinya. Sepertinya ia tidak memiliki selera berbincang dengan kami. Sebab alasan yang bisa kutebak. Jikalau dirinya sudah mengerti betul tipikal dan sifat orang seperti aku dan Aurora.

"Wah, wah, wah. Tampaknya kita mendapatkan tangkapan besar hari ini."

Sontak ... suara tersebut memecah suasana keheningan.

If you liked this story, don't forget to comment and review it. Because these two things are quite meaningful to me as the author so that my spirit is always updated.

Nautilus_624creators' thoughts