Malam ini hujan sangat deras. Jendela di kamarku seperti diketuk-ketuk oleh badai iblis dengan air hujan yang sangat tidak bersahabat. Begitu derasnya dan membuat semua orang khawatir akan terjadi banjir. Aku juga mulai khawatir karena kalau banjir, besok aku tidak bisa menengok adikku yang sekolah di kota. Dia di sana tinggal di asrama. Aku sudah berjanji padanya untuk menengoknya besok. Tapi aku rasa dia akan mengerti jika aku tidak menengoknya besok. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aku masih duduk di meja belajarku. Aku duduk menghadap meja belajar sederhana sekaligus menghadap jendela yang sedari tadi masih diketuk-ketuk oleh air hujan yang sangat deras.
Tanganku dari tadi mengetuk-ngetuk meja. Cemas karena aku menunggu temanku yang belum juga datang dari tadi. Aku ingin sekali menelponnya. Namun, mengingat badai yang sangat ganas ditambah banyak petir yang menyambar, aku mengurungkan niatku itu. Listrik mulai mati, dan kamarpun gelap. Aku mencoba mencari lilin dibantu penerangan layar ponsel. Setelah aku menemukannya, aku mulai menyalakan lilin itu di atas meja belajar sederhanaku yang terbuat dari kayu jati. Meja belajar ini sangat istimewa. Meja ini dibuat oleh ayahku sewaktu aku masih kecil. Meja ini seperti meja para komikus yang dipakai untuk menggambar.
Sedang sayiknya aku melamun masa kecilku, pintu kamarku diketuk oleh seseorang.
"Jaka!. Buka pintunya cepat. Di sini sangat gelap". Teriak seseorang dibalik pintu kamarku.
"Iya sebentar. Maaf tadi aku menguncinya". Jawabku.
Aku melangkah menuju pintu. Memutar slot kunci dan membukanya. Aku melihat seseorang dengan rambutnya yang lurus dan alisnya yang hampir menyatu. Ya, dia adalah temanku, Ruhdi.
"Untung pintu rumahmu tidak kamu kunci. Jadi aku bisa langsung masuk". Kata Ruhdi.
Dia masuk dan langsung melepas tasnya yang sangat besar di atas kasur. Dia duduk dikasur dan mengeluarkan secarcik kertas dari tasnya.
"Ini" katanya sambil memberikanku kertas tadi "Ini brosur untuk kamping. Di sana kita juga akan diajarkan bagaimana caranya bertahan hidup di hutan". Tambahnya.
Aku membaca judul dari brosur itu yang dicetak sangat tebal "The Survival" dilengkapi dengan gambar flora dan fauna yang sangat mendukung.
"Jadi kamu jauh-jauh datang kesini hanya untuk memberitahukanku hal ini?"
"Bukan hanya memberi tahu, tapi aku juga akan mengajakmu. Kamu kan senang dengan petualangan, jadi ini sangat cocok untukmu"
"Baiklah, tapi aku pikir-pikir dulu. Lagipula, hujannya belum berhenti. Kamu kesini tidak mengalami hal buruk kan?". Tanyaku cemas.
"Tidak apa-apa. Hanya saja tadi aku kesusahan berjalan menuju ke rumahmu. Aku membawa tas dengan berisi perlengkapan kamping yang berat. Belum lagi, sekarang airnya hampir satu lutut. Untung saja aku memakai sepatu bot khusus banjir. Di tengah jalan menuju kerumahmu tiba-tiba listrik mati. Tambah kerepotanlah aku karena jalanan sangat gelap".
"Jadi di luar sana banjir?". Tanyaku yang kaget.
"Iya. Tapi Insya Allah tidak akan parah banjirnya".
"Syukurlah. Kapan kegiatan ini akan dumulai?".
"Besok lusa".
"Ya sudah, kamu menginap saja dulu dirumahku".
"Rencananya memang begitu".
Ruhdi menaruh tasnya yang besar itu di pojokan kamar. Aku menurunkan lilin yang tadi aku nyalakan ke lantai. Sepertinya Ruhdi agak kedinginan. Aku membawakannya selimut dan membuat teh jahe panas untuk menghangatkan tubuhnya. Sepanjang malam kami membahas masalah brosur tadi. Kami larut dalam pembicaraan dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kami bergegas tidur. Ruhdi yang baru datang dari Jakarta itu langsung lelap tertidur. Mungkin dia sangat kelelahan. Jika saja dia memberitahuku kalau dia mau datang pasti akan aku jemput dia di stasiun. Sayang, walaupun aku berencana mau menjeputnya, tetapi hujan yang dari jam empat sore belum juga reda. aku hanya bisa menunggu dengan cemas dirumah dan berharap dia berteduh dulu sebelum ke rumahku. Dia orangnya memang tidak mau merepotkan orang lain.
Subuh kami bangun untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Kemudian kami tidur lagi dan bangun sekitar jam sembilan pagi. Orang tuaku belum juga pulang dari rumah nenek. Ruhdi belum juga bangun. Mungkin dia sangat lelah. Aku sengaja tidak membangunkannya karena tidurnya sangat pulas. Aku ke dapur untuk membuat sarapan. Aku membuat telur mata sapi dan roti bakar. Tadinya aku mau membeli nasi uduk. Tapi, jam segini pasti sudah habis. Setelah selesai membuat sarapan, aku pergi keluar. Ketika aku membuka pintu, cuaca sangat cerah. Berbeda dengan cuaca tadi malam yang bagaikan iblis yang sedang mengamuk. Dan banjir sudah surut. Seperempat jam aku menonton televisi, Ruhdi keluar dari kamarku.
"Kamu sudah bangun?".Tanyaku.
"Tidurku nyenyak sekali. Aku sangat lelah". Jawabnya sambil meregangkan tulang.
"Kamu mandi dulu sana. Aku sudah buatkan sarapan".
"Orangtuamu mana?".
"Mereka sedang kerumah nenek. Mungkin siang mereka baru pulang".
"Ya sudah, aku mandi dulu".
Setelah Ruhdi mandi, kami langsung sarapan bersama. Sepanjang kami sarapan, dia banyak bercerita tentang kuliahnya di salah satu Universitas di Jakarta. Dia juga sering mengajakku kerumahnya yang ada di Jakarta. Tapi aku selalu tidak bisa. Karena aku juga punya pekerjaan di sini. Larut kami dalam pembicaraan, pintu rumah ada yang mengetuk. Aku segera membuka pintu. Tampak sepasang suami istri berdiri didepan pintu. Sang istri yang wajahnya bundar dan memakai jilbab abu-abu, dan sang suami yang agak jangkung dengan mata yang tajam dan rambut agak beruban. Mereka adalah orangtuaku yang baru pulang dari rumah nenek. Aku cium tangan kedua orangtuaku. Aku juga sedikit khawatir dengan hujan badai tadi malam. Apakah badainya juga sampai didaerah nenek?.
"Apa disana juga hujan badai?".
"Disana tidak ada hujan badai" kata ayahku "Tadinya kami mau pulang pukul delapan malam. Tapi ayah mendengar kabar dari bibimu kalau ada hujan badai. Jadi, kami tidak jadi pulang".
"Temanmu sudah datang?". Kata ibuku.
"Sudah bu, dia sedang sarapan".
Ruhdi menghapiri kami. Kelihatannya dia sudah selesai sarapan.
"Om, Tante". Kata Ruhdi sambil mencium tangan kedua orangtuaku.
"Bagaimana kuliahmu Ruhd?". Tanya ibuku.
Ruhdi sering dipanggil dengan "Ruhd". "h"-nya tidak dibaca jelas atau tidak dibaca sama sekali sehingga menjadi "Rud".
"Alhamdulillah, Lancar tante"
"Syukurlah. Ya sudah, tante mau ke dapur dulu ya?. Kalian ngobrol-ngobrol saja di sini. Nanti tante siapkan makan siang".
Ibuku pergi kedapur. Aku, Ruhdi, dan Ayah duduk diruang tamu dan kami ngobrol-ngobrol.
"Bagaimana kabar orangtuamu Ruhd?". Tanya ayahku.
"Alhamdulillah, sehat Om"
"Oh iya. Ayah sudah sarapan? Kalau belum nanti aku buatkan".
"Ah, tidak usah. Sebelum pulang, ayah dan ibu sudah sarapan dirumah nenekmu".
"Bagaimana keadaan nenek?".
"Sekarang sudah baikan. Maklumlah namanya juga sudah tua. Penyakitnya sudah komplikasi".
"Kakek bagaimana?".
"Seperti biasa, dia sering bekerja di kebun kesayangannya".
"Wah...kapan-kapan boleh dong saya main kesana Om?". Kata Ruhdi.
"Oh tentu boleh. Sekalian refreshing dari kesibukan kuliah. Enam bulan lagi, Jaka kan ulang tahun yang ke dua puluh tiga, bagaimana kalau kita kesana?"
"Boleh juga tuh. Saya lima bulan lagi juga ulang tahun yang ke dua puluh tiga juga"
"Om lupa. Kalian kan cuman beda satu bulan ya?"
Kami berbincang hangat di ruang tamu. Obrolan yang ringan dan menyenangkan.
Sore hari, aku ajak Ruhdi berbincnag-bincang di halaman depan sambil membersihkan lumpur dan daun-daun yang berserakan. Masih untung tidak menyebabkan kerusakan di rumah-rumah warga.
"Dari dulu kamu memang senang mendaki gunung". Kataku sambil menyapu dedaunan.
"Itu mah sudah jadi darah daging. Aku mau sesuatu yang beda. Yaitu berpetualang di hutan belantara". Jawab Ruhdi yang dari tadi sibuk mengumpulkan sisa-sisa lumpur.
"Dalam brosurnya kok tidak disebut hutannya di mana".
"Katanya sih itu rahasia, Tapi entahlah".
"Oh iya, nanti kalau kamu sudah lulus, bagaimana kalau kita buka usaha?".
"Usaha apa?".
"Apa saja yang sekiranya tidak bisa ditiru sama orang lain".
"Sepertinya kuliner boleh juga".
"Kuliner? boleh sih tapi, kita harus benar-benar mampu bersaing. Orang zaman sekarang banyak bosannya. Jadi kita harus super kreatif agar konsumen tidak bosen".
"Contohnya kreatif itu apa?".
"Seperti varian rasa. Jadi mungkin setiap tiga tau enam bulan sekali kit aharus punya inovasi rasa baru".
"Sepertinya aku harus ajak temanku juga yang seorang koki".
"Suruh dia asah terus kemampuannya. Aku juga sudah mulai nabung buat modal usaha".
"Kebetulan juga. Aku punya tabungan. Nanti bisa kita satukan buat modal usaha".
"Beres kalau begitu".
"Kalian berdua ayo masuk makan dulu". Teriak ibuku di pintu rumah.
"Belum juga magrib bu". Kataku.
"Tidak apa-apa. Makan bareng-bareng lebih nikmat".
Kami berempat makan balam bersama, Walaupun ini baru pukul lima sore, tapi perut kami sudah keroncongan.
Ruhdi lahap sekali makan masakkan ibuku. Sedari kecil, kalau main dia selalu numpang makan. Ruhdi dulu tinggal satu kampung bersamaku. Dia juga lahir di kampung ini. Tapi setelah kami lulus SMA, orangtuanya pindah ke Jakarta dan dia melanjutkan pendidikan di sana. Aku lanjut bekerja di salah satu restoran di kota. Restoran ini sangat tersohor se kabupaten. Gajiku juga lumayan hampir sama dengan karyawan di Jakarta. Beruntung aku bisa bekerja di sini sebagai pelayan.
"Kalian ada rencana?". Tanya ayahku.
"Besok saya mau ajak Jaka kemping". Jawab Ruhdi.
"Di mana?".
"Di Lembang".
"Boleh kok. Tapi kalian harus hati-hati. Jaga diri baik-baik".
"Beres Om. Mungkin kami di sana seminggu lebih".
"Jaka, kamu sudah izin ke restoran?".
"Sudah. Aku digantikan sama si Ucup. Dia nanti dapat gaji harian yang dipotong dari gaji aku".
"Bagus kalau begitu".
"Bekal sudah disiapin belum?". Tanya ibuku.
"Sudah semua. Besok tinggal berangkat saja pakai bus".
"Ongkos bagaimana?".
"Kalau kekurangan ongkos, biar saya yang tanggung tante". Kata Ruhdi.
"Maaf ya Jaka ini selalu merepotkan".
"Oh tidak apa-apa tante. Lagipula kan saya yang ngajak. Jadi saya harus tanggung jawab".
Kami semua tertawa. Entah mengapa, tawa ke dua orangtuaku membuatku agak bersedih. Seolah aku akan pergi jauh dari mereka. Tapi aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Aku kesana kan tidak sendirian. Aku kesana bersama sahabatku.
Tak terasa esok hari telah tiba. Orangtuaku juga berangkat lagi kerumah nenekku. Mereka mungkin disana agak lama beberapa bulan. Pagi harinya aku dan Ruhdi berangkat ke daerah sekitar Lembang, daerah di mana diselenggarakannya kegiatan yang ada di brosur itu. Daerah pinggiran Bandung itu memang tempat yag strategis untuk kamping. Udaranya yang sejuk. Bahkan kurang pas jika dikatakan sejuk. Lebih tepat dikatakan 'Dingin'. Karena Lembang memang sangat dingin dibandingkan dengan kota Bndung. Setelah kami menulusuri jalan-jalan dan gang-gang di Lembang, kami tiba ditempat kamping. Tempat itu ada didataran tinggi. Kita bisa melihat pemukiman warga dari sini. Sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka sangat antusias mengikuti kegiatan ini.
Aku dan Ruhdi mendaftar ke panitia. Setelah daftar, kami langsung ikut gabung dengan yang lainnya. Salah seorang panitia naik ke panggung (disana memang disediakan panggung yang sederhana), dia menjelaskan kegiatan dan schedule apa saja yang akan kami ikuti. Dia bilang kegiatan ini akan berlangsung selama satu minggu. 'Syukurlah' pikirku. Karena, tempat aku bekerja hanya memberiku izin satu minggu digantikan oleh orang lain. Setelah satu jam lebih dia memberi kami materi bertahan hidup di hutan. Seperti, membedakan pohon atau buah-buahan yang mengandung racun atau tidak, cara meramu obat-obatan tradisional yang berasal dari alam, cara memburu hewan, membuat tempat berteduh dari ranting pohon, dan masih banyak lagi. Kami semua dipersilahkan membangun tenda disekitar sini untuk bermalam. Besok kami diajak ke hutan untuk mempraktekkannya.
Kami dibagi kedalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5-7 orang. Aku beruntung satu kelompok dengan Ruhdi. Dan tiga orang lagi yaitu: Anggi, seorang wartawan dari Majalah Remaja Bandung. Pak Herman, guru IPA di salah satu SMA di Bandung, dan John Pinkerton, turis asal Inggris. Anggi orangnya sangat cantik dengan rambutnya yang hitam terurai sampai punggung. Tapi, dilihat dari cara dia memasang tenda dan sebagainya, dia sangat ahli, seperti petualang profesional. Pak Herman, meskipun umurnya sudah empat puluh tahun lebih, dia masih enerjik dengan kacamatanya. Terlihat dia sangat berilmu. John Pinkerton, dengan tubuhnya yang jangkung, hidungnya mancung, dan berkulit putih, dia terlihat kuat. Pria asal Inggris yang sangat lancar berbahasa Indonesia ini, bercerita kalau dia senang berbetualang ke negara-negara lain. Terutama menjelajah hutan. Dia bilang sangat senang karena bisa ikut dalam kegiatan ini. Dia juga cerita negara yang paling banyak dia kunjungi adalah Indonesia. Ini terbukti dia sangat lancar berbahasa Indonesia. Meskipun, dalam pengucapan kosakata masih terbawa logat bahasa Inggris.
Hari sudah gelap. Aku, Ruhdi, Pak Herman, dan beberapa orang ikut sholat maghrib berjamaah di salah satu mesjid di sekitar tempat kamping. Tempat kamping itu memang tak terlalu jauh dengan pemukiman warga. Setelah selesai sholat Maghrib dan sekaligus Isya, kami kembali ke tempat kamping.
Kami duduk didepan tenda dan menyalakan api untuk menghangatkan tubuh.
"Udaranya dingin ya di Lembang" sahut Pak Herman
"Iya. Untung saya bawa selimut tebal" kata Ruhdi
"Kira-kira besok akan bagaimana ya?" kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja
"Kamu ini bagaimana sih. Pasti sangat menyenangkan. Kalau kita tidak tahu apa-apa, kita tinggal tanya saja Pak Herman. Dia kan guru IPA dan Biologi"
"Iya juga ya. Beruntung sekali kita satu kelompok sama Pak Herman"
"Ah biasa saja. Bapak akan bantu sebisa bapak"
Sedang asyiknya kami mengobrol di depan tenda, Anggi mendekat dan ikut gabung bersama kami.
"Kalian belum pernah hidup di hutan ya?" tanya dia sambil ikut duduk
"Kalau aku sih sudah. Dulu waktu aku pertama kali suka dengan petualangan. Nih si Jaka belum pernah" Ruhdi menepuk pundakku "Makannya, aku ajak dia ikut kegiatan ini"
"Oh...begitu" Anggi menghadap ke langit "Di hutan, kita harus punya kemampuan bertahan hidup yang cukup. Jika tidak, bisa-bisa kita akan mati konyol" tambahnya.
"Dek Anggi kenapa ikutan kegiatan ini?" tanya Pak Herman
"Saya dapat tugas dari Majalah Remaja Bandung untuk menulis 'Cara Bertahan Hidup di Hutan'. Kebetulan, saya juga senang petualangan. Apalagi di hutan. Waktu saya pulang ke kostan, saya dikasih brosur kegiatan ini sama teman saya. Lalu pihak majalah mengizinkan saya ikut dan berharap tulisan saya bisa bagus. Bapak sendiri kenapa?"
"Saya cuman ingin refreshing saja. Habis, saya merasa perlu penyegaran dari rutinitas mengajar. Tadinya saya mau ngajak anak dan istri. Tapi mungkin sangat beresiko"
"Wah. Kalian tidak nagjak-ngajak saya nih" kata John yang tiba-tiba datang dari belakang tenda.
"Gabung saja sini. Kamu kan bule satu-satunya yang ikut kegiatan ini" kata Ruhdi
"Saya merasa orang paling asing nih di sini"
Kami berlima saling bertukar pikiran dan saling bertukar pengalaman. Salah satu panitia membagikan minuman jahe yang bisa menghangatkan tubuh. Seluruh peserta yang ikut mendapat minuman itu secara gratis. Pihak panitia memaksa kami meminumnya. Katanya, ini bisa menghangatkan tubuh, apalagi malam ini sangat dingin. Seluruh peserta meminumnya dan kami melanjutkan bincang-bincang lagi.
Setengah jam kami berbincang, kepalaku mulai pusing dan mataku sangat berat. Aku melihat Ruhdi, Pak Herman, Anggi dan John juga mengalami hal yang sama. Seluruh badanku lemas. Bahkan aku tidak sanggup berbicara sepatah katapun. Tubuh Ruhdi, Pak Herman, Anggi, dan John, sudah mulai tergeletak di tanah. Aku masih mencoba menahan agar tidak seperti mereka. Tapi, makin lama aku makin lemas dan tubuhku juga mulai ambruk ke tanah. Saat aku ambruk dan setengah sadar, aku sempat menengok ke arah peserta lain. Ternyata, mereka juga sudah tergeletak bagaikan orang yang sedang mabuk berat. Aku sudah tidak kuat lagi dan tiba-tiba semuanya jadi gelap.
Dengan penglihatan samar-samar, aku melihat pepohonan yang rimba, suara burung brkicauan dan suara dedaunan yang tertiup angin. Aku mencoba bangkit. Ternyata aku pingsan. Aku hanya ingat terakhir kali aku meminum minuman jahe tadi malam. Setelah sadar sepenuhnya, aku baru sadar kalau aku berada di tengah hutan. Aku panik mencari yang lainnya. Ternyata mereka semua juga sama sepertiku, tapi belum sadar. Aku mencoba membangunkan mereka semua.
"Ruhdi, Anggi, Pak Herman, John, bangun!" aku mencoba membangunkan mereka
Semuanya sudah sadar
"Di mana kita?" tanya Ruhdi
"Entahlah" jawabku
"Kita ada di hutan" kata Anggi
"Woohooowww....ini sangat hebat kawan. Kita sudah bisa berpetualang sekarang" teriak John.
"Tapi apa maksudnya ini? Tadi malam kitakan sedang berbincang-bincang. Tiba-tiba kita dibawa ke tengah hutan" kata Pak Herman
"Aku rasa, mereka punya alsan untuk semua ini" aku mulai curiga.
"Kalau mereka yang membawa kita kesini? Di mana yang lainnya? Bukankah pesertanya ada lebih dari dua ratus orang?" Anggi terlihat kebingungan.
"Sudahlah kawan" kata John yang dari tadi berjingkrak-jingkrak "Ini surprise buat kita semua, mereka mungkin sengaja supaya kita belajar secara langsung"
"Tapi" Ruhdi melihat-lihat ke atas "Kita ada di hutan mana?"
"Aku juga tidak tahu" jawabku
"Coba aku lihat dulu HP-ku" Anggi merogoh saku celananya "Ada!. Lihat!. Waktu kita berkumpul di Lembang, itu tanggal 18. Sekarang sudah tanggal 20"
"Berarti kita semua dibius selama dua hari lalu dibawa kehutan ini?"
"Bisa jadi. Sayang, tidak ada sinyal. Batrenya juga mau habis lagi"
"Lihat!" Ruhdi menunjuk ke arah pohon yang sangat besar "Itu kan barang-barang kita"
"Aku akan mengambilnya"
Aku menaiki akar pohon itu. Di atas sana bertumpukkan tas-tas milik kami semua. Setelah aku sampai, aku melihat kertas yang ditempel di pohon besar itu.
"Hey!" aku mangacungkan kertas itu kepada semuanya yang ada di bawah "Ada kertas dan isinya dari panitia" kataku sambil berteriak.
Aku turun dengan membopong lima tas. Tapi beberapa tas aku gelindingkan ke bawah karena memang tidak ada barang yang mudah pecah.
"Apa isinya?" tanya Ruhdi
Semuanya berkumpul di sisi kiri dan kananku memperhatikan kertas itu. Aku mebuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan itu yang isinya seperti ini:
"Jika kalian membaca kertas ini, mungkin kalian sudah sadar. Kami memang sengaja membawa kalian kehutan ini. Karena kami akan menguji kalian. Siapa yang berhasil keluar dari hutan ini, akan kami beri imbalan apapun yang kalian inginkan. Tapi, keluar dari hutan ini tidaklah mudah. Banyak tanaman dan binatang hasil dari penelitian ilmiah yang mengerikan yang sengaja kami tanam dan kami lepas di sini. Sebagai contohnya, coba kalian perhatikan dedaunan sekitar kalian. Coba kalian ambil getahnya menggunakan pisau, lalau teteskan atu oleskan ke binatang yang ada disekitar kalian. Mengenai cara bertahan hidup yang kami sampaikan, jangan dipikirkan karena itu tidak akan banyak membantu.
Selamat berjuang"
"Surat macam apa ini" Ruhdi nyeletuk
"Aku akan mencobanya"
Pak Herman mengambil pisau dari tasnya. Lalu mengambil getah dari salah satu dedaunan yang sangat besar dan lebar. Dia oleskan getah itu ke seekor katak yang ada di dedaunan kecil. Satu menit tidak ada reaksi apa-apa. Setelah dua menit, betapa kagetnya kami semua. Katak itu kulitnya mengelupas dan mengeluarkan asap. Semua yang menyaksikan hanya bisa diam seribu bahasa. Semuanya menatap katak itu tanpa ada suara sedikitpun. Mata kami tertuju pada katak itu yang dari tadi menggeliat kepanasan dan mati.
"Huuuwwwaaaaa..." John berteriak sangat kencang "Kita akan mati. Kalian semua, kita akan mati di sini. Mereka menjadikan kita kelinci percobaan" katanya dengan raut wajah tegang bercampur dengan rasa takut.
"Tenanglah!" kata Anggi". Kita harus tenang. Kita harus keluar dari hutan ini"
"Bagaimana caranya?". tanya Ruhdi.
"Aku juga tidak tahu".
"Kamu yang bilang kita harus keluar dari sini, tapi kamu sendiri tidak memberikan solusi?".
"Sudah aku bilang kita harus tenang. Kalau kita panik, kita tidak akan bisa berpikir. Kita dalam situasi yang sulit. Mau tidak mau kita harus keluar dari hutan ini dengan taruhan nyawa kita sendiri"
"Benar apa kata Anggi. Kita harus tenang dan jangan panik. Sebaiknya kita berjalan saja. Sebab, jika terus di sini akan berbahaya" Pak Herman memberikan saran.
Kami semua setuju dengan saran Pak Herman. Kami semua berjalan menuju arah selatan. Untunglah Ruhdi membawa kompas. Sebenarnya, di tengah hutan yang kita tidak tahu di mana, sangat sulit menentukan ke arah mana yang akan kita tuju. Tapi kami telah berunding dan sepakat kita menuju arah selatan.
Tiga jam kami berjalan menelusuri belantara hutan. Kami berjalan dengan sangat hati-hati. Senti per senti kami perhatikan dengan seksama saat kami melangkah. Jika kita salah sedikit saja. Nyawa bisa jadi taruhannya. John terlihat sangat lelah. Belum lagi, di antara kita, tas yang dia bawa merupakan tas yang paling berat. Kami memutuskan istirahat sejenak dan duduk di tanah yang sudah kami periksa keamanannya.
Saat kami sedang beristirahat, kami mendengar ada orang yang mendekat kearah kami. Aku sempat berpikir dan berharap itu adalah penduduk sekitar sini. Tapi bukan, mereka juga peserta. Mereka terlihat sangat memprihatinkan. Mereka hanya dua orang pria. Yang satu, badannya gemuk dan berkacamata bulat, dan yang satu lagi tampangnya seperti preman.
"Syukurlah kami menemukan kalian. Tadinya aku pikir tidak akan bertemu peserta lain" kata pria berbadan gemuk dan berkacamata bulat.
"Tcih....kamu percaya begitu saja apa yang mereka tulis hah?" bentak pria yang bermuka preman. "Lihat sekelilingmu. Tidak terjadi apa-apa di sini" kata dia sambil berjalan disekitar
"Kamu jangan ceroboh. Mereka sudah menanam dan melepaskan binatang hasil penelitian ilmiah di hutan ini" Pak Herman mencoba menghentikannya.
"Orang sepertimu lebih baik mati saja" kata Anggi yang kesal melihat tingkahnya.
"Sudah, tahan dirimu" kataku.
Pria gemuk itu mengusap keringatnya dengan sapu tangan dan berkata "Apa aku boleh ikut bersama kalian?"
"Tentu. Kita harus keluar dari sini dan menangkap otak dibalik kejadian ini dan mempertanggungjawabkan perbuatannya"
"Aku tidak akan ikut kalian. Paling-paling nanti kalian akan mati konyol di sini" pria bertampang preman itu berkata dengan muka sanagat membenci kami.
Anggi mendekat ke pria bermuka preman itu "Kamu. Brengsek!" dia memukul pria itu tapi pria itu menghindar ke kiri. Anggi menyerang lagi dengan menendangnya dengan kaki kanannya. Tendangan anggi mengenai kaki kanan pria itu. Dia tergeletak ditanah sambil memegangi kaki kanannya menahan kesakitan.
"Aaarrggghhhh. Apa yang kamu lakukan?"
"Berhentilah melakukan hal-hal yang bodoh"
Pria itu bangkit dengan kaki pincang dan berjalan sendirian
"Mau kemana kamu?" tanya Anggi
Pra itu berbalik badan "Aku akan berjalan sendirian"
"Ikutlah bersama kami" Pak Herman mencoba membujuknya "Aku ahli dalam bidang tanaman dan Hewan. Aku bisa membantu semampuku"
"Kalian percaya apa yang dikatakan oleh mereka? Lihat ini!" dia menginjak-injakkan kaki kanannya pada akar pohon sebesar tangan orang dewasa "Tidak terjadi apa-ap˗˗˗"
Akar yang dia injak-injak tiba-tiba mencuat keatas dengan cepat seperti jebakan pada binatang. Tubunnya terhempas keatas sekitar sepuluh meter dan jatuh kembali ketanah. Darahnya bertebaran di udara. Kaki kanannya putus entah kemana. Semua yang menyaksikan hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Pak Herman berlari kearahnya dan memeriksa denyut nadinya.
"Dia sudah mati" katanya sambil memegang denyut nadinya "Akar tadi selain mengenai kakainya, juga mengenai perut dan dada. Dadanya hancur dan aku rasa jantungnya juga kena. Dia langsung mati"
"Kita akan mati" kata pria gemuk yang keringatnya semakin membasahi seluruh tubuhnya.
"Kita akan mati kawan" John yang dari tadi diam dan mukanya pucat mengulangi kata-kata pria gemuk dan berkacamata itu.
"Bagaimana mayatnya pak?" tanya Ruhdi.
"Kita tinggalkan di sini. Ini sekaligus pembelajaran bagi kita. Jangan injak akar apapun yang muncul ditanah. Sepertinya akarnya agak sensitif. Jika diinjak berkali-kali, akar ini akan menyerang"
Suasana hening seketika. Anggi yang dari tadi terlihat kuat hanya bisa terdiam membisu. Ruhdi juga sama. Sementara Pak Herman mencoba tenang dan berpikir. John dan pria gemuk itu tetap dengan wajahnya yang tegang dan ketakutan setengah mati. Aku juga terdiam dan berpikir. Bagaimana kita keluar dari hutan ini?. Bagaimana dengan peserta yang lain?. Apa mereka juga selamat, atau sebaliknya?. Dan untuk apa mereka melakukan hal ini?. Kami ini manusia, bukan Hewan.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Dengan langkah yang sangat extra hati-hati. Pak Herman bilang, tanaman hasil penelitian ilmiah itu tidak ditanam secara berdekatan. Jadi. untuk sementara waktu kita akan aman. Aku kembali larut dalam lamunan dalam perjalanan. Malam itu, adalah malam terburuk dalam hidupku. Dan badai itu, adalah 'Badai Pembawa Mimpi Buruk'.