webnovel

The Sun is Following You

Anyone can love you when the sun is shining. In the storms is where you learn who truly cares for you.

zerohanrei · LGBT+
Classificações insuficientes
1 Chs

PROLOG

Hantaman benda keras pada lantai itu bersamaan dengan Changwook membuka pintu kamar Yunseo yang menjatuhkan satu kardus besar di lantai. Lelaki dengan hoodie abu-abu itu kemudian duduk membelakangi Changuk untuk membongkar isi kardusnya.

"Mau dibantu?"

"Tidak, barangku tidak banyak."

Changwook mengangguk mengertu. Bahkan sejak kedatangannya di apartemen baru Yunseo, yang dilakukan Changwook hanya berkeliling dan melihat tumpukan barang di beberapa tempat tak menentu. Padahal niatnya sendiri ingin membantu membongkar barang, tapi Yunseo tidak menunjukkan tanda sikap mengizinkan dengan membiarkan banyak barang yang masih tertutup rapat, yang dibongkarnya hanya barang yang bakal ditaruh di kamar.

Lagipula, benar kata Yunseo, barangnya tidak banyak. Sebagian besar hanya barang utama yang telah ada alias tersedia dari pihak apartemen sendiri.

Tapi, mungkin Changwook bakal menemani Yunseo untuk belanja seprei, gorden, dan beberapa alat makan. Masih mungkin, itu pun jika lelaki itu meminta. Tapi biasanya, lebih besar kemungkinan bakal tidak.

"Pulanglah, tidak ada baiknya untukmu bertahan terlalu lama di sini." kata Yunseo tanpa menoleh.

"Kenapa? Takut kalau orang-orang rumah berpikir kalau aku ikut terlibat pada aksi pemberontakanmu dengan kabur dari rumah?"

Yunseo tidak lantas segera menjawab. "Aku tidak kabur. Sejak awal dia juga tidak peduli dengan keberadaanku."

"Well, selain menjadi kandidat penerus perusahaannya, mungkin iya."

"Yah, pikir saja, dia punya banyak orang yang mampu melacak keberadaanku. Apalagi kemarin aku memesan alat kebersihan dan membayarnya dengan kredit. Kamu kira dia tidak akan tahu?"

"Baiklah, anggap saja Ayahmu—dan saudarimu yang lain—memang tidak peduli." Changwook memposisikan dirinya duduk di sebelah Yunseo, membantu sang empu mengeluarkan barangnya.

Kali ini Yunseo diam membiarkan. Bukan karena Changwook yang membantunya membongkar barangnya, tapi karena 'dia' yang lelaki itu sebut, yang tidak akan bisa Yunseo panggil lagi seperti yang dibilangnya. Setidaknya, tidak jika semudah itu.

.

Tepat pada tahun ke tiga, Minjae memutuskan untuk tinggal sendiri di salah satu apartemen dekat sekolahnya. Setidaknya itu lebih dekat dengan hanya menaiki bus selama 10 menit dari pada rumahnya sendiri. Minjae memerlukan waktu setengah jam perjalanan untuk mencapai sekolahnya, itu pun diantar dengan mobil pribadi. Tapi tetap saja. Waktu yang lama itu dirasa kurang efektif. Minjae ingin lebih fokus pada belajarnya. Jadi, dia tidak perlu bangun lebih pagi hanya untuk bersiap berangkat sekolah sedangkan—mungkin—Minjae tidur lebih larut hingga lewat tengah malam untuk belajar.

Semula memang sulit mendapat izin, terlebih di rumahnya dulu, Minjae mendapatkan segalanya dengan mudah karena keluarganya memiliki Asisten Rumah Tangga yang menyediakan keperluannya dengan sangat lengkap, bahkan tanpa disuruh.

Tapi, di sinilah Minhae sekarang. Tinggal seorang diri tanpa siapa pun di unit apartemen dengan dua kamar. Awalnya Minjae berniat untuk tinggal di apartemen satu kamar saja dengan ukuran ruangan yang minimalis, tapi dia telah diberikan satu unit apartemen yang bagi Minjae sendiri sudah cukup mewah untuk pelajar yang tinggal seorang diri.

Tapi, ya sudahlah, toh, tujuan awalnya untuk fokus belajar. Iya, sungguh demikian.

Minjae mencari ponselnya yang entah berada di mana. Sejak bangun pagi hari, Minjae melupakan benda elektronik tersebut dan belum mengecek jam sama sekali. Sekarang dia sudah siap untuk berangkat dan tinggal membawa benda itu.

"Apa iya di sofa?" Minjae melompat ke sofa dan menyingkirkan bantal-bantalnya di sana. Gotcha, ponsel itu tampak mencuat separuhnya karena terselip di sela-sela.

"Ish, kamu ini kucari sejak tadi malah sembunyi." Minjae langsung mengecek ponselnya, siapa tahu mati, tapi sebaliknya Minjae malah menemukan kalau jam sudah menunjukkan pukul 8.15 pagi, dan jelas dia terlambat masuk sekolah.

"Ataga, aku terlalu santai karena terlalu fokus ponsel! Kalau aku tidak sayang, sudah kutinggal kamu sejak tadi!" tidak berdasar, Minjae malah mengomel ke ponselnya yang segera dikantungi ke dalam saku blazer seragamnya. Dengan terburu Minjae mengambil jaket dan tas ranselnya kemudian memakai sepatunya sebelum berangkat.

"Bus terakhir 8.20—" gumam Minjae dan membuka pintu.

"Hei!"

Minjae tersentak di tempat dan menoleh ke sumber suara, dua orang lelaki berdiri di balik pintunya. Sepertinya mereka sedang berjalan namun tertahan akibat terkejut dengan bantingan pintu yang dibuka tiba-tiba.

"Ma-maaf, maafkan aku." Minjae segera membungkuk meminta maaf setelah menutup pintunya.

Lelaki yang di depan hanya menghela napas. "Lain kali hati-hati."

"I-iya, maaf kak."

Orang itu mengangguk dan melewati Minjae, sebaliknya dengan orang di belakangnya yang sempat mengulum senyum. "Terlambat sekolah ya? Hati-hati ya."

"I-iya, terima kasih." Minjae tersenyum malu dan melanjutkan perjalannya.

Sayup-sayup, Minjae dapat mendengar percakapan kedua orang itu di belakang punggung.

"Dia tetanggamu, jangan terlalu galak."

"Iya, nanti aku sapa yang benar, tadi itu spontan karena kaget. Jangan cerewet, lebih baik kamu pulang sana."

Minjae tidak lagi mendengar selebihnya karena kurang dari lima menit waktunya untuk menuju halte bus, atau Minjae bakal mendapat detensi akibat terlambat. Dan dia tidak mau. Tidak akan pernah mau meski pun itu tidak masalah.