Sudut pandang bisa mengubah segalanya. Ya, sesuatu bisa berarti lain jika seseorang melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin perbedaannya kadang tak terlalu jauh, namun sebagian yang lain dapat memiliki perbedaan seratus delapan puluh derajat.
Seperti halnya kehidupan. Setiap orang memaknai kehidupan dengan versinya sendiri. Atau mereka yang tak ingin bersusah payah dalam berpikir hanya mengikuti aliran mainstream yang diikuti kebanyakan orang. Itulah kenapa lahirlah istilah pemikiran eksoteris dan esoteris. Orang-orang cenderung mengikuti yang eksoteris karena lebih mudah dipahami, dicerna, dan diterima akal sehat. Ya, karena itu sifat kebanyakan manusia, "Maunya enak."
Sedangkan orang-orang yang menantang dirinya sendiri untuk memahami pemikiran yang lebih halus dan terselubung justru makin bersemangat dengan hal-hal di luar logika. Esoteris menjadi sangat menarik bagi para pemikir aliran kuno hingga klasik. Setelah era modern, pemikiran esoteris jarang sekali diminati orang karena dianggap sudah tidak relevan dengan realitas sosial dan perkembangan zaman. Padahal, sebenarnya itu karena ada perang yang dimenangkan oleh sesuatu yang kini sedang berkuasa.
"Andi, kamu jangan ngelamun lah. Aku jadi dicuekin, 'kan?" celetuk Rafi sedikit kesal karena sahabatnya itu telah mendiamkannya selama lima menit.
"Eh, hehe. Maaf," jawab Andi merasa bersalah.
Hari ini mereka belajar bersama untuk persiapan UAS besok. Karena rumah Andi dan Rafi tak terlalu jauh, masih satu perumahan, jadi Rafi sering mengunjungi kediaman Andi untuk belajar bersama atau hanya sekadar berbincang.
Kini, mereka berada di kamar Andi. Si tuan rumah sedari tadi hanya berdandar di atas tempat tidurnya, menerawang dinding kamar yang tak menarik sama sekali. Sedangkan Rafi duduk di kursi belajar Andi dengan raut wajah cemas karena memikirkan sahabatnya itu. Apa mungkin kecelakaan kemarin berdampak pada kondisi mentalnya? Atau ada sesuatu hal yang bisa jadi penyebab dari kecelakaan itu. Hanya Tuhan yang tau.
"Kok kamu kaya kelihatan banyak pikiran belakangan ini? Hm, gitu ya kamu. Sekarang udah mulai ngga mau cerita sama aku nih. Oke, aku pulang." Astaga, Rafi mulai merajuk seperti anak kecil.
"La?" Andi pun hanya kebingungan menyikapi polah sahabatnya itu. "Iya deh, iya. Aku mau cerita nih, tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" Rafi mulai mencondongkan tubuhnya ke arah Andi dan menatapnya seksama.
"Syaratnya adalah yang terpenting kamu nggak boleh bilang ini ke siapa pun, termasuk Ayah kalau-kalau dia tiba-tiba nginterogasi kamu."
Alis Rafi terangkat sebelah. Jelas ada sesuatu yang janggal dari ucapan Andi. Tapi, ia memilih untuk tak menghiraukannya dan lanjut memperhatikan.
"Oke, rahasia kamu selalu aman di tangan aku."
"Ada lagi."
Rafi menghela napas panjang. "Ya. Terus apa?"
"Kalau aku bilang ini ke kamu, itu artinya kamu harus siap bantuin aku."
"Maksudnya?" tanya Rafi kebingungan.
Andi pun bangkit dari sandarannya dan duduk mendekati Rafi. "Ya gini. Maksudku, ini bukan perkara sepele, Raf. Ucapanmu kemarin bener."
"Ucapan aku? Yang mana?"
"Yang kamu bilang aku nih jatuh dari motor bukan karena insiden semata. Ada sesuatu yang lain yang bikin aku kecelakaan malam itu."
"Apa itu?"
Untuk sejenak Andi menoleh ke kanan-kirinya, memastikan keadaan dirasa aman untuk mengatakan rahasianya. Setelah itu, ia pun mengecilkan volume suaranya dan berbisik, "Asal kamu tahu, aku habis ketemu malaikat."
"Ha?!"
"Sssttt!"
Dengan cepat Andi meletakkan telunjuknya di bibir. Rafi pun sadar jika suaranya mungkin terdengar sampai lantai bawah. Tentu saja mereka tak ingin Inem tiba-tiba naik ke atas dan mengetuk pintu kamar Andi, atau yang lebih parah ikut menguping pembicaraan mereka. Tapi, yang lebih Andi takutkan adalah mengenai ayahnya. Untuk sekarang, Andi ingin Jaka tak ikut campur dalam perkara ini. Sementara itu, ia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi tanpa sepengetahuan sang ayah.
Belakangan Andi juga terheran-heran. Semenjak kembali dari Surakarta dalam perjalanan dinasnya, Jaka lebih sering terlihat di kamar tidurnya daripada menikmati akhir pekan seperti biasanya. Dalam sekejap ia berubah menjadi putri tidur. Ia hanya bangun ketika dirinya membutuhkan asupan kopi hitam pahit kesukaannya. Setelah Inem mengantarkan kopi ke kamarnya, Jaka langsung mengunci pintu dan kembali asik dengan ranjang dan selimut. Ini hari Minggu, mungkin ia memang lelah. Kita lihat saja besok Senin, pikir Andi kemudian.
"Owh, iya. Maaf," lirih Rafi.
"Dasar, kamu nih. Minggir bentar coba."
Andi bangkit dari tempat tidur, lalu tangannya langsung meraih laci di bawah meja belajarnya. Ia terlihat mengambil sebuah buku dan kembali mengambil posisi bersandar di tempat tidur. Setelah Rafi sedikit menggeser kursinya, ia lebih memilih untuk bergabung bersama Andi. Dalam sekejap, kini ia pun telah duduk bersilah di samping Andi sambil memangku sebuah bantal.
"Kalau tidak salah, itu buku astrologi yang kamu pinjam dari Pak Fahmi. Iya, 'kan?"
"Benar kamu, Raf. Aku kira kamu lupa."
"Lupa? Ya enggak lah. Penerus Sherlock Holmes ini selalu memperhatikan detail sekecil apapun," ujar Rafi berlagak.
"Haha. Iya deh."
"Emang kenapa sama buku itu? Ada hubungan apa sama rahasia yang mau kamu ceritakan? Dan kamu bilang tadi habis ketemu malaikat, yang benar saja."
"Waduh, ya satu-satu lah kalau mau tanya."
"Tinggal dijawab apa susahnya sih."
Sahabatnya itu takkan melepaskannya dari jeratan pertanyaan-pertanyaan menjebak karena kini Rafi telah memasuki 'mode kepo' yang kadang memang umat-umatan.
"Jadi, kamu beneran mau bantuin aku?"
"Kita nih sahabatan dah lama. Kalau salah satu dari kita lagi susah pasti yang lain membantu, 'kan? Kamu nggak usah cemas begitu. Sebenarnya, aku nggak tega lihat kamu kebanyakan pikiran begini. Seharusnya, kamu serius belajar mikirin UAS sama kaya aku."
"UAS mah gampang. Ada hal yang lebih buat aku uring-uringan."
"Ya udah. Cerita aja apa yang mau kamu ceritakan."
Untuk sesaat, Andi mengambil jeda untuk sekadar mengatur napas dan mengendalikan diri. Ini bukan sesuatu yang kecil, bukan pula sesuatu yang mudah diceritakan atau dicerna. Namun, mungkin tidak apa-apa jika dirinya meminta pertolongan sahabatnya itu.
"Kemarin aku kecelakaan karena diganggu sosok misterius. Aku nggak tahu apa wujudnya, tapi dia selalu bikin suara aneh di kepalaku. Malam itu, dia bikin badan aku panas-dingin sampai nggak fokus naik motor. Waktu aku jatuh, aku sempat lihat ada kaya semacam sosok malaikat yang turun. Mungkin dia pengen cabut nyawa aku, tapi dia belum sempat menginjakkan kaki di bumi. Terakhir yang aku ingat, beberapa orang udah berkerumun di sekitar aku. Terus sadar-sadar aku udah di IGD."
Rafi mengerutkan dahinya. Ia terlihat berpikir keras. "Hm, aku mau tanya. Bukankah sebaiknya kamu minta tolong ke Pak Kyai atau orang pinter gitu soal ini? Kenapa kamu malah pinjem buku itu dari Pak Fahmi?"
"Karena aku ngerasa semua jawaban dari pertanyaan aku ada di sini."
"Kok kamu bisa seyakin itu?"
"Ngga tahu juga." Keduanya pun lantas hanya terdiam. Mereka sama-sama bingung dengan apa yang terjadi. "Tapi, nggak papa. Pertama, kita cari tahu dulu soal buku bersampul kulit biri-biri."
***
Setelah fakum sekian lama, semoga pembaca tetap setia menikmati ceritaku ini.