webnovel

The Perfect Key

Di langit sana, tiba-tiba saja ada berlian raksasa yang muncul bersamaan dengan jendela aneh tak kasat mata yang tiba-tiba muncul di mata sebagian orang. Jendela itu berisi tentang nama-nama dan cerita aneh dari sebuah dunia yang disebut The Last Star. Semua orang kebingungan dengan informasi tersebut dan ketakutan, tetapi lambat laun, ketakutan itu menghilang karena tidak ada hal lain yang terjadi selama setahun. Randy Pangestu,siswa SMA, yang terkenal suka terlambat dan sering dihukum oleh ketua OSIS Damar Prasetya, adalah salah satu yang mendapat jendela tersebut. Akan tetapi, jendelanya lebih kompleks daripada semua orang. Mulai ada rentetan status aneh tentang agility, strength, MP, bahkan durability ada di sana. Bahkan beberapa kata aneh yang disebut skill muncul dibawahnya. Yang lebih parah, dia bisa melihat status orang lain dan juga skill di bawahnya. Merasa miliknya terlalu aneh, Randy memutuskan untuk menyembunyikannya. Tanpa diduga, tepat satu tahun setelah berlian itu muncul, berlian itu berubah warna menjadi merah, kemudian ada pesan di jendela mereka yang berbunyi, “Apakah kalian sudah mempelajari semuanya? Kalau begitu, ayo mulai.” Tiba-tiba saja, mereka semua telah berpindah. Di sebuah dunia yang disebut The Last Star. Dunia sihir yang dipenuhi monster, sementara Randy, yang tidak memiliki satu pun skill combat terpanggil di tengah hutan belantara. Bisakah dia selamat dari sana?

ArinaAsh · Fantasia
Classificações insuficientes
34 Chs

Chapter 25

Satu hal yang kuketahui begitu berbeda dari Damar dan Bagastara, yaitu, cara mereka menghadapi lawan. Damar cenderung waspada dengan lawannya, sementara itu Bagastara tidak bergerak dari tempatnya. Itu tidak membuatnya terlihat ketakutan, justru begitu berbahaya seperti hewan buas yang mengawasi dari tempatnya berdiri.

Tatapannya berbahaya, tetapi senyumnya samar-samar terlihat mencurigakan.

Faiz sendiri tidak menyadarinya atau dia terlalu percaya diri untuk peduli pada pandangan yang gelap itu. Dia berdiri tegak. Dadanya membusung dan di tongkat tangannya diacungkan pada Bagastara yang hanya menatapnya licik.

Tubuh Faiz tinggi besar dan rambutnya dipotong pendek. Aku tidak tahu bagaimana wajah atau ekspresinya saat ini karena dia memunggungiku.

Aku membuka jendela status Faiz secara reflek.

Strength : 534

Agility : 354

MP : 649/676

Durability : 729/729

Stamina : 878/890

Exp : 0

Mataku bergetar tidak percaya. Itu sungguh status yang tinggi. Orang gila ini tidak peduli pada EXPnya dan menggunakan seluruhnya untuk meningkatkan status dasarnya. Akan tetapi, skill yang dia miliki hanya dua [Steal] dan [Delinquent].

Apa-apaan itu?

Dia gila. Dia benar-benar gila.

Berbeda denganku, Bagastara dengan tenang bertanya, "Apa kau bertarung dengan Damar sebelumnya?"

Faiz memiringkan kepala bingung.

"Apa itu soal Bocah Api?"

Bagastara tidak menjawab.

Oleh karena itu, Faiz melanjutkan, "Ya. Ya. Bocah Sialan itu kabur sebelum pertarungannya selesai. Pengecut sialan."

Bagastara menatapnya dengan mata berkilat tertarik. Aku tahu apa yang dipikirkannya.

Samar-samar rasa takut itu mulai menggelitik punggung. Bagastara terasa sangat besar dan semakin besar sementara rasa takut itu terasa menggilasku. Mata yang sebelumnya hanya memancarkan warna merah samar, kali ini mulai semakin terang bersamaan dengan rasa takut yang terpancar darinya.

Jangan bilang sejak tadi Bagastara tidak menggunakan seluruh skillnya saat menakutiku!

Bagastara menegakkan tubuhnya. Setiap langkah yang dia buat terasa mengerikan.

"Bukankah sudah kubilang pada kalian untuk diam hingga festival dimulai?"

Punggung Faiz mulai menurun. Genggamannya pada tongkat baseball semakin erat.

"Nah begitu!"

Dalam sekejap, segala hal berubah. Bagastara menghilang dari tempatnya berdiri dan tiba-tiba saja Faiz memutar. Tangannya mengayunkan tongkat baseball dengan keras hingga angin berdesir kencang. Angin itu menembus perisai Andira dan aku terjatuh dengan bertopang lutut sambil menyilangkan tangan ke depan.

Kejadian berikutnya datang dalam satu tarikan napas yang sama, Faiz terlempar karena serangan dari sisi kirinya. Lantas jatuh menghantam dinding dan menghancurkannya. Di sana, Bagastara hanya berdiri dengan tangan yang melepas kancing pada lengan kemejanya. Matanya berkilat-kilat menikmati pertarungan itu.

"Jangan menonton kalau kamu tidak kuat!"

Faiz sendiri meraih dinding dan keluar dari sisa reruntuhan. Matanya hanya menatap fokus pada Bagastara dengan seringai lebar di wajahnya. Bajingan itu benar-benar menikmati pertarungan sialan ini.

Andira meraih bahuku.

"Kita harus pergi!"

Bagastara menatap Andira kecewa.

"Jangan begitu, dong! Aku sedang mencarikanmu bonus, seharusnya kau menonton hingga habis."

"Jangan mengabaikanku!"

Faiz melompat dengan tongkat baseball yang siap untuk memukul. Namun Bagastara menghindarinya tanpa melirik. Dia melompat dengan indah dan pukulan Faiz menghancurkan dinding di belakang Bagastara.

Orang-orang di rumah sebelah tempat ini menjerit. Tidak ada yang peduli tentang mereka.

"Andira selamatkan mereka."

Andira menatapku tak percaya. Akan tetapi, itu adalah pilihan terbaik untuk sekarang. Orang-orang ini tak peduli siapa saja yang akan mati karena pertempuran mereka.

"Cepatlah!"

Andira menggigit bibir lantas berlari keluar. Dengan [Shield]nya dia pasti bisa menyelamatkan mereka.

Faiz berteriak girang. Bagastara sendiri menendang tongkat itu ke tanah dan berdiri dengan keseimbangan sempurna di atasnya. Bayangan mulai menyelimuti tangannya. Begitu Bagastara akan menyerangnya, sebuah es terbentuk di udara dan melesat ke arahnya. Bagastara melompat mundur. Bagian perutnya sobek, tetapi dia tak peduli tentang itu.

Aku terperanggah. Tidak menyangka dia memiliki atribut es.

"Faiz. Kau membunuh dan mencuri satu skill orang yang kau bunuh secara acak. Siapa yang kau gunakan saat ini? Mellisa? Ice Spear?"

Mulutku terasa kering saat mendengar penjelasan Bagastara tentang Faiz. Lelaki itu masih dengan tenang melompat menghilang ke bayangan. Faiz menyerang membabi buta. Bangunan semakin runtuh dan samar-samar aku melihat Andira mengevakuasi penduduk dengan kekuatan [shield]nya.

Aku sendiri juga hendak melarikan diri saat Bagastara ternyata ada di belakangku.

Tangannya menyentuh kedua bahuku dan memaksaku melihat ke arah Faiz.

Suaranya terdengar mengerikan saat berbisik di telingaku. Suaranya seperti kegelapan yang menggoda.

"Lihat, hadiah yang akan kubawakan padamu, okay? Tidak perlu takut. Aku takkan membiarkan satupun serangan mengarah padamu."

Bagastara tak membiarkanku menoleh. Lelaki itu menghilang dari belakangku dan muncul di atas Faiz sambil memegang tombak hitam yang mengerikan. Faiz hampir tak mampu menyadarinya, tetapi dia berhasil membuat sebuah kubah untuk memberinya waktu menghindar sedikit. Tombak itu menembus kubah Faiz dan hampir membelas tubuhnya.

Serangan Bagastara tak selesai sampai di sana. Seluruh serangannya bersih tanpa menghancurkan sekitarnya. Semua kekacauan ini hanya berasal dari kekuatan Faiz.

Meski begitu, aku bisa merasakan perbedaan signifikan dari cara mereka bertarung. Faiz memang sangat kuat, tetapi serangannya melebar dan dia terus menyerang dengan membabi buta. Di sisi lain, Bagastara melakukannya dengan sangat rapi. Dia melompat menggunakan [Phantom step] dengan sangat presisi. Kekuatannya tidak besar, tetapi skill yang dia gunakan sangat efektif untuk menutupi perbedaan status mereka.

Selama pertarungan itu aku menyadari bahwa meski Faiz menggunakan beragam skill, dia tak menggunakan skill itu lagi untuk serangan berikutnya. Pasti ada semacam mekanisme cooldown. Meski begitu, skillnya terasa tak pernah habis. Hal itu membuatku berpikir tentang berapa banyak orang yang dia bunuh untuk mendapatkan semua skill itu.

Aku sendiri hanya mematung seperti orang sinting. Tak berani pergi karena perintah Bagastara atau mungkin juga karena aku terkesima menatap pertarungan itu.

Faiz pun semakin kehabisan peluru. Dia berteriak frustasi. Kepercayaan dirinya tercabik-cabik.

"Kesini kau sialan!"

Bagastara hanya tersenyum mencemooh. Dia berdiri di sisa-sisa dinding yang runtuh sambil mengangkat tangannya. Bayangan bergerak mencurigakan. Bersamaan dengan itu, reruntuhan mulai terangkat dan menghujani Bagastara seperti peluru. Dia hanya menggunakan bayangan sebagai perisai.

Bagastara menunjukkan ekspresi bosan. Tak lama kemudian Faiz melompat menyongsong. Senyumnya lebar seolah dia telah merencanakan itu sejak awal. Bagastara takkan bisa melihat Faiz dari perisainya.

Saat itu, jantungku terasa terpompa kuat, dan tanpa sadar aku berteriak, "Gas! Awas!"

Di saat itu, Bagastara justru melihatku dengan tatapan terkejut. Sebuah senyum terulas di bibirnya, tetapi itu terlalu cepat untuk kulihat hingga aku berpikir sedang berhalusinasi. Faiz mengayunkan tongkatnya pada perisai Bagastara yang tersingkat seperti memukul selimut. Angin berdesir kuat, tetapi Bagastara tidak ada di tempatnya.

Sebelum aku mencari Bagastara, lelaki itu berdiri di sebelahku sembari menggunakan kepalaku sebagai penyangga siku.

"Wah! Aku tersanjung karena kau mengkhawatirkanku."

Dengan jengkel aku menepis siku Bagastara.

"Gue tarik lagi kekhawatiran gue."

"Aku tidak menerima refund."

Merasa serangannya gagal, Faiz berteriak frustasi. Dia memukulkan tongkatnya ke lantai dan tanah pun bergetar. Kemudian dia menatapku tajam.

"Padahal hampir berhasil. Gara-gara kau!"

Bagastara tidak melepaskan topeng mencemoohnya.

"Memangnya kau benar-benar yakin rencana kekanak-kanakan itu akan benar-benar berhasil melawanku?"

Faiz berteriak murka. Tangannya menggenggam tongkat baseball erat-erat. Kekuatannya tiba-tiba meledak. Tak lama dia melompat dengan suara dentuman yang keras dengan tongkat yang siap memukulku. Akan tetapi, serangannya kali ini ditujukan padaku.

Belum sempat aku bereaksi, Bagastara melangkah maju dan menangkap tongkat baseball itu dengan tangan kanannya tepat di depanku. Aku tak bisa melihat ekspresinya, tetapi ekspresi ketakutan Faiz telah menjadi cermin yang sangat jelas untuk membayangkannya.

Bagastara menggumam dingin.

"Tidak. Tidak. Jangan yang ini!"

Aku bahkan belum mampu mencerna maksud kekuatannya saat tangan kiri Bagastara diselimuti bayangan hitam yang mengerikan. Samar-samar aku mendengar dia berkata, "[Panthom Soul]," lantas menghujam tangannya ke dada Faiz.

Faiz tak dapat bereaksi. Hujaman tangan Bagastara menembus jantungnya dan ketika dia menarik tangannya, dia membawa jantung yang berdarah itu bersamanya. Tubuh Faiz terjatuh, kejang-kejang sejenak, kemudian tak lagi bergerak.

Napasku terasa berat. Aku ingin melepaskan pandangan dari tubuh yang beberapa detik lalu masih berdiri dengan penuh percaya diri itu.

Bagastara membalikkan tubuhnya. Senyumnya lembut saat menyodorkan jantung yang berdarah itu padaku.

"Ini hadiah dariku sebagai simbol kesepakatan kita."

Astaga! Iblis macam apa yang baru saja membuat kesepakatan denganku?