Begitu keluar dari Kedai Hawk Eye, dua orang Makhluk Dunia Lain yang tadi masuk ke kedai menungguku. Mereka berbisik-bisik dan tanpa aba-aba menarikku pergi. Dengan sigap aku mencoba melarikan diri, tetapi ...
Perbedaan status sialan.
Pada akhirnya, aku tidak bisa melepaskan diri dari pitingan tanganku dan bahkan mendapatkan satu hadiah di wajahku. Mereka berdua menarikku ke sebuah gang dan orang-orang sialan yang melihat bahkan tidak mau membantu. Kalau saja ada orang yang akan memanggilkan penjaga ... ah tidak tidak, akan lebih baik jika Damar yang datang. Tapi aku tidak tahu kemana anak iutu
Mereka membawaku ke dalam bar yang sedang tidak beroperasi. Entah karena mereka mengambil alih tempat kosong ini atau ... okay. Aku akan berhenti memikirkan kemungkinan itu.
Seseorang sudah menunggu di sofa. Senyumnya terlihat ramah dan sopan. Pakaiannya seperti pegawai kantoran dengan usia yang tak lebih dari akhir 20an tahun. Tubuhnya tinggi dan meski tidak berotot terasa kuat. Rambutnya disisir rapi ke belakang dan kemeja putihnya tak tercela.
"Jangan memperlakukan rekan kalian seperti itu teman-teman!"
Rekan apaan yang tiba-tiba diseret ke mari? Aku menelan sarkasmeku.
Orang yang menahan melepaskanku dengan sedikit dorongan. Aku terhuyung-huyung sebelum menguasai diri. Ugh! Bahuku terasa kaku sekali. Dia memutarnya kuat sekali dan rahangku berdenyut-denyut. Aku mengusap darah di sudut bibir.
Lelaki itu berdiri dari tempat duduknya dan melangkah santai.
Gesturnya memang terlihat seperti orang yang ramah, tetapi entah kenapa, perasaan bahaya yang merambati tulang punggungku tidak mau hilang. Aku merasa seperti berdiri di depan serigala alih-alih manusia yang tersenyum ramah.
Laki-laki itu berdiri di depanku. Tangannya terulur.
"Maafkan mereka, Dik. Mereka masih terlalu muda. Namaku Bagastara Dinarya. Kau pasti Makhluk Dunia Lain juga, kan?"
Aku ragu-ragu sejenak. Akan tetapi, tekanan tak tertahankan itu membuatku mundur. Tanpa sadar, aku mengaktifkan [Eyesight] untuk pertahanan diri terakhir. Akan tetapi, itu adalah langkah yang salah. Status yang terpampang pada Bagastara begitu tinggi.
Strength : 400
Agility : 678
MP : 300/300
Durability : 350/350
Stamina : 478/478
Exp : 1299
Skill
[Slaughter Man] [Merciless] [King of Dead Body] [King of North Grassland] [Jack The Ripper] [Phantom Soul] [Phantom step]
Seketika itu juga aku melangkah mundur. Kakiku tersandung dan terjatuh. Tubuhku gemetar. Rasa takut saat melihat dan menyadari apa saja kekuatan dan perbuatannya selama ini membuatku membeku. Saat itulah mata Bagastara yang ramah berubah menjadi begitu dingin. Dia mencengkram daguku.
Perasaan takut itu membuat Bagastara terasa begitu besar.
Astaga! Astaga! Astaga!
Bagastara tersenyum, tetapi jantungku terasa seperti ditusuk pedang.
"Kalian keluar!"
"Tapi!"
"Apa kalian berpikir dia bisa melawanku?"
Tiga orang itu saling pandang dan mengikuti perintah Bagastara tanpa memprotes lagi.
Senyum Bagastara semakin melebar. Dia menarik wajahku kembali saat aku mengikuti ketiga orang itu keluar.
"Matamu. Aku mau matamu."
Aku meneguk ludah. Rasa takut yang menggerogoti tulang punggungku membuatku lemas. Orang ini pintar. Hanya dengan melihat sekilas saja dia tahu kemampuanku atau setidaknya menebaknya dengan benar. Melihat itu, Bagastara tertawa.
"Tentu saja aku takkan membunuhmu. Kamu menjadi mataku. Skillmu bisa melihat kemampuan orang lain atau sesuatu, kan? Melihat sikapmu saat dibawa Tio, kau bukan penakut. Hanya [Hunch] takkan membuatmu setakut ini. Katakan padaku! Apa skillmu?"
Rasa takut itu membuatku ingin membuka mulut dan membeberkan semuanya. Akan tetapi, aku menggigit bibir kuat-kuat.
"Dik, katakan saat aku masih bersikap baik!"
Aku memaksakan senyum merendahkan. "Ogah."
Tiba-tiba saja, Bagastara meraih leherku dan menarikku berdiri.
Dia berbisik, "Kau tahu Jack The Ripper, kan?"
"Lo nggak bakalan bunuh gue."
Sebelah alis Bagastara terangkat.
"Kalau kau sepercaya diri ini, berarti kemampuanmu besar. Skill, status? Seberapa akurat?"
Cekikannya mengerat. Bahkan setelah aku mencoba mencakar dan melepaskan diri, satu tangan itu tetap mencengkram tanpa ampun. Tidak cukup untuk membunuhku memang, tetapi aku tetap merasa sesak. Dengan gusar aku terus meronta.
"Seberapa akurat, Dik?"
"Strengh dan Nama skill."
Cengkramannya mengerat. Matanya terasa sangat dingin.
"Tidak beguna dong?"
Tidak. Tidak. Tidak.
Aku melenguh. Napasku mulai habis dan kepalaku terasa akan meledak. Aku meronta lebih kuat.
"Semua status hingga EXP. Skill hanya namanya. Cuma itu. Sumpah!"
Senyum Bagastara melebar, kemudian dia menjatuhkanku.
Aku terbatuk-batuk dan memegangi leherku yang panas. Cengkraman tangannya pasti tercetak di leherku.
"Bagus," katanya puas. Dia bahkan bertepuk tangan. "Bagus sekali. Tak kusangka aku akan mendapat harta karun di sini. Siapa namamu, Dik?"
Aku diam saja.
"Kalau kau tidak memberitahuku, aku tinggal memberimu nama baru."
"Randy," tukasku. "Gue Randy."
"Oke Randy. Kamu jadi mataku. Kau akan memberitahuku skill dan status lawan dan kau akan terus ada di sebelahku. Kalau kau kabur, meski sebenarnya mustahil, aku akan memotong kaki kirimu. Kalau kau kabur lagi, aku akan memotong kaki kananmu. Tenang saja! Aku akan langsung mengobatinya dan menggendongmu kemana-mana bila kau membutuhkannya."
Ucapannya terdengar tidak masuk akal, tetapi ekspresi dan kegilaannya membuatku berpikir dia benar-benar akan melakukannya. Aku harus melarikan diri, tetapi ancaman itu membuatku membeku. Aku tidak mau mengangguk. Aku tidak mau ada di dekatnya.
"Randy, kau tahu, kau tak punya pilihan selain menurut, kan? Atau kau masih menyembunyikan ...."
Tiba-tiba saja pintu itu terbuka kasar. Salah satu orang yang keluar tadi terlempar masuk. Damar masuk dengan dagu yang terangkat. Di tangannya, sudah ada pedang emas yang dia tinggalkan di kereta. Saat melihatku, dia berdecak. Kok dia setidak suka itu sih melihatku?
"Aku baru meninggalkanmu satu jam dan kamu sudah membuat masalah, Ran?"
Rasa aman itu tiba-tiba membuatku mampu bergerak lagi. Perlahan aku bergerak mundur. Bagastara yang melihatku hendak pergi, akan meraihku kembali, tetapi rantai Damar mengikat pergelangan tangannya.
Tanpa membuang waktu, aku segera pergi ke tempat Damar berdiri. Di luar sana, dua orang lain sudah tak sadarkan diri.
Ekspresi Bagastara yang dingin membuatku merinding, tetapi Damar masih saja bersikap tenang.
"Gelombang rasa takut?" tanyanya ringan. "Maaf mengecewakanmu. Tapi itu tidak mempan padaku."
Bagastara menyeringai. "Ah! Kau sepertiku."
"Memalukan bila dianggap sepertimu."
Damar menghela napas. Dia melirik padaku sekilas.
"Kalau melihat betapa dia menginginkanmu, orang ini pasti tahu kemampuanmu, ya? Kan sudah kubilang jangan menggunakan kemampuanmu untuk melihat skill orang lain." Dia menghunuskan pedangnya. "Jangan bergerak, Pak!"
"Randy kemari!"
Perintah Bagaskara terasa begitu dingin. Aku menahan diri untuk tidak pergi dan mengikuti perintahnya.
"Ran, apa skillnya?"
"Dari atas, 400, 678, 300, 350, 478, 1299 [Slaughter Man] [Merciless] [King of Dead Body] [King of North Grassland] [Jack The Ripper] [Phantom Soul] [Phantom step]."
Damar berdecak jijik. "Gelap banget."
"Aku bisa mencincang kalian sekarang kalau mau."
Damar tersenyum menantang. "Coba saja sini."
"Mar!"
Tiba-tiba saja Bagaskara melompat. Di tangannya kekuatan hitam berkumpul. Aku mendapat kesan kami takkan bisa menghindar, tetapi tiba-tiba saja Damar mengeluarkan banyak sekali rantai untuk menjerat Bagaskara. Akan tetapi, rantai itu pun hancur satu persatu.
[Golden Cage]
Damar dengan sigap meraihku dan melarikan diri. Dia tidak menoleh dua kali, hanya berkata, "Jaga punggungku!"
Namun, Bagastara tidak mengejar. Begitu keluar dari penjara emas itu, dia hanya melihatku melarikan diri.