TERBANGUN dalam kondisi lemas, Apo penasaran apa yang sudah terjadi. Mimpi semalam rasanya terlalu nyata, bahkan detail-detail kejadiannya. Apo linglung, pusing, dan nge-blank total cukup lama. Baru pukul 4 pagi sudah tersadar, membuatnya pegal-pegal hebat. Apo pun memijit bahunya sendiri. Setelah mendingan baru turun dan mandi, dandan untuk persiapan. Lagi-lagi matanya merah akibat kurang beristirahat. Masih untung kali ini tidak kesiangan.
Sangking paginya Apo tidak menemukan siapa pun di lantai bawah. Matahari belum muncul dan langit masih begitu gelap gulita. Pamitan pun tidak, karena Apo mendadak ingin sendiri. Dia cemas melihat darah meluber di dalam mimpi karena terlalu banyak. Siapa sebenarnya kedua korban pembunuhan? Apo sungguh ingin tahu. Tapi jika memang orang asing, tidak mungkin kan memiliki panggilan "Ayah" dan "Ibu?"
Apo sangat takut menerima kenyataan bahwa Nara--nama wanita yang membawa pisau merupakan sosok ibu yang selama ini dia kasihi. Karena kecintaan Apo terlalu dalam, dan hanya untuknya lah Apo selama ini berjuang.
Menjadi buruh pabrik sejak putus sekolah SMA. Menjual motor untuk mengabulkan keinginan Nara berjualan kue di pasar. Mulai membeli ruko, bahan, alat, sekaligus cadangan untuk memberikan kembalian. Apo bahkan hanya mengambil sejumlah uang, demi membeli ponsel ram kecil karena itulah yang dia jadikan pegangan stress setiap hari.
Dalam kegundahan Apo pun berharap dia kembali ke dunia nyata secepatnya. Tidak lain tidak bukan adalah untuk bertanya kepada sang ibu soal ini.
Apa hanya mau dengar jawabannya.
Apo hanya ingin tahu kenyataannya.
Apo tak berharap orangtuanya masih hidup, karena kejadian itu sudah terlalu lama.
Toh Apo tak ingat jelas wajah mereka berdua. Hanya saja hati Apo memang begitu terluka. Sekian tahun Apo hidup untuk merawat orang yang salah. Dia tak menangis sepanjang jalan, namun perasaannya hampa.
[Tuan Nattarylie?]
[Apa Anda baik-baik saja?]
[Kenapa diam saja sejak tadi?]
Apo mengabaikan sistem dan menatap keluar jendela kereta. Dia menanti sunrise muncul, berharap perasannya semakin membaik. Namun sepertinya itu hanya muncul dalam ekspetasi.
Sistem bilang challenge level-8 harusnya tak susah amat, sebab berbahasa asing termasuk skill tertinggi Nattarylie. Apo tinggal mengaktifkan panel jika ingin memahami dialog para penguji, begitu pun dia kala bicara kepada mereka. Namun, sangking kacaunya pikiran dan hati Apo, dia kesusahan fokus ke setiap pertanyaan. Apo tidak gagap, tapi jawabannya tak nyambung semua.
Padahal linguistik merupakan poin penting untuk ratu menjalin hubungan antar bernegara, memimpin rapat, pertemuan tertentu, begitu pun saat perjamuan inti dalam badan diplomatik.
Apo kacau, dan ingin cepat-cepat pergi saja. Pada jam makan siang dia makan dua suap sebelum muntah-muntah di toilet. Suaranya kencang sekali. Anxiety rupanya mulai menyerang, padahal Apo merasa baik-baik saja.
[Anda sakit ya, Tuan Nattarylie? Saya bisa berikan obat untuk meringankan gejala mual]
[Oralit ya? Tapi pertama-tama tarik napas yang teratur dulu]
[Pelan ... pelan ....]
Lelaki carrier itu justru mengayunkan tangan seperti gerakan mengusir. "Tidak perlu, sana. Aku sepertinya hanya butuh udara segar."
[Aduh, Tuan]
[Tolong jangan membuat saya khawatir. Anda benar-benar butuh minuman seperti ini]
Gelas oralit yang dimunculkan hanya dipandangi Apo. Dia keluar begitu saja, meninggalkan sesi bonus level usai diberitahu kalah dalam challenge dialog multi-bahasa.
[TUNGGU, TUAN?!]
[Yakin tidak mau hadir?!!]
[Permainan golf kan favorit Anda!!]
[Tuan Natta--]
"JANCOK!! MINGGIR KAU!!" maki Apo di sepanjang jalan. "HOBIKU NGE-GAME, ANJING!!! AKU APO BUKANNYA NATTARYLIE!! DIA FIKTIF! CUMA FIKTIF! AKU TIDAK SEHARUSNYA BERADA DI SINI! ARRRGGGGHHHHH!!"
Si manis menerjang gerbang kastil Del Monte, dia kabur tanpa kereta, melainkan satu kuda yang dilepas dari barisan para pengawal. Mereka telat menahan Apo yang sudah melompat naik. Halaman kastil jadi landasan terbaiknya seraya berteriak kasar. "HAK! HAK! HAK! AYO PERGI!" katanya sambil menggebuk kuda. "CEPAT! CEPAT! CEPAT! CEPAT! AKU BENCI BERADA DI SINI! AYOOOOOOOOO! LEBIH CEPAAAAATT!!" Oktaf suaranya dipenuhi emosi gelap.
Para pengawal segera menyusul dalam ketakutan. Bagaimana pun Nattarylie adalaha anak bangsawan dari keturunan lurus yang darahnya dekat. Mereka gaduh memanggil-manggilnya sepanjang jalan. Di sisi lain Raja Millerius menoleh tak nyaman karena tempat player Apo kosong. "Zelina, kemana dia?" bisiknya kepada sang tangan kanan. "Kenapa belum datang juga? Perasaan tadi berada di ruang makan. Coba cek."
"Baik, Yang Mulia."
Sang dominan pun menoleh lagi ke sisi lain. Phillip dan Phelipe yang baru hadir, menandakan situasi sebelumnya masih terkendali. Diam-diam dia mengepalkan tangan di balik balkon yang menghadap field golf. Sulit sekali untuk tenang di saat seperti ini. "Ayolah, Natta," batinnya. "Jangan membuatku terjebak dengan si Gavin. Nilai dia yang tertinggi sekarang. Masih banyak waktu, tapi kau harus tetap mengunggulinya ...."
Tidak lama kemudian dua dayang memanggil Raja Millerius untuk berganti baju olahraga. Di sesi ini dia ikut lagi untuk memberikan contoh di awalan. Golf memang bentuk keterampilan untuk bersantai para bangsawan. Untuk itulah yang diundang menonton pun hanya perwakilan keluarga para player. Bisa orangtua, paman, atau sanak kerabat yang dekat. Namun Phillip dan Phelipe pun baru sadar bahwa bayi mereka tertinggal.
"Ayah, Bayi mana?" tanya Phelipe sepelan bisikan. Dia gelisa menarik-narik lengan baju sang suami. Harusnya kabar buruk hari ini sudah cukup dengan kelakuan Nattarylie yang penuh kejutan tadi pagi.
"Tidak tahu, Bu. Tenang dulu. Ayo tunggu sampai dia ikutan kemari. Toh Yang Mulia baru dibawa masuk, kan? Keluarga kita masih punya kesempatan," kata Phillip berusaha kalem, padahal taraf kecemasannya sama besar dengan sang istri tercinta. Tidak biasanya Nattarylie kucing-kucingan sehari penuh, padahal si bayi cantik tak pernah gesrek sebar-bar apapun attitude yang dimiliki.
"Ugh, Bayi ...." Phelipe mulai bersandar ke bahu di sebelahnya. "Ayolah, Sayang. Jangan nakal selama persaingan saja. Ini penting untuk masa depanmu, Cantik. Ya Tuhan ...."
Wanita itu mendapat usapan lembut di bahu, padahal Phillip sendiri butuh ketenangan yang meyakinkan bahwa anak mereka tak terjebak masalah di luar sana. "Tunggu, apa Natta masih kepikiran soal posisi istri dan ratu?" batinnya heran. "Anakku sengaja kalah atau bagaimana? Perasaan dia tak sesembrono itu."
Lima menit kemudian Raja Millerius pun kembali keluar. Dia gabung ke lapangan dalam kondisi rapi nan paling tampan dalam seragam olahraga. Di genggaman ada tongkat golf yang baru saja buka segel. Sambil diiringi Ayahanda dan Ibunda agung dari belakang, dominan itu benar-benar tampak berkharisma sekali. Mungkin karena orangtua ikut hadir dalam challenge untuk pertama kalinya. Sang raja harap mereka tahu kebolehan Apo, tapi si empunya tidak ditemukan hingga sesi selesai.
Lagi-lagi Gavin lah yang memenangkan.
Mau tak mau Raja Millerius harus bertemu dengannya di balai pengumuman pada sore hari. "Bukan Natta, bukan," batinnya kesal. "Lagi-lagi bukan dia yang ada di sini." Dia tetap menyembunyikan ekspresi itu sebaik mungkin. "Baiklah, Gavin. Kau ingin melakukan apa malam nanti?" tanyanya, walau perasaan sudah terburai-burai di nampan reward. "Silahkan pilih salah satu, hm? Kuharap kau tetap menikmati perjalanan bersamaku seperti sebelumnya."
"Hehe, Baik, Yang Mulia," sahut Gavin seraya mendekat ke nampan paling kiri. Dia mengambil amplop di dalamnya sambil senyum-senyum. Seperti arahan sistem Keluarga Bernett, Gavin pun mengangguk berterima kasih. "Saya mau dinner di Louvre kalau begitu. Siapa tahu menu di sana enak semua."
"Oh .... ya."
"Sekalian meminta review Anda, boleh kan?" tanya Gavin. "Saya yakin Anda tahu varian yang wajib di coba nanti. He he he."
Tatapan Raja Millerius pun meredup. Tak tahu mengapa carrier di hadapannya seolah ingin menghapuskan segala kenangan dengan sosok yang telah membawa hatinya pergi.