Calvino tampak mengusap kasar wajahnya. "Hal itu terus yang kau bahas. Apa kau tidak bisa berfikir positive sedikit saja, hah? Kecurigaan mu yang berlebihan telah membuat keluarga kafeel harus menelan rasa malu dari kelancangan mu ini, Nona Lenata."
"Sikap mu lah yang memaksaku berfikir negative tentang mu dan mengambil tindakan seperti itu. Jadi, jangan pernah menyalahkanku."
"Alasan mu melakukan hal tersebut bukan berdasarkan pada sikapku, akan tetapi keegoisan mu!" Penuh penekanan pada setiap kata.
"Bukan aku yang egois tapi, kau lah yang egois. Lihatlah, akibat dari wanita pelakor. Kau pun berubah menjadi sangat kasar padaku dan menyalahkanku atas semuanya."
"Kau!" Geram Calvino hingga sebelah tangan sudah mengayun di udara.
"Kenapa berhenti, hah? Tampar aku, Vin! Tampar!"
Bibir kokoh tampak mengulas senyum smirk, bersamaan dengan itu berjongkok dengan bertumpukan pada salah satu kaki. Sebelah tangan terulur mencengkeram rahang. "Dengarkan aku, Lena. Aku tidak pernah ingin berbuat kasar tapi, kelancangan mu lah yang telah memaksa-"
"Semua itu karena kau memperlakukan ku dengan tidak hormat. Di depan orang tua mu sendiri kau bersandiwara seolah - olah aku ini wanita asing."
"Itu semua ku lakukan karena aku memang belum siap memperkenalkan mu sebagai kekasihku."
"Lalu, kapan kau akan merasa siap, hah? Kita sudah menjalin hubungan selama bertahun - tahun lamanya. Apa semua itu belum cukup mayakinkan mu."
Calvino tidak menjawab. Dia tertegun bermanjakan wajah Lenata yang menyirat kelukaan berbalut kesedihan mendalam.
Saat ini pun Calvino tengah berdiri didekat jendela dengan bersedekap dada. Sama sekali tidak ada yang menarik di depan sana, akan tetapi tatapannya tampak lurus ke depan. Sementara itu, Lenata terus msnghujaninya dengan tatapan penuh kebencian.
"Sampai kapan kita harus saling diam seperti ini, hah?"
Calvino langsung menolehkan wajahnya, menghujani Lenata dengan tatapan dingin. "Memangnya apa yang perlu kita bahas, hah? Sudah tidak ada lagi yang perlu untuk kita bahas. Aku tahu bahwa ini akan terdengar sangat menyakitkan. Tetapi harus ku katakan bahwa aku lelah. Bahkan sangat lelah dengan hubungan kita."
"Jika kau lelah lalu, bagaimana denganku, hah? Aku lebih lelah."
Calvino mendekat kemudian merengkuh pundak ramping membawa Lenata untuk berdiri sejajar dengannya. Dirangkumnya pipi kemudian dikecupinya kening dengan kecupan dalam dan lama.
Setelahnya ditatapnya Lenata dengan tatapan yang tak biasa. "Dengarkan aku, Lena. Sekarang ini sudah saatnya kita saling merenung, saling berbenah supaya tidak ada lagi yang saling menyakiti."
"Apa maksud dari perkataan mu ini?" Tanyanya dengan suara bergetar bercampur dengan isak tangis.
"Kita sudah sama - sama dewasa. Tentunya segala sesuatunya tidak perlu untuk dijelaskan secara mendetail."
"Tidak, aku tidak mau hubungan kita berakhir! Jangan kau fikir kau bisa meninggalkanku begitu saja setelah menikmati ku."
"Menikmati apa, huh? Jangan kau lupakan satu hal bahwa aku tidak pernah menyentuh mu selain hanya ciuman dan pelukan. Dengarkan aku, Lena. Aku tidak mengatakan bahwa hubungan kita berakhir. Hanya saja kita perlu waktu sendiri - sendiri untuk saling membenahi diri. Kalau seperti ini terus maka, yang ada satu sama lain akan terus merasa tersakiti. Dan aku tidak mau menjadi lelaki seperti itu. Kau tentu paham dengan maksudku, kan?"
Lenata tidak menjawab. Dia memilih diam dengan menutup rapat bibirnya.
Hembusan nafas lelah tampak mengiringi deru nafas Calvino. Meskipun begitu tak pernah menunjukkannya di depan Lenata. Diusapnya puncak kepala Lenata dengan gerakan sambil lalu mengiringi langkah kaki meninggalkan apartement nya. Meninggalkan Lenata yang masih saja menghujaninya dengan tatapan penuh luka.
🍁🍁🍁
Semenjak pertengkaran malam itu telah membuat Calvino - Lenata tak lagi saling berbicara. Meskipun begitu Calvino masih bersikap dengan sangat baik mau mengantarkan Lenata ke bandara untuk kepulangannya ke London.
"Hati - hati dan jaga dirimu baik - baik." Sembari mengusap puncak kepala dengan penuh kelembutan. "Masuklah!" Pintanya pada Lenata untuk segera masuk ke dalam pesawat jet yang sudah dengan setia menungguinya. Sayangnya, Lenata seperti tak mendengar sehingga masih saja berdiri mematung.
"Apa kau tidak mendengar yang ku katakan? Masuklah!" Nada suaranya terdengar dingin sedingin tatapan yang dia lemparkan.
Sedih? Tentu saja!
Selama ini manik coklat tak pernah menghujaninya dengan tatapan sedingin itu.
"Lena, apa kau tidak mendengar yang ku katakan? Masuk!" Geram Calvino.
Lenata tampak menunduk dengan meremas jari jemari. Tidak tega bermanjakan kesedihan menyelimuti wajah cantik telah memaksa Calvino merengkuh tubuh ramping ke dalam pelukan.
Dikecupinya puncak kepala Lenata dengan penuh kelembutan. "Masuklah! Jaga dirimu baik – baik." Bisiknya dengan tetap memeluk erat seolah inilah pelukan terakhir yang dia berikan kepada Lenata.
"Apakah setelah ini kita tetap bisa saling berkirim pesan dan juga telepon?"
Pertanyaan yang baru saja Lenata layangkan telah membuat pelukan terlepas. Calvino tampak melirik pada arah jarum jam dipergelangan tangan. "Sebentar lagi aku ada meeting dengan, Mr. Emran. Aku tak punya banyak waktu. Aku harus segera pergi." Bersamaan dengan itu berbalik hendak menuju mobil kesayangan.
Sayangnya, belum juga satu langkah gerakannya terpatahkan oleh rasa hangat yang melingkari punggung kekar. Saat ini pun Lenata telah memeluknya dengan sangat posesif. "Aku pasti akan sangat merindukan mu."
"Hh mm," hanya deheman itulah yang mengiringi pergerakan bibir kokoh sebelum melepas lengan ramping yang melingkari pinggangnya dengan sangat posesif.
Meskipun Calvino merasa tak tega pada wanita cantik yang sudah bertahun – tahun lamanya bersedia mendampinginya, akan tetapi kelancangan Lenata yang telah dengan sengaja mempermalukan keluarga Kafeel juga tak bisa dia terima begitu saja.
Langkah tegas semakin lebar menuju mobil kesayangan. Tanpa menolehkan wajahnya terlebih dahulu ke arah Lenata, dia pun langsung menyembunyikan diri di antara badan mobil. Sedetik kemudian mobil keluaran baru tersebut melaju dengan kecepatan tinggi.
Sementara itu Lenata masih saja menguncikan tatapannya ke arah yang sama meskipun mobil Calvino sudah tak lagi terlihat. Entah sudah berapa lama dalam posisi seperti itu, yang jelas suara bariton telah membawa kesadarannya kembali. "Silahkan masuk, Ms. Lenata. Sorry, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan semua ini sesuai dengan perintah, Mr. Calvino."
Sama sekali tidak ada satu patah kata pun yang mengiringi pergerakan bibir Lenata. Langkahnya terlihat gontai menuju badan pesawat. Kesedihan masih saja menyelimuti wajahnya. Sama sekali tak ada gairah selain tatapan kosong yang dia buang ke arah jendela. Dan tanpa dapat tertepis air mata masih saja setia mengalir deras membasahi pipi putih mulus.
Entah bagaimana Lenata akan menjalani kehidupannya setelah ini. Yang jelas untuk saat ini dia tidak ingin hidup lagi tanpa kehadiran sang billionaire disisi.
🍁🍁🍁
Next chapter ...
Hai, guys!! Terima kasih ya masih setia menunggu kelanjutan dari cerita Calvino. Dukung selalu dengan memberikan power stone atau komentar, karena itu sangat berarti untuk kelanjutan dari cerita ini. Peluk cium for all my readers. HAPPY READING !!