webnovel

The Guardians : Seeker

Untuk pertama kalinya Bumi mengalami pergolakan pertamanya. Bermula dari peristiwa hujan meteor, satu demi satu bencana mulai berdatangan membawa manusia ke sebuah kenyataan pahit. Ketika manusia beranggapan semuanya sudah berakhir mereka datang bergerombol layaknya lebah memusnahkan setiap manusia yang mereka temui. Entah untuk menjawab doa manusia, satu demi satu manusia membangkitkan sebuah kemampuan. Berbekal kemampuan baru yang ada manusia melawan balik mengambil setiap kesempatan untuk bertahan hidup. Apakah ini akhir dari malapetaka mereka atau awal dari mimpi buruk, tidak ada yang tahu.

Dre_Am · Fantasia
Classificações insuficientes
18 Chs

Event?

Bahr, dia adalah yang termuda dari kami dan juga yang paling pendek. Dia cukup gemuk namun itu tidak menghentikannya untuk bergerak dengan cekatan. Sama seperti Audrey yang memiliki warna rambut yang unik, Bahr memiliki rambut yang berwarna biru laut. Mungkin dia akan terlihat tampan dengan rambut pendek biru lautnya jika dia tidak gemuk.

Memandang mereka berdua aku merenungkan betapa cepatnya dunia berubah. Dulu, ketika pertama kalinya kita bertemu warna rambut mereka berdua masih sama dengan orang pada umumnya yaitu hitam. Dari kelihatannya perubahan itu akibat dari kemampuan yang mereka dapatkan.

"Ayo, gendut. Kemarilah!" Melihat penyelamatku tiba bagaimana mungkin aku melepaskan dia dari genggamanku ketika tatapan tajam itu masih di arahkan padaku.

"Ayolah Bos, bisakah kau tidak memanggilku gendut." Mengeluh, dia mengambil tempat duduk dan memandangku.

Melirik tubuh gemuknya, "kita akan membicarakannya lagi saat kamu jauh lebih kurus." Berhenti sejenak, "bagaimana dengan para penyintas itu?"

Melihat sekilas di arah itu, Bahr berkata, "mereka sekarang sedang istirahat. Dan saat kubilang ada kemungkinan bala bantuan, mereka terlihat lega. Tapi..." Melirikku, dia melanjutkan, "orang-orang tua mengatakan bahwa..."

Melambaikan tangan, aku memotong kalimatnya, "An sudah memberi tahuku."

"Oh, itu bagus," menghela nafas, Bahr terlihat lega seolah terbebas dari beban.

"Kesampingkan itu." Meluruskan posisi, aku berkata, "aku yakin Abir telah memberi tahu kalian," melirik Tempo. "Yah.., kecuali Tempo. Jadi aku akan mengulanginya lagi."

Melihatku sudah masuk mode serius, mereka mendengarkan dengan seksama.

"Ada kemungkinan besar kalau lawan kita memiliki kecerdasan dan sebagian dari kalian juga sudah tahu itu," memandang mereka. "Tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Aku khawatir bagaimana jika mereka bisa menggunakan taktik."

Mengambil nafas, "karena itu, aku ingin kalian bertiga." Memandang Abir, Bahr dan juga Audrey. "Tetap bersama mereka, para penyintas itu sementara kami bertiga akan mengulur waktu agar kalian bisa melarikan diri. Apapun yang terjadi jangan sampai meninggalkan mereka."

Menatap Audrey, aku mengulanginya dengan serius "ingat ini apapun yang terjadi."

"Hmph." Mendengus, dia memalingkan wajahnya dariku.

Memandang Audrey dengan tatapan lembut, aku berkata secara perlahan, "aku mengatakan itu hanya untuk mengantisipasi jika keadaan darurat terjadi."

Merasakan empat tatapan yang diarahkan padaku, aku menengok dan melihat mereka berempat memiliki wajah penuh seringai.

"Ehem," berbatuk kecil, aku melototi mereka dan melanjutkan. "Jika dugaanku salah maka seperti biasa, aku dan An akan di depan. Tempo dan Bahr mendukung kami, An dan Audrey tetap bersama para penyintas."

Berhenti sejenak, aku menatap mereka. "Sesulit apapun situasinya, jangan pernah terpisah dari kelompok. Bahkan jika itu terjadi, kalian harus memiliki orang yang menutupi punggung kalian."

Merenung sejenak, aku memandang Abir. "Sudahkah kamu mencoba memindai sekeliling."

Mengangguk, Abir menjawab. "Sudah. Tapi belum ada kelainan yang ditemukan."

"Terus coba, jika ada kelainan sekecil apapun, " melirik Audrey, aku melanjutkan. "Laporkan pada Audrey."

Merengut, Audrey mengangguk dengan pelan.

"Baiklah itu saja, selain yang berjaga semuanya istirahat." Menyelesaikan makanan, aku meregangkan tubuhku.

"Bos, bagaimana dengan orang-orang tua itu." Khawatir, Bahr bertanya.

"Bala bantuan akan tiba besok pagi." Abir menjawab dengan tatapan mendalam mencoba menahan seringai di wajahnya.

"Bala bantuan?" Curiga, Bahr melihat Abir, Tempo, dan An yang memiliki wajah penuh seringai.

"Ah..., jadi itu.." sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Abir melototinya. Bahr segera sadar dan menutup mulutnya, namun setelah beberapa saat tidak ada tanggapan.

Bingung, mereka mengalihkan pandangan, hanya untuk melihatku termenung dengan alis berkerut sambil memandang ke arah para penyintas. Audrey bagaimana manapun juga ikut merenung sambil melihatku.

Mereka saling menatap dengan isyarat di mata mereka. Bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

Melihat mereka berdua masih terpaku di tempat. Abir mengisyaratkan dengan tangannya untuk menjauh, meninggalkan kami berdua sendirian.

Setelah mereka pergi, aku menatap Audrey. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Menatap balik, Audrey tersenyum dan membalas. "Bagaimana denganmu?"

Melihat ke langit, aku membalas dengan lembut. "Haaah. Kamu tahu, tidak selalu baik untuk menjadi pintar."

Audrey menyandarkan kepalanya di bahuku, dan membalas. "Kamu juga harus mengerti. Semakin bodoh kamu, semakin dekat kamu dengan kematian."

Meliriknya, aku bertanya. "Lalu, kenapa kamu tidak memberitahuku, siapa aku."

Bangun, Audrey menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Sepertinya aku tidak bisa menipumu."

"Kamu pikir dengan perilaku kalian yang selalu ricuh, aku tidak bisa tahu." Dengan wajah poker, aku menyindirnya secara halus.

"Haha." Menutup mulut, Audrey tertawa kecil dan membalas. " Z, tidak mudah bagi kami wanita menang dari kalian laki-laki apalagi jika kami sendirian."

Menatap matanya, aku tetap diam menunggu jawabannya.

Melihatku masih diam, Audrey meraih tanganku dan menggenggamnya. "Z, kamu harus tahu, bagaimanapun juga aku tidak bisa memberitahumu bukan karena aku ingin."

Diam sejenak, Audrey melanjutkan. "Dan itu sama untuk Eira. Meskipun kami selalu bertengkar di setiap kesempatan, aku tahu dia tidak akan pernah melukaimu tidak peduli seberapa besar kebencianku terhadapnya."

"Aku tahu kamu dan Eira tidak akan pernah melukaiku, tapi." Merasa berkabut dalam pikiranku, aku melanjutkan. "Aku selalu merasa bahwa aku harus mencari tahu siapa aku sebenarnya, rasanya ada sesuatu keinginan di dalam diriku yang mencoba mendorongku untuk mencari tahu siapa aku, dan akhir-akhir ini keinginan itu terasa semakin kuat."

"Z!"

"Hah?!" Tertegun, aku melihat ke Audrey, bertanya-tanya mengapa dia berteriak.

"Kamu pasti akan mengingat siapa kamu, dan kurasa itu tidak akan jauh lagi." Masih memegang tanganku, Audrey berkata dengan tulus.

"Yah kamu benar." Memandang langit, aku sedikit curiga kenapa pikiranku sedikit kabur tadi.

Pada saat itu juga, aku tidak tahu bahwa ketika aku masih termenung, Audrey menutup matanya terlihat kesakitan dan dia bergumam pelan, "dan aku harap kamu akan tetap tegar."

"Apa itu?"

Menjauh, Audrey membelakangiku dan berkata. "Bukan apa-apa."

Berbalik, Audrey membungkuk ke arahku, dia menggenggam tangannya sendiri di belakang punggungnya dan tersenyum. "Kapten, kurasa kamu harus beristirahat untuk mempersiapkan pertunjukan yang akan datang."

Berdiri, aku tersenyum padanya. "Yah, kamu juga harus beristirahat."

...

Di suatu tempat tidak jauh dari sana. Sekelompok orang duduk di sekitar api unggun. Mereka memiliki satu kesamaan, setiap dari mereka memakai jubah hitam dengan simbol di dada mereka, simbol itu tampak seperti tangan iblis yang mencoba mencengkeram sesuatu.

"Cruel, kenapa kamu menghentikan kami untuk membunuh mereka!" Salah satu dari mereka berteriak dalam ketidakpuasan.

Tiba-tiba, orang yang dipanggil Cruel merentangkan tangan dan mencengkeram lehernya. "Ini perintah Anak Neraka, apakah kamu yakin ingin menentangnya."

Cruel menatap tajam ke arah mereka, mengencangkan cengkeramannya. " apakah kalian yakin?"

Setelah momen hening, salah satu dari mereka berdiri dan menggenggam tangan Cruel yang sedang mencengkeram leher salah satu orang mereka. "Cruel, Yang Mulia Anak Neraka, memerintahkan kami berlima untuk menangani misi ini. Bukan untuk saling bertengkar di antara kalian sendiri."

Mendengus, Cruel membuang orang itu layaknya sampah. "Anggap dirimu beruntung."

Bang!

"Ugh, Cru..!" Merasakan sakit di sekujur tubuhnya, orang itu berteriak dan ingin membalas.

Swish

Tiba-tiba, tanpa peringatan apapun, sebuah belati bergerak cepat menyerempet pipi kirinya.

"Jason, ini hanya peringatan, lain kali itu akan menjadi lehermu. Dan terakhir jangan pernah merujuk 'kami' dalam tindakanmu."

"Y..ya, Vile." Terpaku di tempat, Jason berkeringat dingin di punggungnya. Dia yakin kali keduanya dia pasti akan mati.

"Cruel, Anak Neraka mengirim pesan, dia memberi perintah untuk kembali." Orang terakhir dari mereka angkat bicara.

Cruel meliriknya dan berkata, "sudah ditemukan?"

"Ya. Jadi apa selanjutnya Cruel, kau pemimpinnya di sini."

Melihat mereka, Cruel mengerut kening. "Perubahan rencana, kita kembali sekarang sesuai perintah. Hubungi Kanna perintahkan dia kembali."

"Oh, ini tidak sesuai dengan sikapmu. Cruel yang terkenal akan kekejamannya, mencoba menjauh dari pertempuran." Vile terkejut dengan tindakan yang diambil Cruel. Merenung sejenak, Vile berkata. "Siapa itu. Apakah pria itu?"

Cruel tersenyum dengan muram. "Jika hanya pria itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan."