webnovel

The Eternal Love : Raja Chandra

[Bab 215 sampai seterusnya akan direvisi secara berkala oleh penulis] Perjalanan hidup Chandra, calon Raja Mahaphraya dari sebelum lahir sampai menemui cinta abadinya. Dia adalah pria nakal yang bertemu dengan 'eternal love-nya' di Valepawan. Pertemuan dengan Karina, meninggalkan bekas yang sangat mendalam dan selalu diingat sepanjang hidupnya, bahkan sampai bereinkarnasi sekalipun. "Siapa kau? ".... Aku Raka." Namun, semakin lama mengenalnya, Chandra merasa Karina bukanlah gadis biasa. Terlalu banyak bahaya dan tanda tanya di kehidupan Karina yang membuatnya enggan kembali lagi ke Mahaphraya sebagai calon raja. Apa alasan Chandra merasa enggan kembali ke Mahaphraya? "Aku selalu menunggumu, Raka ...." Lalu bagaimanakah kisah Chandra dengan eternal love-nya? Inilah lika-liku hidup Chandra yang dikemas dari sisi asmara, politik, maupun keluarga. ——— Cover art by maple.design_

meinjasumin · Fantasia
Classificações insuficientes
244 Chs

The Highlight

***

"Tidakkah pernikahan ini terlihat sangat bersinar?"

"Benar, ini terlihat sangat bersinar. Bahkan lebih dari pernikahan Yang Mulia Putra Mahkota dan putri mahkota."

"Bukankah ucapan itu sangat keterlaluan?"

"Menurut saya itu tidak keterlaluan. Saya dan suami datang ke pernikahan putra mahkota yang pertama kali. Dan itu tidak terlalu bersinar daripada yang sekarang. Bahkan putra mahkota tidak melirik putri sama sekali."

"Benarkah? Sulit dipercaya!"

"Astaga...!"

"Apa putri mahkota tidak cantik?"

"Putri mahkota cantik. Hanya saja... kecantikannya terlihat dingin dan mematikan."

"Anda tidak salah? Putra mahkota yang itu? Yang saat ini bersinar seperti mentari dan tersenyum lebar?"

"Saya masih terkejut sampai sekarang. Ini sulit dipercaya. Bagaimana bisa pria yang empat tahun lalu memasang ekspresi tak acuh bisa tersenyum lebar seperti itu?"

"Mendengar anda berkata begitu, hanya ada satu kesimpulan."

"Apa itu?"

"Bukankah Yang Mulia sangat mencintai Putri Arya? Entah mengapa saya sangat yakin."

"Saya setuju."

"Istri ke dua memang lebih disayang daripada yang pertama."

"Hohoho... apa itu pengalaman pribadi anda, Nyonya?"

"Sayangnya begitu."

"Saya jadi penasaran dengan kejadian pagi tadi. Cahaya terang di wadah besar itu...."

"Hei, jangan bicarakan itu!"

"Ah, aku lupa."

Arunika melirik ke kumpulan wanita itu sambil menghela napas. Mereka tidak terdengar seperti sedang berbisik, karena apa yang dibicarakan mereka masih terdengar di telinga Arunika yang berdiri lumayan jauh dari sana.

'Cahaya terang, ya...?' Arunika menunduk, melihat ke lantai aula perjamuan.

'Aku bahkan tidak pernah berpikir akan mendapat ramalan sebagus dan seburuk itu.'

Arunika flashback POV on

Begitu aku selesai menyapanya, Gasendra mengambil tanganku untuk dikecup dan dia mengerling seperti biasa. 

"Itu tidak akan terjadi karena aku yang akan menjadi Dewa Kematiannya."

Aku sempat terdiam dan terpana untuk sementara waktu.

"Jangan bercanda seperti itu, Yang Mulia. Tidak ada orang yang mau menjadi Dewa Kematian."

"Oya?"

"Daripada itu... anda lebih baik menjadi Dewa Kehidupan bagi semua orang."

"...Mungkin suatu saat aku akan mencobanya." Gasendra mengulurkan tangan untuk meminta tanganku yang satu lagi. Aku pun menerima dan menggandengnya menuju altar kuil dengan senyuman.

Jantungku berdebar lebih cepat saat kami sampai di depan altar. Aku merasa sangat gugup dan bahagia secara bersamaan untuk pertama kalinya.

Ini luar biasa! Jantungku terasa ingin melompat keluar dan menari saat pendeta naik ke altar.

Aku mengambil setangkai bunga mawar putih setelah Gasendra mengambil secangkir anggur merah. Kami saling berhadapan dan mengikrarkan janji dengan lantang di hadapan Tuhan dengan perantara pendeta dan tamu undangan sebagai saksinya.

Setelah Gasendra menuangkan anggur merah ke atas mawar putih, kami kompak tersenyum tanpa beban.

Dia mengambil mawar putih yang kini memiliki bercak kemerahan dan meraih tanganku. Kami menuju wadah besar di dekat altar, tempat di mana berkah Tuhan mengalir.

Dimulai dari Gasendra yang menarik kelopak bunga serta meletakkannya ke dalam wadah, dan kemudian di susul olehku. Saat kelopak mawar tersisa satu, kami menarik dan meletakkannya bersama-sama ke dalam wadah.

Kelopak bunga yang kami letakkan di dalam sana menghilang. Kami menghela napas haru dan lega. Tuhan memberkati pernikahan kami. Pendeta turun dari altar dan menghampiri.

Kami berbalik, menyambut kedatangan pendeta sambil berpegangan tangan. Namun, situasi yang seharusnya tenang dan khusyuk, tiba-tiba berubah menjadi pekikan kaget nan histeris.

Aku merasakan dingin di sekujur tubuh dan tak bisa bergerak untuk sementara waktu. Terlepas dari itu, aku juga bisa merasakan cahaya yang bersinar terang berasal dari belakang tubuhku.

'Apa cahaya itu dari wadah besarnya?' Aku penasaran, tapi tidak bisa bergerak. Seakan-akan tubuhku ini batu yang bernapas.

"Cahaya apa itu?"

"Berkat Tuhan!"

"Cepat panggilkan pendeta agung, cepat!"

Perlahan rasa dingin dan cahaya itu memudar. Sepertinya Gasendra juga merasakan apa yang kurasakan, melihat dia yang baru berbalik bersamaan denganku.

'Apa yang terjadi? Cahaya apa itu?'

Di tengah keterkejutanku, kami mendengar suara pendeta agung.

"Tidak perlu memanggilku. Aku ada di sini."

Aku tidak begitu tahu bagaimana beliau sudah tiba lebih dulu sebelum dipanggil.

"Salam kepada pendeta agung. Semoga Tuhan memberkati kami."

Pendeta agung yang wajahnya setengah tertutup itu menghampiri kami. Suasana semakin sunyi ketika pendeta agung hanya diam dan menatap lurus pada kami.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian." Selepas mengatakan hal itu, pendeta agung berjalan meninggalkan tempat.

Aku menoleh pada Gasendra. Dia mengangguk, lalu menggenggam tanganku lebih erat. Aku bisa merasakan dia yang sedang meyakinkanku kalau semua ini akan baik-baik saja.

Kami berjalan mengikuti pendeta agung. Meninggalkan ruang utama kuil dengan segala rasa penasaran, baik di pikiran kami maupun tamu undangan.

---

"Sebelumnya, salam kepada Yang Mulia Putra Mahkota dan Permaisuri."

Gasendra mengangguk. "Kami belum mendapatkan pernyataan dari pendeta."

Aku tahu Gasendra mengatakan itu agar pendeta agung bicara langsung pada tujuan utamanya, karena pernikahan kami belum mendapatkan pernyataan sah dari pendeta walaupun Tuhan sudah memberkati.

"Saya tau, Yang Mulia. Cahaya terang tadi adalah sebuah tanda dari Dewa dan Dewi."

"Bukan Tuhan, tapi Dewa dan Dewi?"

Aku tidak menyangka selama tujuh belas tahun hidup, aku mendapatkan tanda dari Dewa dan Dewi yang jarang sekali terjadi.

"Ya. Dan ini terkait anak kalian nantinya. Kalau tanda itu ditafsirkan, maka ini akan menjadi ramalan."

"...Apa itu?" tanyaku dengan harap cemas.

"Takdir anak kalian... melampaui seorang raja."

Gasendra menghela napas lega. "Bukankah itu hal yang baik?"

"Ya, baik dan sangat buruk."

"Apa maksudmu?" Aku cukup kaget mendengar nada bicara Gasendra yang meninggi. Tangannya terkepal dengan alis yang mengernyit. Seratus persen dia sedang menahan amarahnya.

Napasku ikut memburu. Anak kami bahkan belum ada di dunia ini, tapi takdirnya lebih banyak buruknya daripada baiknya?

"Sebelum dia melampaui seorang raja, dia akan mengalami kesulitan yang luar biasa. Dan anda...."

Pendeta agung menunjuk ke arahku. Kami menanti kelanjutan ucapannya, tapi dia bungkam seribu bahasa.

Arunika flashback POV off

'Sebenarnya apa kelanjutan ramalannya? Apa yang akan terjadi denganku? Kenapa pendeta agung hanya diam bahkan pergi begitu saja saat Gasendra mengancamnya?'

Arunika melirik ke arah perutnya yang tertutup pakaian mewah.

'Apa ramalan pendeta agung akan menjadi kenyataan?'

"...Nika."

"...Arunika."

"Arunika!"

Arunika tersentak kecil. Dia menoleh dan mendapatkan Gasendra yang sudah merengkuh pinggangnya.

"Kau terlihat lelah. Apa kau ingin istirahat?"

"Sepertinya saya sedikit lelah, Yang Mulia." Arunika menyandarkan kepala di dada Gasendra.

"Sebaiknya kau istirahat saja. Biar aku yang mengurus para tamu undangan," ujar Gasendra dengan khawatir.

Mata Gasendra beralih ke dekat pilar, di mana Eni dan Gray, dayang Arunika berada. Mereka menghampiri dengan tergesa-gesa.

"Temani istriku ke ruang istirahat. Pastikan dia beristirahat dengan benar."

"Tentu saja, Yang Mulia."

Arunika menengadah. Tangannya terjulur ke pipi Gasendra. Dengan waktu yang teramat cepat, kakinya berjinjit dan bibirnya mendarat di pipi Gasendra.

"Sampai jumpa lagi, Yang Mulia."

Setelah membuat Gasendra terbelalak, dia meraih tangan para dayang dan berjalan cepat menuju ruang istirahat.

'Aku tak pernah mengira dia akan menciumku di tempat ramai begini.'

Gasendra tersenyum simpul, kemudian berbalik menuju kumpulan para tamu undangan.

***

"Gray."

"Hmm?" sahutnya dengan pandangan lurus pada wanita yang berjalan di depannya.

"Tidakkah nona terlihat banyak pikiran?"

"Sepertinya begitu."

"Kira-kira apa yang dipikirkan nona sampai memasang wajah serius begitu, ya?"

"Daripada kau mengkhawatirkan beliau, lebih baik ubah dulu panggilanmu pada permaisuri."

"Ah, iya... maaf." Eni membungkam bibirnya dan sedikit menunduk.

Gray terus memperhatikan gerak-gerik wanita di depannya. Arunika berjalan tanpa bergeming sedikitpun. Dan Gray cukup khawatir dengan kondisi Arunika yang sejak pulang dari kuil memasang wajah banyak pikiran.

'Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan cahaya terang tadi.'

Gray menggigit bibir bawahnya demi menahan penasaran dan rasa khawatirnya di sepanjang perjalanan menuju ruang istirahat.

———