Selamat membaca^^
***
"Kau pikir mengemban tugas sebagai pangeran itu mudah? Tidak sama sekali."
***
Suara gemericik air yang jatuh dengan syahdu membasahi tanah subur Urdapalay dan sekitarnya. Suhu yang menancap sampai ke tulang terdalam, sukses membuat siapapun yang terkena anginnya
menggigil kedinginan.
Manik hitam itu mulai terlihat dari kelopak mata yang terbuka secara perlahan. Dilihatnya langit-langit tenda berwarna putih yang masih buram di pandangan. Ketika pandangannya sudah mulai jelas, pendengarannya pun ikut berfungsi.
Kini giliran suara bulatnya yang keluar dari bibir pucat tebal itu, namun yang terdengar malah suara serak di telinga.
'Uh, haus .... Sudah berapa lama aku kehilangan kesadaran?'
Dia mengarahkan pandangan ke sekeliling. Tendanya kosong, tidak ada satu orang pun yang menjaga.
Pria yang terbujur di kasur itu memutuskan untuk menutup mata dan mengabaikan rasa hausnya. Namun, sudah sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda seorang pun yang akan datang ke tendanya.
Dia bisa saja menarik teko serta cangkir yang berada di meja kecil dekat lemari untuk datang sendiri padanya. Tapi, dia yakin tubuh dan sihirnya belum pulih total.
Dengan kondisinya yang cukup lemah, dia memaksakan diri untuk duduk.
"Ergghh." Segala tenaga dia keluarkan untuk itu dan akhirnya berhasil. Gasendra membungkus dirinya dengan selimut, lalu memakai sandal yang berada di sana dan berdiri.
"Ugh," ringis Gasendra saat merasakan seluruh tubuhnya ngilu.
Pria itu berjalan pelan sambil berpegangan pada benda-benda di sekitar. Dia berencana untuk pergi ke meja kecil dan mendapatkan beberapa gelas air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Saat sampai di depan meja, tangannya meraih sebuah teko antik berwarna putih, kemudian dia menuangkan isinya ke dalam cangkir berwarna senada. Diteguknya air itu sampai tandas guna membasahi lidah dan tenggorokannya, kemudian dia menuangkan air tersebut sampai beberapa kali.
"Pangeran?"
Gasendra mengangguk tanpa menoleh karena dia sudah tahu siapa yang masuk ke tenda pribadinya, hanya dengan suara dan aura.
Siapa lagi kalau bukan Balges?
Balges berlari kecil ke arah Gasendra, kemudian mengambil alih apa yang dikerjakan oleh sang pangeran. Dia menuangkan cairan bening itu ke dalam cangkir.
Gasendra meneguk air yang dituangkan oleh Balges, setelah itu dia bertanya, "Berapa hari aku tidak sadar?"
"Hanya beberapa jam saja, Pangeran."
'Beberapa jam? Ku kira akan berhari-hari.' Gasendra termenung menatap cangkir yang kosong. Perlahan ... dia sudah merasakan aliran mana yang sudah berkumpul dan menempati tempat yang seharusnya berada di dalam tubuh.
Balges tersenyum simpul, kemudian memberikan penjelasan. "Saat anda tidak sadar, Nek Eros memanggil pemimpin menara untuk mengobati anda."
'Nek Eros?' Gasendra mengerutkan kening berusaha mengingat sesuatu yang sepertinya dia lupakan.
"Oh!" Gasendra berjalan ke lemari pakaian yang tak jauh dari sana, lalu mengambil salah satu seragam kerjanya.
"Pangeran, apa yang anda lakukan?" Balges membuntut dari belakang. Pasalnya manik Balges melihat sang pangeran yang menyiapkan seragam kerjanya, padahal kondisi Gasendra belum sepenuhnya pulih.
Gasendra menggantung selimut yang membungkus tubuhnya di pintu lemari, kemudian membuka pakaian atasnya. "Bekerja. Memangnya apa lagi?" sahut Gasendra menanggapi pertanyaan dari Balges.
"Tapi, anda ...."
"Sudah, jangan berisik! Siapkan saja lembar kertas untuk laporan ke istana. Aku tidak bisa bersantai-santai saja. Masih banyak yang harus ku kerjakan setelah ini," kata Gasendra sambil mengikat tali di bajunya.
'Termasuk meminta izin dan membuat Arunika jatuh cinta.' Namun, kelanjutannya hanya diucapkan dalam hati.
Balges pun menuruti perintah Gasendra untuk menyiapkan lembar kertas sebagai alat laporan. Mungkin besok mereka semua akan kembali ke istana setelah surat laporan yang dibuat selesai.
Balges menyiapkan semua peralatan, mulai dari meja kerja dadakan yang terbuat dari sihir, kertas, tinta, dan pena yang memiliki sulur-sulur berwarna hitam. Diletakannya semua itu di atas meja dengan rapih. Kini Balges sukses merangkap tugas menjadi prajurit dan juga pelayan pribadi Gasendra.
Tapi, dia tak keberatan. Memangnya siapa di Mahaphraya yang tak ingin melayani keluarga kerajaan? Tentunya semua orang mau melakukan hal yang sangat terhormat itu.
Balges mempersilakan Gasendra yang sudah rapih untuk duduk di kursi, lalu dia berpindah tempat berdiri di sisi kanan Gasendra dan memperhatikan sang pangeran yang mulai menulis laporan detail dengan tinta hitamnya.
***
Sudah dua jam Balges berdiri di samping kanan Gasendra, namun laporan-laporan tersebut belum selesai juga. Air yang menetes dari langit sudah berhenti sejak setengah jam lalu dan awan sudah membebaskan sang bulan untuk benderang lagi.
Sisa-sisa air dan angin hujan masih membawa suasana dingin di sekitar posko Mahaphraya.
'Apa laporannya banyak sekali, ya? Sampai-sampai pangeran tak beristirahat.'
Dia sedikit mengintip dari belakang untuk melihat laporan yang ditulis oleh Gasendra.
'Mungkin kalau dikerjakan oleh dua orang akan cepat selesai?'
Balges memutuskan untuk bertanya, "Apa ada yang bisa saya bantu, Pangeran?"
Srak Srak Srak
Bunyi gesekan antara kertas dengan ujung pena terdengar dengan tergesa-gesa. Gasendra menjawab tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Ada. Tolong tanda tangani laporan yang sudah selesai dengan cap milikku," pinta Gasendra. "Capnya ada di bagian paling dalam lemari."
Balges pun berjalan ke tempat yang disebutkan Gasendra, kemudian membuka pintunya. Dia melongok ke dalam lemari terlebih dahulu untuk mengetahui keberadaan cap milik pangeran.
"Oh, jangan sampai berantakan," pesan Gasendra yang baru mengingat akan hal itu. Dia tak suka jika lemari pakaiannya berantakan, walaupun isinya sedikit.
"Baik, Pangeran."
Setelah menemukan cap tersebut, Balges kembali ke meja Gasendra dan mengambil lembar-lembar kertas yang berisi laporan prajurit Mahaphraya selama hampir satu bulan di Urdapalay. Dia membuat meja kerja dadakan menggunakan sihirnya, lalu mencap semua laporan yang sudah ditulis Gasendra.
Di malam yang dingin dan sunyi itu, ada dua pria yang menghabiskan waktu mereka untuk mengerjakan surat laporan yang menumpuk tanpa beristirahat sekali pun.
***
Klang
Suara pena dilempar dengan kasar ke dalam kotak tinta yang sudah kosong. Gasendra mengulatkan tubuhnya dengan sedikit berteriak untuk melepas penat.
"Hah ... akhirnya selesai juga semua tugasku." Dia melihat Balges yang masih sibuk mencap surat laporan yang masih tersisa seperempat. "Balges, terima ini." Gasendra mengantarkan surat terakhir yang dikerjakannya tadi menggunakan sihir.
Sontak yang diperbuat Gasendra sukses membuat Balges terpekik kaget di tempatnya. "Pangeran! Anda belum pulih!"
"Kau ini! Memangnya kau tidak kenal aku? Aku ini Gasendra, putra Kerajaan Mahaphraya. Mengerjakan tugas semalaman tanpa tidur saja aku kuat, berarti tubuh dan sihirku sudah cukup pulih," jelas Gasendra dengan sedikit nyolot.
Balges memilih untuk tidak menjawab Gasendra dan merapihkan surat-surat yang diterimanya sambil bergumam, "Cukup pulih, bukan pulih sepenuhnya."
"Aku mendengarmu, Balges."
"Ya, Pangeran."
Gasendra termenung sebentar di tempatnya. Dia memikirkan semua tugas dan konsekuensi yang akan dialaminya setelah ini.
Menginginkan Arunika untuk menjadi pemilik hatinya mengharuskan dia untuk membawa gadis muda itu ke Istana Mahaphraya. Otomatis Arunika akan bertemu dengan Jahankara, Agni, dan juga Narasimha.
Apakah Arunika mau untuk jatuh cinta, menikah, dan tinggal di sana dengannya?
Apakah Bangsawan Arya yang lurus akan mengizinkan putri satu-satunya untuk menikah dengannya?
Seketika pikiran-pikiran yang sudah lama tenggelam karena sibuk mengerjakan misi kerajaan pun muncul kembali di kepala dan membuatnya merasa gugup.
Gasendra menelungkukan kepala di atas meja sambil memejamkan kedua matanya. Tanpa sadar, dia tertidur dan meninggalkan Balges yang masih tenggelam dalam surat-surat laporan.
***
"Pangeran?" Balges menepuk pelan pundak Gasendra yang tertidur di atas meja dengan pulas.
"Pangeran?"
"Hmm ...." Gasendra hanya bergumam dalam tidurnya.
"Pangeran, kita akan pulang ke Kota Kerajaan Mahaphraya," kata Balges dengan suara yang sedikit keras.
Perlahan mata Gasendra terbuka. Dia mendongak dan menatap Balges yang berdiri di depan meja.
"Oh, mau pulang. Surat laporannya sudah kau cap semua?" tanya Gasendra memastikan sambil meregangkan tubuhnya.
Balges mengangguk sambil menunjuk tiga tumpukan surat laporan yang entah berapa jumlah lembarannya di atas meja Balges. "Sudah semua, Pangeran."
"Kalau begitu, tunggu sebentar." Gasendra mengambil tiga lembar kertas lagi dan mengisi botol tinta yang kosong dengan sihirnya. Dia menulis tiga surat penting sekaligus. Surat yang pertama berisi permohonan izin cuti Eros selama satu bulan. Laporan ke dua berisi beberapa orang yang berhak untuk naik jabatan dan pemberian tanda jasa bagi yang terlibat dalam misi pemberontakan di Urdapalay. Dan yang terakhir ... izin cuti dirinya yang tidak akan pulang ke Mahaphraya selama satu bulan untuk liburan.
Alasan yang sangat bodoh dan pasti akan membuat Jahankara marah karena dia melalaikan tugasnya. Tapi, maaf ... dia harus egois kali ini untuk kebahagiaan dirinya.
Gasendra mengikat ketiga surat itu menggunakan benang putih, kemudian memberikannya pada Balges.
"Surat ini harus kau jaga dan sampaikan pada raja. Awas kalau surat itu tidak sampai ke tangan raja!" Gasendra memperagakan tebasan di leher menggunakan tangannya.
Saat itu juga Balges langsung menunduk dengan segala hormat.
"Daulat, Pangeran! Surat ini akan saya jaga dan sampaikan dengan segenap jiwa raga."
Gasendra mengangguk pelan dengan mata yang terlihat sayu.
"Pasukan kita sudah bersiap untuk pulang. Apa anda tidak bersiap juga, Pangeran?"
Gasendra berdiri, kemudian berjalan ke kasur dan merebahkan diri di atasnya.
"Kapan aku bilang mau pulang?"
Balges menelan saliva, kemudian bertanya lagi. "Maksudnya?"
"Aku mengambil cuti liburan selama satu bulan untuk tinggal di sini," jawab Gasendra dengan mata terpejam.
"Apa?!"
———