webnovel

The Danish Boss

Kana jatuh cinta pada Fritdjof Moller, atasannya yang meninggalkan Denmark demi menyembuhkan luka atas pengkhianatan calon istrinya, dan Kana bertekad akan menunjukkan bahwa Kana dan negara ini adalah obat yang tepat. *** Fritdjof Moller melakukan sebuah perjalanan panjang, lebih dari 11.000 kilometer, untuk melupakan cinta dan semua rasa sakit yang timbul karenanya. Siapa yang menyangka di negara baru yang dituju, Fritdjof menemukan matahari yang menerangi jiwanya yang gelap pada sosok Kana. Dengan cintanya, pelan-pelan Kana bisa meruntuhkan tembok di sekeliling hati Fritdjof. Ketika Fritdjof sudah siap melupakan sumpahnya—untuk tidak lagi memberi tempat pada wanita dalam hidupnya—Fritdjof mengetahui rahasia besar yang disembunyikan Kana. Haruskah Fritdjof terus percaya—dan berharap—bahwa Kana tidak akan menghancurkan hatinya sebagaimana calon istrinya dulu? Atau pergi meninggalkan negara ini, sebelum dirinya terlalu dalam mencintai Kana, untuk menyelamatkan keping hatinya yang tersisa?

IkaVihara · Urbano
Classificações insuficientes
31 Chs

ELEVE: Harapan Yang Terlalu Tinggi

Perjalanan panjang sejauh sebelas ribu kilometer ditempuh oleh Fritdjof untuk mencari kebahagiaan. Fritdjof meninggalkan Denmark tepat saat negara itu ditasbihkan sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di dunia. Di Denmark, kalau ingin bahagia, sederhana saja. Tidak perlu memiliki harapan yang muluk-muluk, tidak usah bermimpi setinggi langit. Yang pasti-pasti saja. Orang-orang menekan ekspektasi mereka serendah mungkin sehingga mereka tidak merasakan kekecewaan.

Bukankah lebih menyenangkan kalau tidak terlalu banyak berharap, lalu ketika kita sudah berusaha, hasil yang kita dapat melebihi perkiraan? Dibandingkan dengan ketika kita sudah memasang target yang tinggi, setelah usaha keras, namun hasilnya di bawah keinginan.

Ekspektasi. Harapan. Mungkin ini yang menyebabkan Fritdjof tidak bisa bahagia seperti orang-orang Denmark yang lain. Harapannya terlalu tinggi pada satu hal. Cinta.

Fritdjof mengumpat dalam hati, melangkah masuk ke kedai kopi di lantai dasar gedung tempatnya bekerja. Bisa-bisanya dia memikirkan masalah seperti itu saat jam kerja. Mungkin kafein bisa menyadarkan kembali otaknya yang melantur ini.

Seperti yang sudah diduga, karena ini jam tiga sore, Kana duduk di sana, dan tetap saja bersama Alen. Benar-benar membuat sakit mata. Di ruangan mereka, Kana dan Alen kadang-kadang duduk berdekatan menertawakan apa pun itu yang mereka lihat di layar komputer. Lalu di sini juga. Apa yang bisa mereka tertawakan dari segelas kopi?

Apa yang menyebabkan Kana suka menempel pada Alen? Apa yang membuat Kana tertawa lepas dan tanpa beban di depan Alen? Apa Alen adalah kebahagiaan bagi Kana? Perlu berapa lama lagi baginya untuk bisa menjadi alasan kebahagiaan wanita itu? Alasan Kana untuk tertawa? Menggantikan Alen sialan itu. Fritdjof ingin Kana bahagia karena dirinya, sebagaimana Kana menjadi alasan kebahagiannya.

Apa ini saat yang tepat untuk menekan ekspektasinya? Sebelum semua terlalu jauh dan menyakitkan nantinya.

"Mister datang lagi." Luke, barista di sini, menyapanya.

Fritdjof mengangguk, sedikit terkejut laki-laki muda ini mengingatnya. Mungkin karena fisik Fritdjof berbeda dengan orang sini, sehingga mudah diingat. Kalau di negara asalnya, walaupun dia datang ke suatu kafe setiap hari, tidak akan ada satu orang pun yang mau repot-repot mengingat wajahnya atau mengingat minuman yang selalu dipesannya.

Di sana, barista tidak akan menanyakan kabarnya atau mengatakan 'Have a nice day!' ketika pelanggan mengambil pesanan kopinya.That is called being Danish.

"What can I get for you today?" Suara Luke terdengar ramah. Ramah. Satu kata yang tidak pernah ada di kamus Fritdjof sebelum tiba di Indonesia.

Fritdjof menyebutkan apa yang ingin dibeli. Sambil menunggu, Fritdjof mengamati Kana dan Alen lagi, yang masih bicara dan tertawa, tidak menyadari Fritdjof sedang memperhatikan. Setelah menerima gelasnya, Fritdjof meninggalkan coffee shop melalui pintu samping, urung duduk di sini. Karena Fritdjof sedang tidak ingin melihat dua orang itu tertawa bahagia.

***

Copenhagen, musim dingin lima tahun yang lalu

Adalah Helene Skelgaard Finn, mahasiswa Københavns Universitet yang bisa menembus hati Fritdjof Møller. Wanita yang rutin datang ke Københavns Hovedbibliotek[1] dan sering duduk di Democratic, kafe di dalam hall hovedbibliotek, untuk memesan espresso. Hari itu Fritdjof sedang menyusuri jalanan Krystalgade dan hujan tiba-tiba turun. Fritdjof masuk ke Democratic dengan tujuan menunggu hujan reda. Wanita yang sedang duduk dengan buku yang dibiarkan terbuka dan tidak dibaca menarik perhatian Fritdjof.

Helene selalu duduk di barstool di sudut yang sama di setiap kunjungannya ke Democratic. Barstool hitam yang menghadap ke jendela. Helene tidak melakukan apa-apa, hanya memandang jauh ke luar jendela. Membuat Fritdjof ingin tahu apa yang sedang diamati wanita itu. Jalanan Krystalgade tidak pernah ramai, sesekali hanya dua tiga anak muda melintas. Di tepi jalan ada deretan sepeda milik pengunjung bibliotek. Dua orang gadis sedang duduk di palang kayu, yang menempel di kusen luar jendela Democratic. Fritdjof menandai, Helene datang ke Democratic setiap hari Selasa dan Jumat.

Menurut pengamatan Firtdjof, Helene adalah gadis penyendiri—ya, hampir sama dengan semua orang sini, sering melamun. Tetapi kesendirian yang ditunjukkan Helene berbeda. Seperti dia memiliki kehidupan yang lebih menarik di dalam angannya. Juga Helene tampak rapuh. Membuat Fritdjof ingin melindunginya.

Fritdjof sedang mencari Mikkel, sahabatnya, ketika dia kembali melihat Helene di kampus. Mikkel sedang menyelesaikan master di jurusan Biokimia. Meskipun tahu di mana Mikkel bisa ditemukan ketika sedang di kampus, tapi Fritdjof sedang memiliki rencana lain.

"Hej." Fritdjof menjajari langkah Helene dan menyapanya.

Helene jelas-jelas menunjukkan bahwa dia terganggu, tapi Fritdjof tidak peduli.

"Apa kamu kenal Mikkel Kierkegaard?" tanya Fritdjof mengabaikan Helene yang semakin terlihat kesal.

Tidak mungkin tidak ada wanita yang tidak mengenal Mikkel di kampus ini. Mikkel adalah laki-laki impian di mata semua mahasiswi di sini. Pemuda tampan, cerdas, dan bermasa depan cerah. Sahabat Fritdjof itu baru saja diterima bekerja di perusahaan listrik terbesar di Denmark. Mikkel menikmati kepopulerannya dengan sangat baik. Sengaja Mikkel membiarkan dirinya dikelilingi para gadis lalu membawa mereka bergantian ke kelab setiap malam.

Helene mengangguk menjawab pertanyaan Fritdjof.

Tentu saja kamu tahu, kata Fritdjof dalam hati.

"Yang mana orangnya? Yang namanya Mikkel." Fritdjof ingin tertawa mendengar pertanyaannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bertanya kepada Helene yang mana orang bernama Mikkel? Fritdjof dan Mikkel bahkan sudah berteman sejak mereka masih berada dalam kandungan ibu masing-masing. Kedekatan Fritdjof dengan Mikkel melebihi kedekatan Fritdjof dengan Frederik, kakak kandung Fritdjof sendiri.

Helene menunjuk ke arah Mikkel. Seperti yang sudah diduga Fritdjof, Mikkel sedang bersama dua orang gadis yang sangat cantik. Berbeda dengan Fritdjof yang tidak tahu harus berkata apa jika herhadapan dengan wanita, Mikkel sudah bertingkah seperti Don Juan sejak mereka masih sekolah menengah. Saat usia mereka belum genap tujuh belas tahun. Fritdjof melirik Helene, yang hanya menatap datar ke arah Mikkel. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Helene berlalu dari hadapan Fritdjof.

Fritdjof tersenyum simpul, dia sudah punya rencana lagi dalam otaknya. Apa pun yang terjadi, Fritdjof harus mendapatkan Helene.

***

"Kenapa tiba-tiba mau ikut ke sini?" Mikkel heran Fritdjof ketika Fritdjof ikut ke Friday Bar[2]. Friday Bar-nya jurusan lain pula.

Fritdjof hanya tertawa dan mengangkat bahu, tidak ingin memberi tahu Mikkel tentang rencananya. Pasti Mikkel akan tertawa kalau tahu Fritdjof ke sini karena sedang menguntit seorang wanita. "Aku akan sering ikut."

"Terserahlah. Tapi aku tidak bisa menemanimu. Kau tahu sendiri, aku sibuk." Mikkel mengedikkan kepala ke arah sekumpulan wanita yang menatapnya dengan penuh minat.

Mikkel benar-benar bajingan yang tahu bagaimana memanfaatkan perhatian para wanita. Sahabat Fritdjof itu hanya perlu mengangguk sambil tersenyum samar dan segerombolan wanita langsung tersipu-sipu. Tingkah Mikkel membuat Fritdjof merasa ada yang salah dengan dirinya. Teman baiknya itu sudah menghabiskan banyak malam dengan wanita yang berbeda-beda, sedangkan Fritdjof belum pernah jatuh cinta satu kali pun hingga hari ini. Sampai dia bertemu dengan wanita bibliotek itu. Helene.

Mata Fritdjof bergerak menyapu seluruh ruangan, mencari-cari sesosok wanitayang selama ini memenuhi kepalanya. Fritdjof mengabaikan Mikkel yang mengajak mengambil bir.

"Tahu itu siapa?" Fritdjof menunjuk Helene, yang duduk bersama satu temannya, agak jauh dari kelompok penggemar Mikkel.

Mikkel mengikuti pandangan Fritdjof. "Tidak."

Frtidjof mengembuskan napas lega. Kalau Mikkel tidak kenal Helene, berarti Helene belum pernah berkencan dengan Mikkel. Tidak akan nyaman mendekati seorang wanita yang pernah tidur dengan sahabat Fridjof sendiri.

"Tapi aku akan mencari tahu." Mikkel berjalan mendekati Helene.

Fritdjof mengumpat dalam hati karena belum sempat menjelaskan apa-apa kepada Mikkel. Mikkel tidak menganggap wanita bibliotek itu sebagai mangsa selanjutnya kan? Tiba-tiba Fritdjof khawatir. Bagaimana kalau Mikkel tertarik pada Helene dan memutuskan untuk mendapatkan Helene? Seberapa besar peluang Mikkel untuk menang, kalau lawannya adalah Mikkel?

___

[1] Perpustakaan utama kota Copenhagen.

[2] Hari di mana semua mahasiswa bebes berpesta, biasanya pada hari Jumat.

[3] University of Copenhagen.

(Bersambung)