webnovel

Agustus

Jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tetapi, Jihan disini. Dengan dahi mengkerut, berusaha memejamkan mata dan bersikeras agar dirinya dapat terlelap dengan damai malam ini.

Seharusnya, dirinya tidak memaksakan diri untuk memikirkan hal yang berat. Apalagi dengan kondisi badannya selepas melahirkan, itu akan menjadi hal yang sangat berat bagi dirinya.

Baby blues pun dapat rawan terjadi bagi ibu pasca melahirkan, dan Jihan sekarang? Hanya memikirkan banyaknya kejadian dan peristiwa yang entah itu ada benarnya atau tidak.

Perlahan tapi pasti, ia yang awalnya tidur telentang menghadap langit-langit kamar, ikut menyerong dan tidur menyamping. Menatap wajah terlelap Smith dari jarak yang dekat.

Pandangannya naik dan jatuh pada bayi nya yang tertidur pulas, keduanya benar-benar mirip. Keduanya punya mata yang sama, memiliki paras yang indah.

Lama sekali, Jihan memandangi keduanya secara bergantian. Pikirannya melayang di tengah dentingan jam tengah malam.

Tenggelam dalam pikiran gelapnya sendiri.

.

.

.

Smith perlahan membuka mata, ia merasa jika sedari tadi dirinya diperhatikan oleh seseorang. Kemudian, smith perlahan mengintip dari celah bulu matanya, menatap sang istri yang melamun sembari sesekali melirik ke arah acak. Dan berakhir kembali menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

Smith mengerutkan dahinya, kemudian ia memutuskan untuk bergerak.

Srett

Grepp

"Ada apa?"

"Eh?" Jihan terkejut saat tangan dingin dari suaminya menggenggam pergelangan tangannya.

Begitupun dengan suara bariton pria itu yang begitu serak dan dalam. Jihan sedikit mengangkat kepalanya, melihat Smith yang ikut menatapnya dengan setengah mengantuk.

Jihan berkedip pelan, lalu perlahan menggeleng.

"Tidak ada.. tidurlah," Titahnya.

Smith yang mendengar perkataan istrinya, mengerutkan dahinya, kemudian kembali mengelus pergelangan istrinya dengan lembut.

"Serius, bicaralah. Dari pertama aku tidur disini, kamu seperti memikirkan sesuatu. Apa kehadiran ku untuk tidur disini, mengganggu?" Tanya Smith dengan heran.

Jihan yang mendengar itupun segera terkesiap, kemudian perlahan duduk dan dan menoleh ke arah Smith.

Dirinya segera menggeleng ribut.

"Tidak, bukan itu. Aku hanya memikirkan Baylor," elaknya.

Smith yang melihat Jihan mengalihkan pandangannya, segera ikut bangkit dan duduk. Mengenyahkan perasaan kantuknya yang sedari awal sangat mendominasi.

Smith menaikan sebelah alisnya, apalagi melihat Jihan menunduk, dirinya merasa heran pada tingkah laku Jihan sekarang. Walaupun ia akui, lama kelamaan jika dilihat istrinya semakin cantik malam ini.

Dengan wajah sembab tanpa make up, bibir yang merekah, rambut bergelombang yang berantakan, kulit putih dan lembut. Hampir membuat Smith salah fokus.

Smith berdeham, "kenapa dengan Baylor? Dia dari tadi hanya tidur dan tidur. Mengkhawatirkan apa?"

Jihan mendengar perkataan itu sedikit gelagapan sendiri. Mata nya bergerak acak, menatap suaminya kemudian kembali menunduk.

Begitu seterusnya untuk beberapa kali.

Kemudian kembali menggeleng, "Baylor kebanyakan tidur. Takutnya dia menjadi anak yang pasif." Ujarnya sambil mengelus tangan nya sendiri dan mengalihkan wajah ke samping.

Ucapan tidak masuk akal itu ditangkap oleh Smith.

Yang benar saja? Baylor masih beberapa Minggu, perkembangan macam apa yang istrinya bahas sekarang? Terdengar aneh.

"Kau aneh, jangan memikirkan hal yang tidak penting, jihan." Tegas Smith sambil mengeratkan genggaman di tangan istrinya.

Jihan menggigit bibir, merasa gundah dan takut untuk bertanya lebih jauh perihal hal yang selalu kakaknya bicarakan.

Tentang Smith dan orang ketiga dibelakang mereka.

Dirinya tau, jika ia berdebat dengan Smith. Dirinya akan kalah, apalagi Jihan bukan tipikal wanita yang keras dan suka mengekang, egois dan tidak mau kalah. Jihan adalah wanita yang lembut, tidak suka bertengkar.

Tetapi, jika menyangkut rumah tangga mereka. Dirinya ikut kembali cemas dan gundah.

Jihan sibuk larut dalam pikirannya sendiri, membuat Smith geram dibuatnya.

Dengan tiba-tiba, Smith menarik dagu wanita itu agar menghadap dirinya. Jihan yang diperlakukan seperti itu tiba-tiba terkesiap, menatap Smith dengan pandangan membulat.

Smith mendekatkan wajahnya, Jihan yang melihat Smith mendekat seketika mengenggam selimut dengan sangat erat.

"Jangan sembunyikan sesuatu dari ku, ya? Kalaupun aku membuat masalah. Bicarakan berdua, jangan memendam semuanya sendirian–," Smith menjeda kalimatnya.

Kemudian melepas genggaman di tangan istrinya, mengelus dan menyisihkan rambut Jihan ke belakang telinganya. Rambut coklat wanita itu terlihat cantik dan sehat, Smith sangat menyukainya.

Pandangan Smith yang sibuk menata rambutnya, membuat Jihan terpana. Apalagi, dengan jarak yang begitu dekat antara mereka berdua.

Kemudian, Smith menangkap raut wajah istrinya dan tersenyum tipis.

"–istirahat yang benar, kamu masih dalam pasca penyembuhan setelah melahirkan. Bukan waktunya untuk memikirkan hal bodoh, sekarang adalah waktunya untuk kembali bahagia." Ucapan Smith dibarengi dengan cengkraman dagu yang di lepas.

Jihan berkedip pelan, lalu perlahan menunduk. Pipinya bersemu kemerahan, panas dan hampir salah tingkah.

Smith brengsek sekali, selalu berhasil membuatnya gila.

Smith tersenyum lebar saat ia menangkap rona kemerahan dari pipi putih milik Jihan. Istrinya memang selalu menggemaskan.

"Ayo tidur?" Ajak Smith.

Jihan mengelus kedua pipinya, menangkup dan mendongak. Menatap Smith yang tersenyum ke arahnya.

Dirinya mengangguk dan menuruti perkataan sang suami.

Lalu, keduanya perlahan merebahkan diri di samping Baylor kecil. Kemudian sama-sama kembali tidur menyamping, menghadap Baylor yang sudah tertidur dengan bibir sedikit terbuka.

Smith tersenyum sambil memandang Baylor, mengambil tangan bayi kecil itu dan menciumnya berkali-kali. Jihan pun ikut mengelus tangan Baylor yang begitu kecil.

"Lain kali bicara ya," bisik Smith sambil melirik ke arah Jihan.

Jihan yang dilirik pun segera mengangguk.

"Bagus, ayo tidur." Ucapnya sambil kembali mengambil posisi dan memunggungi istrinya.

Jihan menghela nafas, menatap Smith dari balik punggungnya untuk waktu yang lumayan lama. Sesekali menyelami pikirannya kembali, dan merenungi perkataan yang suaminya katakan.

Berati, memang benar dirinya harus mengatakan apa yang ia rasakan dan sembunyikan. Tetapi, disisi lain. Dirinya tak sanggup untuk mendapatkan konsekuensinya.

Bagaimana jika nanti memang terbukti benar? Bagaimana jika Smith memutuskan untuk bertengkar dengannya? Bagaimana jika Smith tidak membela dirinya, dan malah membela wanita lain? Bagaimana jika  Smith tidak lagi sayang padanya?

Dan yang terburuk, apakah Smith akan menceraikannya?

Jihan kembali merana, rasanya sendu dan sedih malam ini. Walaupun dirinya dan Smith terlihat baik-baik saja, tetapi di dalam hati Jihan. Banyak sekali tersimpan hal yang tidak bisa ia ungkapkan.

Apalagi jika konsekuensi terburuk adalah perceraian, ia tak sanggup untuk mengurus Baylor sendirian tanpa ayah.

Karena, Jihan sangat mencintai Smith.

Jihan menatap Baylor, 'tumbuh besar nanti seperti ayah ya sayang.. tapi dengan versi yang lebih baik,'

Jihan berbicara dalam hati, menatap Baylor yang tertidur. Mendekat dan mencium pipi kemerahan anak itu, kembali menghirup aroma bayi yang menguar kuat.

Berusaha menghilangkan beberapa hal yang membuatnya cemas akhir-akhir ini.

Mungkin besok, mungkin nanti, ataupun mungkin lusa. Kemungkinan yang banyak itu, adalah waktu yang akan dipikirkan Jihan untuk keberaniannya dalam menanyakan hal ini kepada Smith.

Apakah benar, jika Smith mempunyai wanita lain?

.

.

.