webnovel

Bab 4 Pertemuan yang Tak Terduga

Ethan duduk di tengah ruangan dia memegang senjatanya, di tengah ruangan tersebut. Meletakkan senjata di mejanya, dia melihat meja kosong yang dingin, dia melihat dirinya sedang makan malam di rumah lamanya ayah dan ibunya yang tersenyum ke arahnya, Benson memakan banyak daging dan memisahkan sayurannya, dan Miranda sebagai anak yang baik memakan semua yang dibuat oleh ibunya.

Suatu kehangatan terakhir yang dimilikinya, di saat terakhir keluarganya hidup, sekarang semua hanya menjadi khayalannya. Sekarang kahangatan dan kebahagiaan yang dirasakannya hanyalah kepalsuan yang diharapkannya.

Dia lebih memilih hidup di kebohongan yang dibuatnya daripada melihat kenyataannya.

Karena jika dia melihat realita sekarang, apa yang dilihatnya adalah tangan bernoda darah, dan kehangatan yang tersisa akan menjadi tempat yang sedingin es dan suram. Jika dia melihat kenyataannya sekarang, dia hanya melihat tumpukkan mayat yang terkapar kaku di ruangan tersebut.

Hujan membuat udara menjadi lebih dingin, tetesan air menempel di luar jendela, suara guntur dan petir yang menyambar di langit menerangi ruangan tersebut secara singkat membuatnya melihat jelas wajah dari orang mati karena terror.

Seseorang tiba-tiba menggerakkan jari-jarinya, mengetuk lantai kayu tersebut. suara kecil itu cukup agar sampai ke telinga Ethan, terutama di ruangan yang sunyi. Ethan berdiri dari tempatnya, suara seseorang yang mengerang lemah, sepertinya orang yang dia biarkan sudah sadar.

Dia mengarahkan sebuah pisau kecil ke tenggorokkannya, orang tersebut terpekik merasakan senjata tajam di lehernya, Ethan bertanya padanya dengan nada yang mengancam, "Dimana Tuan Jeffrey?" orang tersebut menangis, "Aku tak tahu! Aku tak tahu! Aku hanya bekerja tapi aku tak pernah melihatnya!"

"Oh seperti itu." keheningan terjadi beberapa saat, "Kalau begitu, matilah." Suaranya terdengar dingin seperti es dan kejam. Orang tersebut akan berteriak, tapi terlambat baginya lehernya sudah ditusuk dengan menembus tenggorokkannya, orang itu meraih pisau di lehernya tangannya bergetar, "Jangan lepas." Ethan memperingatkannya. Tangan orang itu membeku di udara, "Jika kau melepasnya kau akan mati lebih cepat."

Tapi bahkan jika dia melepasnya atau tidak hasil keduanya akan sama, hanya ada kematian yang menunggu orang malang tersebut. Mencabutnya sebenarnya adalah pilihan terbaik untuknya, tetapi disaat yang sama dia juga ingin hidup, keputusan yang harus dibuatnya membuatnya benar-benar bimbang.

Ethan pergi menuju pintu kamar tersebut tangannya meraih jaket yang digantung di sebelah pintu, lalu berjalan keluar dari ruangan tersebut dia meninggalkan ruangan yang penuh aroma darah.

Meski sudah membunuh banyak orang bajunya tetap putih bersih seperti salju, terlihat sangat putih bersih tapi kotor di dalam.

Dengan wajahnya yang kekanakan dan memliki senyuman yang manis, dia sudah menipu orang-orang yang melihatnya akan berpikir dia seorang anak yang bersih dan polos. Karena tidak ada yang tahu berapa nyawa yang sudah direnggut olehnya.

Ethan berjalan turun menuju lobi hotel, membuka pintu untuk keluar, dia mengambil sebuah payung dan membukanya, meski hari itu hujan orang-orang tetap berjalan keluar berjalan melewatinya. Dia merasa orang-orang yang lewat sangat monoton baginya, terutama karena langit yang mendung membuat setiap warna yang ada hilang. Ethan berjalan dia harus kembali menuju ruang kosong yang tidak dapat disebut rumah baginya, hanya sebuah kamar kosong yang gelap.

Dia memasuki bangunan tua disambut oleh lorong yang suram, salah satu lampu tersebut berkedip-kedip beberapa kali, dia mencari kunci kamarnya di kantongnya, disaat dia menemukan kuncinya untuk membuka pintunya, seseorang dibelakangnya berkata, "Heyyyy!!!" Suara itu memanggilnya dengan nada yang sangat tidak ramah, Ethan menghela nafasnya dengan berat dia tidak bisa menghindar dari orang ini lagi. Dia membalikkan badannya untuk melihat seorang pria dengan perutnya yang buncit, kaosnya memiliki keringat di bagian ketiaknya, wajahnya terlihat kacau dan berantakan, di tangannya terdapat sebotol bir, dan seluruh tubuhnya bau alkohol.

Dia mendekat dengan marah wajahnya terlihat akan memukul siapapun, "kau lebih baik segera membayar uang sewamu hari ini." Dia menggerutu pada Ethan, dari suara, wajahnya, dan juga ketiaknya yang basah dia dapat menebak pria di depannya kalah taruhan.

Ethan menjawabnya tak acuh, "Aku tak punya uang saat ini." dan itu adalah kenyataannya, dia memang tidak memiliki uang, dia hanya memiliki sebuah kalung emas yang diambilnya dari salah satu orang yang dibunuhnya sebelumnya. Jadi yang dia katakan adalah kenyataan karena yang dimilikinya bukanlah uang.

"Itu alasanmu bulan lalu kau lebih baik membayarnya atau pergi dari tempat ini." Pria tersebut membentaknya, menarik kerah bajunya, dan bersiap untuk memukulnya. Ethan bisa saja membunuhnya dalam sekejap dan kabur sangat mudah baginya.

"Tunggu dulu!" seorang lelaki muda berteriak dengan panik dan berjalan mendekat, dia melihat Ethan yang akan dipukul dia berlari dengan tergesa-gesa, "Ada apa ini?" tanya lelaki itu kepada pria paruh baya itu, dengan marah pria itu menjelaskan Soal Ethan yang tidak membayar sewa kamarnya selama 6 bulan. Lelaki itu hanya menggangguk mendengarkannya tapi sebenarnya hampir tidak mendengarkan seperempatnya karena perkataan yang terlalu bertele-tele dan diulang-ulang, Ethan juga berdiri dengan kosong seperti patung dia lelah dan ingin tidur, tapi sekarang dia harus mendengar orang tua ini mengomel berteriak dengan marah mengoceh soal dirinya.

Setelah pemilik tanah itu selesai mengoceh telinga lelaki itu sakit dan otaknya terasa akan meleleh, "Ohhh seperti itu." dia berpura-pura dia paham dan memberi respon seperti dia paham, dia daritadi mendengar pria tersebut berbicara soal uang, "Jadi dia berhutang berapa?" tanyanya mengeluarkan dompet dari saku di belakangnya, pria itu mendengus, "Dua ratus Poundsterling."

Lelaki itu terkejut hingga matanya mebelalak besar dan sepertinya dia tersedak karena ludahnya sendiri, "Sebanyak itu?" tanyanya tidak percaya pria itu hanya mengangguk. Ethan menghela nafasnya dia angkat bicara, "Tidak, sebenarnya biaya perbulannya adalah dua puluh Poundsterling, jika aku tak membayar selama enam bulan totalnya adalah seratus dua puluh Poundstreling. Dia hanya ingin memerasmu."

Wajah pemilik bangunan itu memerah karena gagal mendapat keuntungan dia berkata dengan geram, "Kau…" Ethan hanya mengangkat bahunya dan tersenyum dengan puas, "Apa?" tanyanya polos, alisnya terangkat sebelah membuat siapapun kesal. Lelaki itu mengeluarkan uang seratus lima puluh Pound dari dompetnya dan memberikannya pada pemilik rumah, "Ini, kau ambil saja sisanya." Pemilik rumah itu mengambilnya dengan kasar dan pergi meninggalkan kedua lelaki itu sambil menggerutu, baru saja dia akan mendapat uang tapi karena bajingan kecil itu dia hanya mendapat lebih sedikit keuntungan.

Ethan melihat lelaki di depannya, tangannya memegang senjata di pinggangnya dia siap menembak siapapun orang di depannya ini jika macam-macam. Lelaki di depannya tersenyum dan berkata, "Sudah lama kita tidak bertemu Ethan." Kedua mata Ethan membelalak besar,pupilnya mengecil, dan tubuhnya menjadi tegang. Dia bersembuyi selama 10 tahun, dia bahkan tak pernah memakai nama yang sama jika ditanya.

Matanya menjadi tajam dan dia bersiap untuk menarik senjatanya, "Kau siapa?"

Lelaki itu menatapnya dengan penuh kerinduan, "Kau lupa? Ini aku Dimitri, tapi aku dapat memaklumimu jika kau lupa." Tubuh Ethan menjadi lebih tenang karena dia melihat seorang teman lama. Dia bahkan tidak menyangka akan bertemu kembali dengannya, tangannya menjauh dari senjatanya. Meski hatinya bahagia wajahnya terlihat tidak menunjukkan seutas senyum, tapi dia sedikit tersenyum kecil yang hampir tak terlihat.

"Apakah kau belajar cara bicaramu dari Benson? Itu sangat mirip."

"Sepertinya dia memberiku sedikit pengaruh." Jawab Ethan membuka pintu kamarnya dia mengajak Dimitri untuk masuk, "Kalau begitu masuklah, pasti ada banyak yang ingin kau tanyakan atau ceritakan." Pintu tersebut berdenyit dengan keras lelaki itu berjalan masuk menyalakan lampu kamarnya.

Lampu tersebut menyala menunjukkan sebuah kamar yang redup, terdapat noda air di dindingnya, cat tersebut sudah mengelupas, sebuah lubang dan retakan di dinding yang menunjukkan pipa dan kayu dibaliknya, air menetes dari langit-langit, dan lantai kayu yang terlihat rapuh. Kamar tersebut kosong hanya terdapat sebuah lemari, kasur, meja, dan kursi. Di atas meja tersebut terdapat sebuah piring kotor yang belum dicuci, dan satu set perlatan makan yang usang.

Keadaan kamar itu membuat Dimitri hampir menangis matanya berkedut beberapa kali, "Bagaimana kau tinggal disini? Biayanya sangat mahal untuk kamar seperti ini, ini tidak dapat diterima."

"Beradaptasi, aku tak masalah tempat disini tersembunyi aku aman disini. Meski tuan tanah disini seperti yang kau lihat." Ethan menjawabnya dengan santai, dia menjatuhkan dirinya ke atas kasur, pegas kasur tersebut bersuara dengan keras dan memantulkan dirinya beberapa kali. Ethan melihat Dimitri yang berdiri dia menepuk di sebelahnya, "Ayolah anggap saja kau di rumah sendiri."

Dimitri melihat sekitarnya jika ini rumahnya tidak mudah baginya untuk terbiasa. Bahkan sepertinya dia baru saja melihat tikus lewat.

Dimitri duduk diseblahnya tubuhnya tegak lurus menunjukkan seperti lelaki terhormat, tidak seperti lelaki kelelahan disebelahnya. Ethan penasaran bagaimana Dimitri dapat menemukannya, dia yakin dia sudah menyembunyikan identitasnya bahkan tidak pernah menyebut namanya, "Bagaimana kau dapat menemukanku?" tanyanya melirik lelaki disebelahnya, dia terlalu lelah untuk duduk jadi dia akan terus berbaring, lagipula ini rumahnya dia dapat melakukan apapun dan orang disebelahnya adalah teman lama.

Sebuah surat keluar dari balik jaket Dimitri, ia menaruhnya disebelah Ethan. Dengan malas Ethan mengambilnya dan membaca surat itu perlahan-lahan, setiap kata dibaca dengan hati-hati. Setiap katanya membuat jantungnya berdetak semakin kencang, seseorang sudah mengetahui keberadaannya dan hubungannya dengan Dimitri sebagai sahabatnya.

"Ini…"

"Darimana kau mendapatkannya?"

"Aku tidak tahu. Aku hanya melihatnya di kotak suratku kemarin malam, tidak ada nama pengirim atau alamat. Aku bahkan mengecek seluruh kantor pos tidak ada yang mengirim surat ini, orang itu pasti memasukkannya ke kotak suratku sendiri."

Ethan merasa dirinya tidak aman untuk menetap disini.

Tapi dimana dia dapat tinggal?

Dia tak memiliki rumah, uang sewanya baru saja dibayar oleh Dimitri tidak mungkin dia dapat dengan mudah pergi ke pemilik gedung dan meminta sisanya. Pria tua itu pasti akan mengoceh hingga telinganya panas dan tanpa sengaja dia akan menembaknya.

"Oh ya! Ada satu surat lagi untukmu." Dimitri berseru merogoh-rogoh jaketnya, dia memberikan sebuah amplop yang masih utuh, tidak dirobek sama sekali. Ethan mengambilnya dan merobeknya, dia membuka lipatan tersebut.

Isi dari surat itu hanya penuh dengan bualan tidak penting seperti aku sudah lama mengenalmu, kelakuannya yang manja dan keras kepala, hingga tentang keluarganya. Dia melewatkan banyak bagian yang tidak penting sampai dia melihat bagian akhir dari surat tersebut, dia mendudukan dirinya dengan cepat hingga Dimitri yang disebelahnya melompat karena terkejut.

Akhir dari surat itu bertuliskan 'Aku tahu dimana kakakmu berada.'

Ethan dapat merasakan itu adalah sebuah jebakkan untuk memancing dirinya keluar. Tapi bagaimana jika itu benar? Jika kakaknya masih hidup dia ingin bertemu kembali dengannya. Meski kakaknya kadang membuatnya kesal dia merindukannya, dia ingin kembali bertengkar dengannya, dia tak pernah membencinya.

Tapi... jika memikirkannya dia menjadi khawatir.

Jika benar bukankah kakaknya akan kecewa padanya?

Tangannya kotor dan penuh darah. Apakah kakaknya akan menerimanya jika tahu adiknya seorang pembunuh?

Dia kabur dan hidup tapi kemudian dia tak tahu apa yang harus dilakukan, dia pergi ke kota lain hanya dengan berjalan kaki dan diam-diam masuk kedalam kereta. Beberapa kali dia hampir mati karena kedinginan dan rasa lapar, dia berusaha untuk hidup.

Dimitri menyadari Ethan yang diam terpaku seperti patung es dia bertanya, "Kau kenapa?" dia khawatir pada temannya, dia mendekat hingga dekat dengan bahu Ethan. Ethan yang terdiam berkata pelan, "Di surat ini orang yang menulisnya berkata kakakku masih hidup."