webnovel

Bab 3 Rumah Itu Sudah Tiada

Benson melihat adik lelakinya benar-benar marah padanya, adik laki-lakinya masih sangat kecil meski seperti itu dia mungkin akan melupakannya saat tidur nanti, esok dia seharusnya akan kembali seperti biasa meski masih agak kesal dengannya. Karena adiknya selalu seperti itu, meski dia marah besar disaat ini dia akan lupa, besok dia akan membawa adiknya pergi membeli makanan manis yang diinginkannya.

Benson membuka pintu basement tersebut disaat dia akan melangkah keluar dia mematikan saklar lampur tersebut, tiba-tiba pintu bel rumah dibunyikan membuat suara musik yang keras terdengar di seluruh rumah. Benson segera kembali masuk kembali dan menutup pintu basement dan menarik Ethan kembali, "Ada apa?" tanya Ethan kesal.

Benson menaruh jarinya di depan bibirnya dan mendesis, mengisyaratkannya untuk diam dia berbisik, "Ada seseorang di depan, jika kita ketahuan akan ayah atau ibu akan marah." Suara langkah kaki yang berat dapat terdengar turun, menilai dari suara langkah yang berat Benson dapat mengetahui itu adalah ayahnya.

Benson sedikit membuka pintu hingga hanya terlihat sedikit celah yang terlihat, dia mengintip dari celah itu ayahnya sedang membukakan pintu, "Tuan Jeffrey? Apa yang sedang kau lakukan disini?" orang yang disebut Tuan Jeffrey itu mengeluarkan sebuah senjata dan mengarahkannya kepada Tuan Bridge.

DORRR

Suara ledakkan yang kuat menggema diseluruh rumah, ayahnya terjatuh, darah berceceran kemana-mana.

Benson mebelalakan matanya, nafasnya tertahan, dia ingin berteriak, matanya terdapat air mata yang harus ditahannya. Di belakangnya Ethan yang tidak mengetahui apa yang terjadi dia menyelip untuk melihat apa yang terjadi, saat dia berhasil melihat apa yang dilihatnya, dia tidak dapat berkata-kata. Ayahnya terkapar di lantai, bau besi dapat memasuki hidungnya, darah yang keluar terus-menerus merebes kedalam karpet.

Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap, matanya ditutupi oleh sebuah tangan, "Jangan lihat." Suara Benson bergetar, tangannya juga bergetar diatas matanya. Tubuh kedua anak itu bergetar, mereka baru melihat ayahnya meninggal didepan matanya. Seorang pria yang disebut Tuan Jeffrey berjalan masuk menginjak darah tersebut meninggalkan jejak kaki berdarah, tidak lama suara langkah kaki terdengar turun. Kali ini terdengar lebih ringan dari sebelumnya.

Saat suara langkah kaki itu sudah berada di bawah, "Sayang, siapa itu?" tanya wanita tersebut sebelum berbalik hanya untuk melihat tubuh suaminya di lantai. Nyonya Bridge melenguh melihat pemandangan di depannya dan berjalan mundur, dia terpekik melihat senjata yang di arahkan padanya. Benson dan Ethan mendengar sebuah percakapan yang tidak jelas dari balik pintu, keduanya tak dapat mendengar dengan jelas tetapi suara tangisan dari ibunya dapat terdengar, selanjutnya suara tembakan dapat terdengar, membuat suasana ruang tamu menjadi hening.

Orang itu berjalan dan melihat sebuah bayangan anak kecil di atasnya, dia segera menaiki tangga dan mengejarnya.

Benson menutup dan segera mengunci pintu tersebut ia menarik Ethan kebawah, dia takut jika dia memakai pintu depan seseorang akan melihat keduanya, karena itu satu-satunya jalan keluar adalah kebawah. Karena langkahnya yang tergesa-gesa dan ruang tersebut gelap, tanpa sengaja dia terjatuh dan segera melepas genggamannya dari Ethan.

KRAKKK

Suara tulang yang patah dapat terdengar begitu jelas, kaki Benson patah dia ingin menangis dan berteriak karena kesakitan tapi dia harus menahannya, jadi dia hanya meringis. Dia berusaha berdiri dengan satu kakinya yang utuh menyalakan lampu, "Ethan ayo turun kemari!" suruhnya suaranya panik.

Ethan yang masih terlalu muda merasa kakinya tidak dapat bergerak, celananya basah karena air seninya, dia sudah tidak memiliki ayah atau ibu, air matanya mengalir.

"Ayah.. ibu.." tangisnya dia tidak dapat mendengar kakaknya sama sekali, kakaknya yang terus memanggilnya tidak dapat didengar olehnya.

Mau tidak mau Benson harus berteriak meski akan beresiko ketahuan, "ETHANN! SADARLAH!"

Teriakan itu efektif, Ethan menoleh kearahnya wajahnya terlihat sakit, "Kau harus turun sekarang kita akan pergi." Ethan yang mulai tersadar segera menurutinya, suara teriakan seorang perempuan dapat terdengar nyaring dan kemudian teriakan tersebut terhenti dengan suara tembakkan yang keras.

Benson semakin tidak tenang jantungnya berdetak terlalu kencang, karena dia berteriak sebelumnya kemungkinan orang itu akan kemari. Saat Ethan sampai dia mengalungkan lengan kakaknya ke bahunya, dia menarik lengannya tubuh kakaknya lebih besar dan berat darinya dia tak kuat, tetapi hanya dia yang dia punya sekarang sehingga dia berusaha dengan semua usahanya.

Dia tak bisa kehilangan siapapun lagi.

Benson menunjuk sebuah jendela kecil yang terdapat di ruangan tersebut, "Disana! kau harus keluar lewat sana." Jendela tersebut dapat terbuka hanya dengan ditarik. Suara langkah kaki terdengar diatas mereka, pria itu mencari mereka.

"Ethan cepat buka!" Benson menyuruhnya, Ethan menaruh Benson di atas lantai, Ethan menyusun beberapa kotak agar dia dapat naik. Dia mencoba untuk menarik gagang tersebut, tapi karena jarang dipakai engsel jendela tersebut menjadi macet.

Suara langah kaki semakin mendekat dan semakin dekat ke pintu. Benson mengambil sesuatu dari kantung piyamanya dan memberi Ethan sebuah kain, "Pecahkan jendela itu." Ethan selalu takut merusak barang di rumahnya dan hal yang disuruh kakaknya sekarang harus memecahkan kaca, "Ta-tapi.."

Benson menggertakkan giginya, "Tidak ada tapi! Pecahkan saja!" suruhnya suara langkah kaki terhenti di depan pintu basement, "Cepat!"

Ethan mau tidak mau mengambil sebuah benda yang terlihat keras, dan memukulnya beberapa kali hingga pecah. Saat dia berhasil dia melihat ke arah kakaknya, "Sekarang kau singkirkan pecahan kaca yang terlihat tajam itu." Benson berkata dengan tegas hatinya tidak dapat tenang karena knob pintu yang diputar. Ethan memukuli pecahan yang tajam sehingga suara kaca pecah mendarat di lantai seperti tetesan air, Ethan merangkak keluar dari jendela tersebut, tanpa sengaja pipinya yang putih tergores serpihan kaca membuat darah keluar dari pipinya.

Namun dia tidak peduli dengan rasa sakit itu, dia berbalik untuk melihat kakaknya yang berada di lantai, "Kakak ayo kak! Penjahat itu akan datang!"

Lelaki itu melihat kakinya yang patah dia menggeleng, "Tidak. Aku tidak dapat."

Jawaban itu membuat Ethan merasa jantungnya berhenti, "Kakak! Kau harus ikut kakak! Kau harus ikut! Kau bilang kita akan pergi. Apakah kau berbohong?"

Dia hanya memiliki seorang kakak yang hidup, satu-satunya orang yang akan peduli dengannya, satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. Benson mendengar knob pintu yang diputar semakin agresif, "Dengat Ethan! Kau.. Kau.. harus hidup, bahkan jika aku ikut kakiku patah aku hanya akan membebanimu. Lalu? Kita tertangkap apa yang kau lakukan akan sia-sia." Suara Benson tegas di matanya dia menahan air matanya.

Pintu tersebut sudah didobrak berkali-kali Benson tidak dapat tenang, "Jadi Ethan…" tiba-tiba suaranya bergetar menahan kesedihan dia menunduk tidak melihat Ethan sama sekali, "Pergilah.."

"Hidup setidaknya untukku."

Suara isakkan dapat terdengar dari mulutnya air matanya sudah tak dapat ditahan lagi mengalir dari mata ke pipinya, Ethan tidak ingin meninggalkannya.

Tapi saat kakaknya memintanya untuk hidup kakinya seperti terkena mantra, dia berlari dia berlari menjauh berlari tanpa melihat kebelakang masuk kedalam pepohonan yang tumbuh disekitarnya.

Seseorang menembaki pintu basement tersebut dan pintu tersebut didorong terbuka menunjukkan seorang pria paruh baya dengan pakaian serba hitam, wajahnya ditutupi oleh kain hitam, dia hanya melihat seorang anak laki-laki yang terkapar dibawah lantai, dia tidak dapat melihat wajahnya, tetapi suara isakkan menggema di seluruh ruangan.

Benson takut, dia ketakutan, dia masih tidak ingin mati, tapi dia lebih takut jika dia melihat Ethan di posisinya, dia dapat merasa lboh lega, lebih baik dia saja yang mati daripada harus melihat seseorang lagi.

Lagipula dia dapat bertemu keluarganya di surga.

Pria tersebut mengarahkan kebelakang kepalanya dia melihat jendela yang pecah dan mengatakan, "Anak malang, apakah kau ditinggalkan sendirian?"

DOR

DENGGGG

Suara tembakan dan suara jam di rumah berbunyi bersamaan, keduanya menandakan jam 12 malam.

Ethan tepat berusia delapan tahun.

Ethan berlari dia terus berlari, dia tak tahu sejauh apa dia berlari dia tidak melihat kebelakang. Tiba-tiba ia terjatuh karena tersandung batu, saat itu juga salju turun dari langit, sangat indah tapi tidak tepat. Dia melihat kebelakang rumahnya hanya untuk melihat rumah yang gelap dan dingin, sebuah bercak darah samar di jendela kamar yang seharusnya kamar adiknya terlihat. Kehangatan yang seharusnya terpancar dari rumah itu kini hilang, hanya menyisakan malam dingin yang penuh darah, dia mendengar suara kaca yang pecah tapi tidak ada kaca di sekitarnya.

"Aku harus berlari.." Ethan bergumam, dia mencoba untuk berdiri tapi kakinya lemas, membuatnya terjatuh kembali ke tanah, dia melihat rumahnya dari kejauhan. Rumah itu terlihat sangat gelap, sangat hampa, dan sangat dingin, seperti sebuah es menutupi tempat tersebut. Rumah yang sebelumnya terang, penuh dengan kehangatan, dan kenangan kini tiada lagi.

Kata-kata dari kakaknya terus bergema di kepalanya menyuruhnya untuk lari dan hidup. Ethan menutupi telinganya, nafasnya menjadi semakin berat, air mata menetes dari sudut matanya. Dia beteriak tapi tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya hanya isakkan dan suara nafas yang berat. Salju yang dingin mendarat di tubuhnya mulai menyelimutinya tapi dia tidak dapat merasakan salju yang dingin saat itu.

Salju turun menutupi semua noda yang ada dibawahnya, menutupi semuanya dibawah hingga hanya terlihat warna putih yang bersih.