webnovel

DRESS UP REAL WELL FOR YOUR BIG REVELATION (OR ANOTHER SCUNNER OF THE DAY)

Decuran air dingin dari pancuran mungusap kulit putih halus Alicia. Terkadang dengan sengaja ia menundukkan diri lalu membiarkan ribuan rintik-rintik menusuk ke arah tengkuk dan punggungnya, supaya ribuan butiran tersebut melemaskan uratnya yang tegang. Walapun tekanannya dangkal, tetesan air yang deras masih bisa merangsang beberapa titik meridian tubuh sang gadis, memberikannya sedikit relaksasi. Relaksasi akan pikiran pasca masalah kemarin, dan apa yang akan datang hari ini.

Hari ini memang hari yang cukup mendebarkan. Rencananya adalah dia akan pergi bersama Yang Terhormat Grand Magus Lachlan Haddock ke suatu tempat yang jauh untuk mengetahui seluk beluk dirinya dan Orb, sang bola ajaib. Setelah itu, sesuai janji Grand Magus, ia akan dibawa ke Roma untuk dilatih. Ya, dia tahu betul rencana tersebut tidak mungkin hanya sekedar "Mengungkap takdir-berkontemplasi-menerima nasib-selesai." Pasti ada saja suatu penghalang besar yang kelak mengganggu harinya, layaknya hari-hari normal yang dijalani oleh mereka yang masih mengembara di bumi. Masalah seperti apa yang dia alami, dia belum bisa memastikan. Siapa tahu kali ini bakal ada kelompok penyihir baru yang ingin mencoba peruntungan merebut Orb dan Alicia, atau kapal yang ia tumpangi jatuh ke antah berantah. Si gadis mencoba untuk menghiraukan semua perkiraan yang mengkhawatirkan tersebut, hanyut bersama dengan air.

Alicia tidak ingin muluk dengan pakaiannya sekarang. Ia sudah mempersiapkan pakaiannya semalam dan memasukan sisanya ke dalam koper. Sesudah mengeringkan rambutnya, ia pun merapikan rambutnya. Dia menata rambutnya dengan model kuncir dua bagian bawah—bentuk ikatan rambut favoritnya, mungkin—di saat kemeja putihnya baru terkancing setengah, memberikan sedikit intipan di balik bajunya. Ia melihat lagi di kasurnya, masih ada rok hitam, stoking merah marun, dasi hitam, dan jaket gelap yang masih terkulai menunggu tuk dipakai.

Dia duduk dan mengambil celana nilon tersebut. Ukurannya mungkin terlihat kecil dan tipis, namun stoking itu tetap dapat diandalkan ketika sang gadis mengangkat kaki kanan dan mulai memasuki terowongan nilon halus tersebut, dan begitu pula kaki kiri. Setelah terpasang, ia meraba seluruh kakinya dan merasakan sensasi halus nan mulus pada stoking yang mengikuti bentuk kakinya dengan sempurna. Ia menendang kedua kakinya secara bergantian lalu memastikan tidak ada kerut pada stoking yang dikenakan, yang baginya tidak enak jika dipandang. Ia menutup sisa kancing pada kemejanya, lalu dipasangnya rok hitam lengkap dengan bretel. Tak lupa ia juga mengenakan dasi serta cardigan gelapnya, dan dengan demikian, Alicia telah selesai berpakaian.

Ia kembali melihat dirinya di kaca. Penampilannya sudah baik. Alicia memang memilih untuk mengenakan pakaian yang lebih kasual dan sederhana untuk berpergian. Toh dia tidak punya rencana untuk pergi ke gala atau semacamnya. Dia mengambil sebuah buku besar dan dimasukkannya ke dalam. Ingin dirinya mencatat sesuatu yang berhubungan dengan sihir selama perjalanannya. Dia merasa punya kewajiban untuk mengeluarkan ensiklopedia sihir edisi terbaru untuk menguji pengetahuannya selama ini; barangkali juga untuk diceritakan kepada anak cucunya nanti.

Ada barang terakhir yang tak ingin ia lupakan. Alicia meraih bingkai yang berdiri tegak di dekat meja rias, dan mengeluarkan potret foto dari bingkai tersebut. Dipandangnya lekat-lekat gambar itu. Seorang wanita berkacamata dengan seorang gadis kecil berkacamata bulat kebesaran memeluk wanita tersebut, tersenyum. Alicia hampir lupa bahwa dirinya yang berumur delapan tahun pernah tersenyum setulus yang ada di foto. Dia sama sekali bukan anak yang percaya diri ketika dipotret saat itu.

"Ini dia, mama," katanya. "Aku adalah penyihir sekarang, dan aku akan mengikuti jejakmu untuk menyelamatkan dunia. Mama, tolong jaga aku dalam doa."

Foto tersebut diselipkan dalam halaman buku catatan setelah ia dekap sesaat. Setelah semua barang yang ia perlukan terkunci rapat dalam tas, ia bergegas keluar kamar.

Leith, Donar beserta kedua sahabat Alicia sudah duduk di kursi masing-masing menyantap sarapan. Dari lorong Alicia dapat mendengar Gilmore yang sepertinya sedang menhaturkan syair akan sarapan yang hendak ia cicipi.

"Kekuatanmu, yang membuat umat manusia dalam lawatanmu, dan menghidangkan mereka jatah makanan mereka. Caledonia yang luhur tak menghendaki makanan berair, yang terciprat di piring kayu kecil. Akan tetapi jika kau ingin restu tulusnya," —Gilmore menunjuk ke arah Alicia yang baru tiba— "Berikanlah padanya sebuah Haggis!"

Alicia berpura-pura terpana dengan membuka mulutnya sambil meletakkan tangan di dada. Gadis berkacamata yang baru datang belakangan mengambil tempat duduk di sebelah kanan sang ayah dan sebelah kiri Nadine. "Itu seharusnya merujuk ke Caledonia, Gilmore. Tapi ya baiklah, tidak buruk."

"Oke, aku boleh makan, kan?" Leith sudah tidak sabaran karena Gilmore menunda-nunda sarapannya dengan syair tua yang dirinya sama sekali tak peduli. Tidak menunggu jawaban, sang adik segera membelah Haggis dan memindahkan sepotong ke piringnya.

"Haggis?" tanya Alicia, "Nadine, jangan bilang kamu menyiapkan ini semalaman."

"Ya enggalah, sayang. Tentu saja ini beli. Bagaimanapun, ini hari yang besar buatmu," balas Nadine.

Setelah bincang-bincang pembuka, keempatnya langsung melahap balon usus raksasa berisi daging dan biji-bijian. Di tengah sarapan, Donar berbincang kepada putrinya, "Jadi, untuk hari ini. Kamu sudah mempersiapkan semuanya?"

"Sudah, Papa," jawab Alicia singkat.

"Begitu. Syukurlah."

Mengetahui pembicaraan terlalu dangkal, Alicia merasa janggal. Ia bertanya balik. "Apa Papa mungkin ada sesuatu yang ingin dibicarakan? Perintah, nasihat, atau semacamnya?"

"Seperti?"

"Uh, mungkin seperti 'selalu waspada', atau 'jangan bertindak gegabah', atau jaga 'Orb dengan baik'?"

"Itu semua pasti sudah masuk di akal. Toh, kau sudah tahu semuanya, bukan?"

"Yang mana selalu dia lupa," celetuk Leith yang duduk di seberangnya. Alicia tidak membalas sinis adiknya karena seringkali itu benar adanya.

"Yah, mungkin yang seperti itu pantas untuk diingatkan lagi."

"Tidak perlu, nak. Kuyakin kau akan mengingatnya," sang ayah tersenyum sebentar dan kembali makan.

Alicia sama sekali tidak suka dengan tingkah ayahnya pagi ini. Ingin dia mengutarakannya langsung, namun alangkah lebih baik jika berbicara dengannya empat mata sebelum meninggalkan sang ayah.

Tapi lihat sisi baiknya, sarapan berjalan mulus! Tidak ada penyergapan mendadak, tidak kericuhan. Hanya empat orang dengan potongan Haggis yang nikmat.

Setelah sarapan, Alicia menaruh koper kecilnya di ruang tamu. Kebetulan saat dirinya ada di sana, bel pintu berbunyi.

"Biar aku saja yang buka," Alicia menarik ganggang pintu. Dikiranya orang yang di balik pintu adalah sang Grand Magus. Atau tukang pos. Alicia yang harusnya bersemangat, malah sedikit terguncang. Yang ada didepannya adalah seorang wanita berambut hitam panjang dan lurus. Kulitnya cokelat, berwajah lonjong dan matanya sipit. Wanita tersebut tampak memasang simbol kuda api di salah satu aksesoris. Di hadapan Alicia adalah Penelope Crimsonmane, salah satu menantu dari sang patriark Alasdair Crimsonmane.

Penelope menyambutnya terlebih dulu dengan suara lembut, "Alicia, selamat pagi."

Mencoba untuk tidak gelagapan, Alicia membalas ucapan wanita tersebut. "S-selamat pagi juga, tante Penelope. Ada yang bisa kubantu?"

Donar yang kebetulan lewat ikut berjumpa dengan mereka berdua. "Penelope? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Donar, selamat pagi. Aku membawakan sesuatu," Penolope menunjukkan kantung besar berisikan makanan yang dia tenteng. Bukan hal yang tidak wajar bagi orang-orang muda di dalam keluarga untuk merasa enggan melihat kotak makanan tersebut. Mereka berpikir kalau kotak makanan itu sejatinya adalah kotak senjata beracun. "Ah, apa kalian berencana untuk pergi?"

Alicia yang khawatir hanya melirik ayahnya, berharap beliaulah yang menghaturkan jawaban.

"Waktuku kurang tepat ya? Apa tidak masalah jika kita berbicara sebentar?" tambah Penelope lagi.

Kaki Donar tanpa muluk-muluk melangkah mendekat dan membuka lebar pintu masuk. "Tentu saja, Penelope masuklah."

Penelope duduk di sofa dan menyimpan kantung makanan di meja. Donar dan Alicia duduk bersama. Nadine, Gilmore dan Leith mengintip dari ruang makan.

"Sebenarnya, aku baru saja dari kantor otoritas sihir. Mereka memintaku ke sana untuk ditanyai terkait insiden yang menimpa kalian. Aku tidak mewakili Crimsonmane. Aku ke sini atas diriku sendiri, ingin mengungkapkan penyesalan atas perbuatan tak terpuji yang dilakukan oleh keluarga besar. Kami bertindak berlebihan sejak malam itu—"

Alicia, hanya menatap pahanya yang terselimut nilon sutra, bergumam, "Kalian memang bertindak berlebihan." Tak mau ia melayangkan satu tatapan pun kepada tantenya.

"Aku mengerti. Jika kau ingin tahu, tidak semua kerabat benar-benar membencimu sebegitunya. Aku pribadi iba akan keadaanmu, tapi Alasdair memasang peraturan yang keras terkait berinteraksi dengan orang yang dikucilkan dari keluarga. Setidaknya sampai sekarang, ketika beberapa dari kita melakukan hal yang di luar dugaan …."

Penelope menambahkan lagi, "Tapi aku mendukungmu, Alicia! Mereka sudah kelewatan kali ini. Tidak peduli jika mereka keluarga kita, mereka harus diproses hukum seadil-adilnya!"

Dukungan yang bersemangat dari sang bibi tidak bisa menyaingi kecanggungan yang berseliweran di udara ruang tamu. Alicia tidak tahan akan sikap Penelope yang suportif. Penelope sebenarnya jarang menyudutkannya seperti tikut got layaknya kerabat yang lain. Alicia bahkan jarang bertemu dengannya karena Penelope sendiri sering melakukan perjalanan pulang pergi dari Camelot—rumah suami dan menantu—menuju kampung halaman Kapiqaq di benua Mu untuk urusan pekerjaan. Pekerjaan yang sejatinya Alicia juga tidak mengetahui. Bagaimanapun, secara keseluruhan perlakuan keluarga besar sudah membekas di dirinya. Dia memandang semua selain ayah, ibu, dan adiknya sebagai penjahat dan komplotan munafik.

"Aku hanya menyampaikan rasa prihatinku. Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Alicia. Terima kasih sudah menyempatkan waktu, aku akan pergi dari sini." Penelope berpamitan dan keluar. Pembicaraan yang begitu singkat namun tak nyaman di saat yang bersamaan.

Tidak lama berselang, ketukan pintu terdengar lagi. Kali ini disambangi dengan suara yang menenangkan jiwa dan raga. "Halo, Yang Terhormant Grand Magus di sini."

Alicia langsung berlari dan membuka pintu. Bukan jebakan, bukan kejahilan. Memang yang ada di depannya adalah si penyihir bertopi fedora dengan pakaian biru gelap khasnya.

"Syukurlah Anda datang," ujar Alicia.

"Aku melihat seorang wanita baru saja keluar dari pintu, kerabatmu?"

Alicia mengangguk pelan. "Tapi dia tidak berniat melakukan apapun. Hanya membawa sekantung makanan dan permintaan maaf."

"Sekantung makanan?" Haddock melihat tas kain berwarna putih berdiri tegak di meja, "Kau akan memakannya?"

Alicia menggeleng.

"Mungkin kita harus membakarnya. Bagaimana menurutmu, tuan Donar?"

Donar dengan santainya mengambil kantung tersebut lalu menyerahkannya ke Haddock. "Rasanya sangat tidak enak menerima sesuatu dari keluarga kita hanya untuk dimusnahkan. Tapi pada titik ini, aku sama sekali tidak percaya siapapun."

"Pilihan yang bijak. Kalau begitu, Alicia, apakah kau sudah bersiap?"

"Apa kami benar-benar tidak boleh ikut?" Gilmore kelihatannya sangat khawatir jika Alicia pergi sendirian.

Leith pun mendukung Gilmore. "Setuju, bagaimana jika sesuatu terjadi lagi?"

"Hei, ketika aku mengatakan 'kami', yang kumaksud ialah aku dan Nadine. Tidak termasuk dirimu, bocah."

"Apa-apaan …."

Pembicaraan yang malah berakhir perseteruan, Gilmore dan Leith hampir melayangkan jotosnya ketika Nadine berusaha keras melerai mereka. Alicia tersenyum kecil melihat tingkah kekanakan para lelaki. Semoga saja ini bukan kali terakhir kalinya ia melihat pemandangan bertajuk kekeluargaan itu, karena di dalam pikirannya yang dilanda badai, ada firasat bahwa ia akan meninggalkan mereka, jika tak selamanya, untuk waktu yang lama. Semua karena nubuatan anak terpilih yang digembar-gemborkan menyelamatkan dunia itu.

"Maaf anak-anak. Sesuka-sukanya aku ingin mengadakan perjalanan piknik keluarga menuju Vanir, tapi prosedur masuk Vanir sangat ketat. Kalian yang tak berkepentingan tidak diperbolehkan masuk biarpun keperluan kalian hanya ingin berlibur. Jadi serahkan dia padaku dan para penyihir Magisterium. Kami akan mengurus baik dirinya."

Alicia berbisik pada papanya, "Papa, bisa kita bicara berdua sebentar saja?"

Donar menyanggupi permintaan sang gadis. Segera mereka berdua masuk ke ruang kamar milik Alicia. Kamar kosong dengan remang-remang cahaya dari gorden yang sama sekali tidak ia buka. Kini ketika mereka bisa beradu suara empat mata, Alicia mengeluarkan unek-uneknya.

"Papa tidak banyak bicara denganku pagi ini. Apa Papa sedang marah?"

Perkataan yang langsung menohok hatinya. Tentu saja Alicia bisa membaca bahasa tubuh sang ayah.

"Alicia. Aku tidak punya alasan untuk marah kepadamu."

"Aku merepotkanmu saat aku masih kecil. Aku semakin merepotkanmu ketika aku akhirnya diberkahi kekuatan sihir. Dan aku harus meninggalkanmu. Tentu saja ada sarat tak puas di benakmu!"

"Nak, jangan berbicara seperti itu!" tegur Donar, "Semuanya sudah berlalu. Tidak semuanya bisa Papa cegah dan atur." Donar mendesah, lalu melanjutkan "Aku belum siap berpisah, sayang. Aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu untukmu. Aku memang selalu khawatir denganmu. Saat kamu ditangkap, saat kmau diburu, saat kamu hampir mati, dan kini kamu akan meninggalkan Papa. Tapi mana mungkin aku harus menyalahkan semuanya ke dirimu? Karena aku harus jujur, jarang bersamamu membuatku merasa aku hampir tidak mengenali anakku sendiri."

Seketika Alicia langsung memeluk ayahnya dalam haru. "Kuharap Papa tidak akan berbicara seperti itu lagi. Papa tentu mengenalku. Aku mengerti situasinya, dan aku menyayangi Papa."

"Dan aku mengerti situasinya pula, anakku. Aku hanya tidak ingin kamu pergi jauh begitu cepat. Aku tidak bisa membayangkan kerasnya dunia di luar Caledonia, di luar Camelot," Donar membungkukkan badannya agar tatapannya setara tatapan putrinya. Diusapnya air mata yang berlinang melewati pipi sang gadis. "Tapi jika Ilahi Sunyi punya rencana besar untuk putriku, maka sudah menjadi peran seorang Papa untuk melakukan tugasnya."

"Aku akan menyempatkan waktu untuk mengunjungimu dan Leith!"

"Kami akan menunggu."

Alunan musik indah mengudara di kamar pribadi Alicia. Mereka menoleh ke meja sebelah tempat tidur, tempat Orb tersimpan.

"O-Orb! K-kau melihat semuanya?"

Orb mencicit kegirangan, memecah suasana mengharukan saat itu. Keduanya menjadi malu bukan kepalang, ditunjukkan dengan gelagat masing-masing yang unik.

"Baiklah, sudah berakhir. Bawa Orb-mu, segera berangkat," kata Donar tersipu.

Mereka akhirnya keluar dengan membawa teman baru, si Orb. Alicia sudah bersiap, membawa kopernya dan berpamitan dengan yang lain.

"Baiklah, teman-teman. Terima kasih sudah menemaniku sampai sejauh ini. Kupikir ini saat yang tepat pula agar kalian pulang ke Trinketshore."

Nadine memeluk Alicia dan berkata, "Jangan lupa untuk memberikan kabar, oke? Dan aku harap para Rahib Celestian memberi ijin untuk bermain konsol portabelmu di waktu luang!"

Alicia tertawa mendengar kalimat terakhir tersebut, "Aku sangat meragukan itu."

Berbeda Gilmore yang sedih akan kepergian sahabatnya, ia melingkarkan kedua tangannya ke kedua gadis, lalu memeluk mereka sambil diangkat. "Alicia! Kau harus kuat! Sama seperti diriku yang kuat! Tapi jika sesuatu padamu, kirimkan pesan kepadaku lewat apapun, aku akan langsung ke sana! Tidak peduli dalamnya samudra dan luasnya bumi!"

"G-Gilmore, baik, baik! A-aslakan j-jangan menjepit kami!"

Gilmore kebablasan lagi, ia menurunkan mereka kembali ke lantai. Alicia mendekati teman besarnya sambil melihat air wajahnya yang berbanding terbalik dengan sifat kuat yang ia sebutkan tadi. "Ku kira orang kuat tidak menangis?"

"A-aku tidak menangis, kok!" suara bergetar dan matanya yang berkaca-kaca mengindikasikan sebaliknya. Air mata tersebut tak mungkin akan terbendung selamanya, apalagi ketika Alicia memeluk Gilmore lagi secara pribadi.

"Aku harap kau dan Nadine bisa segera menjadi kesatria. Siapa tahu kita bisa bertugas bersama lagi."

"Aku akan melakukannya, Alicia. Aku akan melakukannya. Jaga dirimu, kawan. Kuharap kau tidak mati sebelum saat itu tiba."

"Ya, tidaklah, bodoh."

Orang terakhir yang harus ia pamit, adiknya sendiri. Leith mungkin yang paling tegar dari semuanya. Tetap saja, tatapan matanya sangat tak menyenangkan, seperti ingin mengajak orang berkelahi. Alicia yang kenal adiknya tahu itu kalau dia tidak bermaksud demikian.

"Kekaisaran Abadi punya tempat-tempat yang indah, tak seperti di Trinketshore," tutur Leith. "Kau tidak perlu repot-repot untuk berkunjung kemari. Aku dan Papa bisa ke sana sekaligus mengajakmu liburan. Aku harap kau tidak norak. Aku harap kau tidak bodoh. Aku harap kau mendengarkan apa yang para rahib instruksikan kepadamu."

"Aku ingin menjadi penyihir, Letih, bukan rahib. Menuruti perintahmu di Roma akan sangat membuatku mati bosan. Melanggar sekali dua kali harusnya tidak masalah," jawab Alicia.

"Amukan orang Roma lebih menyeramkan daripada amukanku."

"Begitu? Aku ingin mengujinya."

Senyuman terlintas di kedua wajah dua orang bersaudara. Mereka tidak berpelukan. Hanya konversasi yang datar dan kurang hangat. Mungkin agar tidak menyakiti dada Leith yang terluka. Namun mereka memang mengekspresikan keakraban dengan cara yang berbeda. Itu tidak mengurangi kasih sayang Alicia terhadap Leith dan sebaliknya. Malahan, inilah cara mereka mengungkapkannya.

"Tunggu, Alicia. Kau melupakan sesuatu." Nadine ke kamarnya dan kembali dengan sesuatu. Sebuah lipatan kain. Jubah sihir proteksi pemberian Ailsa, ibu Alicia.

"Untuk berjaga-jaga," kata Nadine.

Mata Alicia bersinar seraya menyentuh lalu mengambil jubah tudung merah tersebut. Jubahnya yang dulunya kotor dan kusam akibat reruntuhan maosoleum kini bersih berapi-api.

"Nadine! Aku hampir lupa ada ini, terima kasih banyak!"

Alicia mengenakan jubah tersebut. Perlindungan ibunya ada bersama sang gadis. Alicia merasa aman sekarang. Kemudian dirinya menghampiri Haddock, "Aku sudah siap, Grand Magus."

"Maka tidak perlu berlama-lama lagi, perhentian pertama, Vanir!" []