webnovel

Masalah Mimpi

Ujian masuk perguruan tinggi dalam kehidupan ini tidak jauh berbeda dari kehidupan sebelumnya. Ada standar poin tertentu yang ditetapkan pada seluruh siswa yang ingin melanjutkan pendidikan di kampus.

Namun, karena hal itu maka jelas ada jumlah kuota yang ditetapkan. Jika siswa gagal dalam memenuhi standar yang ada atau mereka tidak bisa masuk kampus yang bagus, maka opsi tersisa yakni masuk sekolah profesional untuk belajar dan menguasai skill tertentu sehingga menjadi pekerja yang terampil.

Ada banyak sekolah khusus yang menyediakan kelas teks kuno Celine, tetapi tingkat akademis mereka masih dibilang relatif rendah. Dibandingkan dengan kehidupan John sebelumnya, kualitas pendidikan yang berlaku di sini jauh lebih buruk.

Jika seorang siswa tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi dan berakhir di sekolah professional, orang-orang sekitar mengatakan bahwa pendidikan mereka gagal dan sia-sia. Ada kesenjangan besar yang terjadi di sini, dan hanya sedikit dari pekerja terampil yang bisa bersaing dalam sulitnya lapangan pekerjaan. Di banyak industri, gaji seorang yang lulus dari sekolah profesional biasanya cenderung lebih kecil dari mereka yang memiliki latar belakang Pendidikan universitas.

John kembali ke kamar tidur dan menghujamkan tubuhnya ke atas kasur. Dia telah memutuskan untuk beristirahat dan melupakan persoalan mimpi buruk dan teror malam hari saat ini. Fokus utamanya yakni ujian masuk perguruan tinggi yang jelas lebih utama.

Menutupi selimut, dia mengucapkan selamat malam pada dirinya sendiri. John secara perlahan menutup matanya, dan dirinya pun terlelap seirin dengan kesadarannya menghilang.

***

"Hah..."

John dapat mendengar deru napasnya. Suara itu perlahan bergema di kamar kosong. Dia membuka matanya, dan di sana ada aula kediaman yang tampak familier. Di atas meja panjang besar yang ditutupi dengan kain putih lusuh, terdapat beberapa peralatan makan yang terbuat dari perak berserakan.

"Apa aku kembali bermimpi?"

Hati John lantas tenggelam dan dia melihat sekeliling dengan cepat. Di sebelah kiri terdapat dinding yang penuh dengan lukisan minyak fuzzy, dan di sebelah kanan terdapat jendela bentuk kotak besar. Melalui tirai yang buram, dia kembali dapat melihat kabut di luar sana.

Dengan cepat John mengangkat kakinya dan melangkah ke depan. Saat segera mencapai pintu ruang kerja, dia berjalan dia sepanjang pintu yang terbuka. Segera dia melihat pemandangan di ruang kerja.

Potret ingatan yang sama kembali terlintas di kepalanya saat dia melihat sebuah meja rendah, dan halaman buku yang terbuka. Saat mendekat, John dapat melihat tulisan tangan yang sama seperti sebelumnya dengan sangat jelas.

"Tentu saja, aku kembali bermimpi."

John berusaha bersikap tenang. Alih-alih memeriksa buku ilmu pedang, dia keluar dari ruang tersebut dan melangkah menuju arah ruang tamu lagi.

Di jendela di sisi ruang tamu, dia mengulurkan tangan dan dengan lembut mengangkat tirai, berusaha melihat keluar. Dalam situasi yang berkabut, pemandangan di luar menampilkan area teras dengan tangga yang panjang.

John menyadari kediaman mewah itu dikelilingi oleh hutan yang lebat. Saat menengok ke arah halaman, dia melihat ada ayunan kecil, dan beberapa bangku kayu yang telah rusak. Di area sudut terlihat sesuatu yang mirip seperti cangkul.

Karena terkejut, John menurunkan tirai dan memandang ke jendela lainnya. Tak satupun dari jendela itu bisa dilihat olehnya di mana pintu depan menghadap. Dirinya ingin tahu arah persis di mana sosok aneh itu muncul pertama kali sebelum akhirnya dia diserang.

Dia berhenti mencari sosok itu dan mulai berpikir di ruang tamu sejenak. Kemudian, dia berbalik dan mulai menjelajah sekitar ruangan.

"Aku butuh senjata bela diri. Lebih baik lebih lama, lebih luas, dan lebih mudah diblokir!" pikir John dengan jelas.

Dia tidak berencana untuk tinggal di rumah itu sepanjang waktu. Mimpi ini sangatlah aneh dan tidak bisa dijelaskan. Dia telah meninggal di sana, dan hal tersebut benar-benar mempengaruhi dirinya dalam dunia nyata. Ini membuatnya merasakan krisis yang mendalam.

John memiliki firasat yang tidak dapat dijelaskan. Dia berpikir bahwa jika dia terbunuh oleh sosok itu berturut-turut, dia mungkin akan memiliki beberapa perubahan yang sangat mengganggu dan mempengaruhi kondisi mentalnya. Perasaan itu tampaknya secara naluri memberinya petunjuk apa yang harus dia lakukan dan yang dia tinggalkan.

Setelah mencari-cari di ruang tamu, John tidak menemukan apa pun. Dia lantas pergi ke ruang belajar untuk melihat dengan lebih jelih dan memastikan lagi, tapi di sana pun tidak ada apa-apa selain kumpulan buku.

Kemudian, dia bergegas pergi ke dapur, entah kenapa instingnya mencoba mengatakan sesuatu. Jadi, dengan cepat dia meninggalkan ruang kerja. Setelah John menemukan sebuah pisau dapur yang cukup runcing di sana, dan dia langsung pergi ke kamar tidur.

Kamar tidur di kediaman itu memiliki tempat tidur yang terbuat dari kayu ganda di tengah. Di sepanjang area ruangan itu terdapat lemari pakaian, meja rias, dan sebuah kotak kayu besar. Rasa penasaran mendorong John untuk memeriksanya. Pintu itu terbuka dan ternyata isi didalamnya tak ada apa pun.

Secara perlahan John melirik ke arah kiri dan kanan. Dia melangkah menuju tempat meja rias, menjulurkan tangannya untuk membuka laci depan. Di dalamnya ada beberapa pita rambut berwarna yang biasanya dikenakan para gadis remaja, maupun mereka yang hendak dewasa.

Menutup kembali laci itu, John lantas melirik ke arah yang lain lagi. Segera matanya menangkap sesuatu yang ada di dekat sudut jendela, sesuatu bersandar di dinding, ditutupi dengan tirai. Hal itu jelas menarik perhatiannya.

Dia melangkah maju, pergi ke arah itu, dan tangannya langsung menyentuh benda yang terletak di sana. Sesuatu terdengar berbunyi saat dia meraihnya.

"Ini… ini adalah pedang salib," gumamnya.

Ujung pedang berwarna perak-hitam itu bergesekan saat John mengambilnya secara paksa, membuat sedikit suara terdengar di udara. Dia dengan hati-hati lantas mengangkat pedang tersebut.

Pedang itu tidak berat, sesuatu yang masih bisa dipegang oleh orang biasa sepertinya. Panjang dari pedang tersebut juga hanya mencapai jari kaki dari pinggang John. Gagang dan pahatannya membentuk seperti sebuah salib yang standar. Hanya saja tentu saja salib itu lebih panjang.

John memegang gagang pedang dengan kedua tangan dan merasakan beberapa kain kasar kusut di atasnya. Gagang dan bodi pedang itu sepenuhnya terintegrasi, dan celah yang ada bahkan hampir tidak dapat terlihat oleh mata telanjang.

Pola pupil vertikal sederhana terukir di dekat gagang pedang tersebut. Itu persis seperti yang ada di pintu. Dia mencoba melambaikan pedang tersebut dan kali ini baru terasa bobotnya agak berat.

"Lihat apakah ada yang lain," paparnya.

**To Be Continued**