webnovel

Keanehan Esya (2)

"Gimana, Sya! Sudah kelar belum?!" Terdengar suara high heels itu berhenti tepat di depannya. Esya kembali menghela napas.

"Lambat! Sudah sana! Pak Zidane memanggil Anda!" Terdengar dengusan napas atasannya. Namun Esya tak menghiraukannya–dia segera bergegas pergi.

Kaca kantor pak Zidane tidak tembus pandang. Melainkan terbuat dari kaca hitam gelap yang membuat orang di luarnya tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukannya.

Tok tok tok

"Masuk."

"Permisi, Pak." Esya menundukkan pandangannya–dia berharap bosnya bisa lebih halus dalam memperlakukannya sebagai bawahan. Tidak main bentak seenak hati. Iya, Esya selalu berharap begitu ketika berhadapan dengan orang ini.

Zidane mendengus tak acuh, "Kalau misalnya kamu di kantor lain begini–terlambat terus, pasti sudah dipecat dari Minggu pertama!"

"Ma-maaf." 

"Sekarang, cepat bikinkan saya kopi!" Zidane menatap tajam wanita yang tengah menunduk itu. 

"Iya." 

Esya berpikir kalau dia harus bersikap sebagaimana dia hormat pada ayahnya. Karena dia yakin kalau Zidane benar-benar punya karakter yang mirip seperti ayahnya.

Saat di dapur, dia melamun sembari mengaduk-aduk gelas kopi yang sudah hampir selesai.

Tapi, tiba-tiba terasa hembusan napas yang begitu membuat bulu kuduknya merinding. Samar-samar dia mendengar suara lirih yang mirip dengan suara orang yang dia kenal.

Awalnya Esya menempis pikiran itu. Tapi, suara itu–semakin lama semakin jelas.

"Sya …."

"Sya …."

"Lihat saya …."

Suara itu semakin membuatnya terganggu sampai akhirnya …

"Aaah! Siapa!?" 

"Kalau makhluk halus atau apapun itu! Tolong jangan ganggu saya!"

Suara itu semakin terdengar mendesak Esya, sampai-sampai wanita itu berjongkok dan meringkuk akibat terlalu takut. Dia seorang diri di dapur itu.

"Esya!"

Terdengar Zidane yang panik kalang kabut memeluk wanita kecil yang malang itu. Bibirnya terus saja menenangkan Esya. Mengetahui keberadaan seseorang yang ingin melindunginya, Esya segera memeluk pria itu. 

Dadanya yang bidang juga tangannya yang sedikit berotot membuat Esya terlanjur nyaman bergelayut manja memeluk tubuh itu.

"Pak, saya takut, hiks," 

Dari kecil, Esya memang sangat penakut kalau sudah terkait dengan makhluk tak kasat mata. Dia punya sebuah trauma yang membuatnya hampir kehilangan nyawa. 

"Iya-iya, Sya. Saya disini. Saya disini," Zidane mengusap-usap punggung wanita itu, dia ikut-ikutan panik karena Esya tak sengaja memecahkan vas bunga di dekat wastafel dapur.

Setelah Esya sedikit tenang, Zidane menghembuskan napas. Dia merasa sudah lega karena emosi Esya sudah bisa terkendali.

"Dengar saya. Hantu itu tidak ada. Jadi, jangan takut lagi ya." Diusap-usapnya pucuk kepala wanita muda itu. Batinnya resah karena Esya sepertinya sangat ketakutan tadi.

"Makasih, Pak." Dia bangkit dan melamun sejenak. Kemudian segera diambilnya kopi yang sudah dibuat tadi, lalu dia bergegas pergi meninggalkan Zidane seorang diri.

Setelah menaruh kopi permintaan Zidane, Esya kembali ke ruang kerjanya. Tapi,sesaat dia bingung seperti melupakan sesuatu. 

"Tas? Kelupaan atau ketinggalan?"

Saat sedang bingung-bingungnya, tiba-tiba saja seseorang mengagetkannya.

"Bagus! Sudah betulan jadi kesayangan bos, ya? Bukannya langsung kerja, malah bengong gitu!" 

Terlihat seseorang yang berkacak pinggang dengan pakaian modis bercorak macan yang elegan. Seperti biasa, Bu Hana selalu dandan menor. Tentunya dengan warna lipstik kesukannya, merah mawar.

"Bu ..., anu, tas saya—" 

"Apa? Makanya! Kalau punya barang itu dijaga! Oh, lupa! Uangmu pasti sudah banyak, 'kan? Bos Zidane pasti—"

"Ini, Sya tasmu.* Zidane yang tiba-tiba datang dan mengulurkan tas milik Esya. Seketika Bu Hana terdiam, berlagak sok baik pada wanita itu.

"Ah, Sya—" 

"Cukup! Anda bisa kembali ke tempat kerja Anda!" Jika sudah berkata seperti itu, siapapun tak berani membantah. 

"Segera turuti, kalau mau posisimu tetap aman di kantor ini."

Begitu rumor yang beredar. Entah sejak kapan yang pasti sejak Zidane memimpin perusahaan ini.

Setelah Bu Hana pergi, Zidane mendekati Esya, sesaat merapikan kerah baju wanita itu. Tapi, Esya segera menempis tangan itu secara sepihak.

Mereka bersitatap, dan Esya segera memalingkan wajahnya. Dia tak enak karena telah bertingkah di depan CEO perusahaan itu.

"Maaf …."

Zidane tersenyum, sesaat tangannya bertengger di bahu kecil wanita itu. Membuat yang punya bahu tersentak.

"Gak apa-apa. Silakan kembali bekerja, ya." 

Aneh, sangat aneh. Karena kali ini Zidane bertingkah tak seperti biasanya. 

Esya terpaku, sesaat dia menempis pikiran nyelenehnya. Karena itu sangat tidak mungkin. Apalagi wajah Esya biasa-biasa saja.

'Zidane mana mungkin suka sama kamu.'

'Jangan ngaco, deh! Apalagi bocah baru matang kayak kamu! Nggak mungkin banget, lah.'

Dia segera membuka laptopnya dan melanjutkan pekerjaannya yang kemarin  belum selesai.

Tak terasa, waktu pulang telah tiba. Dan ada yang beda hari ini. Esya melangkah riang keluar dari pagar kantor. Namun, kebahagiaan itu harus sirna ketika tangannya ditarik seseorang–lantas dibawa masuk ke dalam mobil.

Zidane.

"Pak, kenapa?"

Sesaat Zidane menatap Esya yang alisnya bertaut. "Kenapa kamu bilang? Bukankah kita sudah janjian kalau hari ini akan makan malam bersama?" 

Esya semakin terheran mendengar penuturan itu. Lantas memori otaknya mulai mengingat-ingat kejadian hari ini dan beberapa hari yang lalu. Dan ….

Seingatnya, dia tak pernah sekalipun berjanji seperti yang bos Zidane bilang.

"Sudah, ayo. Waktuku sangat berharga." Zidane lekas menarik Esya untuk masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, Esya masih termenung mengingat-ingat kejadian kemarin-kemarin. Tapi memang tak ada satupun kenangan kalau dia dan Zidane berjanji seperti itu. Bahkan, hari-hari akhirnya dihabiskan untuk mengerjakan tugas-tugas kantor yang cukup membuatnya kelabakan.

Jadi, Esya yakin dia tak mungkin punya waktu untuk berbincang-bincang dengan Zidane.

"Sya, Anda kenapa?" Sesekali Zidane yang tengah fokus menyetir itu melirik Esya.

Wanita itu diam saja, tak bergeming. Malah sepertinya inderanya tidak mendengarkan ucapan bosnya itu.

"Sya?" Zidane memanggil dengan suara lebih keras. Esya segera tersentak.

"Iya?" 

"Kamu kenapa? Jangan banyak melamun."

"Anu, maaf sebelumnya. Saya tidak ada maksud lancang."

"Apa? Segera katakanlah."

"Kira-kira kapan saya membuat janji dengan anda untuk makan malam hari ini, ya? Maaf sepertinya saya lupa."

"Ah, tadi pagi. Tepatnya saat kita tak sengaja berpapasan di restoran sebelah kantor."

Esya terdiam. Ini semakin membuatnya bingung. Bagaimana bisa Zidane melihat dia di sana saat wanita itu sedang bekerja keras di dalamnya kantor?

"Anu, apa Bapak tidak salah lihat?"

"Nggak, kok. Betulan kamu. Memangnya kenapa?"

"Ah, tapi saya—"

Tiba-tiba saja mobil itu hampir menabrak truk besar yang sedang menyebrang di bahu jalan. 

"Aish! Hampir saja …." Mobil itu ngerem mendadak, sehingga ucapan Esya tak tersampaikan dengan baik. Sekarang Zidane fokus pada kondisi jalan.

Mobilnya kembali melaju. Mereka jadi makan malam di restoran yang Esya tentukan. Lebih tepatnya, Esya yang kedua. Atau mungkin bisa disebut kembaran Esya.

Saat makan malam, wanita itu tak berusaha menjelaskan lagi. Karena takut akan ada kesalahpahaman antara Zidane dan dirinya. Jadi, dia menyimpan kebingungannya sendiri. 

'Nanti pas di rumah, nanya ke Yagi aja, deh.'

'Mungkin dia tahu jawabannya.'