webnovel

Bab 4: Pembantaian di Desa Tanaru

Tiba-tiba La Mudu menghentikan serangannya, karena manusia misterius yang terbungkus cahaya putih kemilau itu sudah tak ada di sekitarnya.

       La Mudu tersenyum penuh kemenangan. "Manusia itu pasti sudah lari tunggang-langgang ketakutan," gumamnya dengan nada  pongah.

        Namun, di luar dugaannya,  tiba-tiba si orang tua misterius melesat ke atas secepat kilat dari arah belakangnya, dan...

        Plekk, plekk...!!

        Bughhk...!!

        Kedua belah telinga La Mudu mendapat masing-masing satu tamparan keras, yang hampir bersamaan dengan satu tendangan keras pada punggungnya.  Tak ayal tubuhnya terlempar ke depan dan langsung memeluk sebatang pohon besar di hadapannya.

       La Mudu merasakan gendang telinganya sudah pecah dan panas. Sementara di punggungnya ia merasakan seakan-akan menempel seonggok batu sebesar kepalan tangan. Sakitnya bukan main.

        Sebuah suata tawa cekakakan yang bernada ejekan dari lawannya di belakangnya, kedengarannya jauh amat, tinggal lamat-lamatnya saja yang masuk ke dalam rumah siput telinganya. La Mudu demikian geram mendengar tawa ejekan itu. Pelan-pelan ia mengerahkan dan mengumpulkan kembali tenaga dalamnya lalu dipusatkan pada pergelangan tangannya. Ia hendak membalikkan tubuhnya dengan cepat sembari mengiblatkan satu pukulan jarak jauh ke mulut orang tua misterius di belakangnya.

       Dato Hongli tentu saja sudah membaca apa yang diniatkan oleh La Mudu, yang tak lain adalah murid yang sudah dianggapnya sebagai cucunya itu. Maka ketika La Mudu membalikkan tubuhnya sembari mengirimkan serangkum angin api yang amat panas, Dato Hongli langsung mematahkannya dengan pukulan yang sama. Dan...

       Bluarrr...!

       Dentuman dahsyat yang disertai gelombang sangat panas terjadi, kembali menyapu bersih dedaunan dan rerantingan di sekitar itu. Tak terkecuali tubuh La Mudu. Akibat serangan pencegahan di luar perkiraannya itu, tak ayal membuat tubuhnya kembali membentur pohon yang barusan dipeluknya dengan keras. Ia merasakan seluruh tubuhnya remuk redam. Andaikata dampak ledakan itu mengenai tubuh orang awam, bisa dipastikan tewas detik itu juga dengan tubuh hangus. Namun karena tubuh La Mudu sudah terbentengi dengan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, maka efeknya hanya setengah mati saja rasa sakitnya.

       La Mudu memeluk tubuhnya setengah membungkuk seperti orang kedinginan, yang disertai wajah meringis berlipat-lipat karena menahan sakit yang luar biasa. Naga-naganya ia benar-benar sudah payah. Karena untuk mengumpulkan kembali kekuatan tubuhnya dalam waktu yang amat singkat adalah suatu hal yang sudah mustahil. Jadi ia sudah pasrah. Pasrah menanti tindakan lawannya untuk mengakhiri riwayatnya.

       "Hik hik hik hik...!"

       "Hmm...??"

      La Mudu sontak mengangkat wajahnya. Orang tua misterius itu ternyata meninggalkan dirinya, berjalan ke arah barat, sembari megeluarkan tertawa kecil yang bernada mengejek. Di kedua belah tangannya terlihat menjinjing sesuatu. Anehnya lagi, laki-laki tua itu kelihatannya berjalan biasa, tapi kecepatannya sangat luar biasa.

        "Woiii...! Kenapa kau tidak jadi membunuhku, orang tua aneh!" teriak La Mudu, geram bercampur heran. Orang tua misterius atau Dato Hongli tidak menoleh, ia semakin jauh. Namun...

       "Haiya...! Ato mau mengisi perut dulu, Mudu. Ato juga mau mandi, sudah tidak tahan lagi dengan bau pesing kencingmu di tubuhku. Dasar bocah nakal...!"

       Kata-kata itu membuat La Mudu kaget bukan kepalang.

       "Hmmm...?? Ato....?"

       Ternyata manusia misterius adalah Ato-nya, gurunya, Dato Hongli. Dan lebih membuat La Mudu terheran-heran, suara sahutan dari si kakek-kakek, yang membesarkannya sejak bayi itu, terdengar demikian dekat, bahkan seolah-olah memenuhi seantero rimba Sorowua. Hal, yang tentu saja hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berilmu sangat tinggi!

        "Hmmm...! Ternyata Ato sengaja ingin mengujiku..!" guman La Madu. Ia pun tersenyum sambil menggeleng-geleng pelan.

        "Memang iya...!"

        "Hmm...?"

       La Mudu menggaruk-garuk kepalanya yang kebetulan juga gatal.

       Siapakah gerangan Dato Hongli ini?

       Dan siapakah pula adanya La Mudu?

       Tentu kita harus menengok kembali ke masa silam dari riwayat kedua tokoh beda bangsa ini!

       Mari kembali dulu ke enam belas tahun yang silam...

       Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah melaut, nelayan. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu.

       Teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu dikirimkan ke pasar-pasar di kota raja. Namun terkadang para pedagang penampungnya yang datang langsung ke Tanaru untuk membeli hasil laut yang telah diolah menjadi dendeng atau teri-teri kecil. Tanaru juga dikenal sebagai penghasil mutiara yang bermutu tinggi, karena para pelautnya terkenal sangat mahir dalam hela menyelam dalam kedalaman laut untuk mencari kerang-kerang mutiara. Keadaan makmur dan kejayaan benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan dari sang galara (kepala desa) mereka.  Jara Tawera alias Ompu Mpore merupakan seorang pemimpin yang sangat bijak dan cerdas.

      Galara Jara Tawera alias Ompu Mpore baru-baru ini dikaruniai sepasang anak kembar dampit. Kembar laki-laki dan perempuan. Ini adalah kelahiran pertama istrinya, La Mbinta Wura alias Wa'i Canggo, setelah mereka membangun biduk rumah tangganya sudah hampir sepuluh tahun. Dengan demikian, kelahiran anak kembar dampitnya ini merupakan suatu karunia yang amat besar dan membahagiakan bagi mereka. Juga, merupakan kebahagiaan bagi seluruh penduduk Desa Tanaru. Karena dengan demikian, sang pewaris tahta, calon pemimpin mereka telah lahir. Kelahiran yang paling ditunggu-tunggu dalam waktu yang cukup lama.

       Maka untuk menyambut kelahiran sang pewaris tersebut, Jara Tawera alias Ompu Mpore mengadakan acara syukuran dan pesta yang sangat meriah, yang disambut gempita oleh segenap rakyatnya, juga oleh segenap kepala desa-kepala desa lain yang ada di Kerajaan Mbojo (Kerajaan Bima). Bahkan Ndai Rato (Baginda Raja) sendiri mengirimkan utusan khususnya untuk memenuhi undangan sang galara yang terdiri dari beberapa petingginya yang terdiri dari para Dato dan Ncuhi. Karena demikian, ada berpuluh-puluh kerbau dan kambing yang dipotong, serta beragam atraksi pesta yang digelar. Berbagai atraksi atau hiburan diundang. Dan atraksi yang paling menyita perhatian seluruh yang hadir adalah atraksi Gantao dan Lanca, dua atraksi adu fisik yang diiringi dengan gendang, kenong, suling, dan serunai. Berbagai jawara gantao dan lanca di seantero Dana Mbojo (Tanah Bima) diundang. Pesta itu rencananya akan diadakan selama tujuh hari tujuh malam.

       Namun, pada malam kedua acara pesta kenduri itu digelar, kemeriahan dalam suasana bahagia itu berubah menjadi petaka yang amat mengenaskan. Tanpa gelagat dan hawa sedikit pun, tiba-tiba La Afi Sangia, sang pemimpin gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah, bangsa perompak) menyerbu desa yang sedang berpesta bahagia itu bersama anak buahnya dalam jumlah yang besar.

       Setiap siapa pun yang mereka yang ada di desa dan dalam pesta itu, dibabat tanpa belas kasihan sedikit pun oleh La Afi Sangia dan ribuan anak buahnya. Jerit-jerit kematian menyayat hati menembus langit malam. Nyawa-nyawa melayang sia-sia, mayat-mayat pun bergelimpangan tumpang-tindih satu sama lain dalam kondisi yang mengenaskan.

       "Habisi juga galara dan keluarganya! Jangan ada yang tersisa seorang pun...!" teriak La Afi Sangia dengan suara lantang dan lalim kepada para anak buahnya, sembari terus menebaskan pedangnya ke tubuh-tubuh rakyat desa yang tak berdosa. Dan perintah itu dipatuhi oleh seluruh anak buahnya dengan baik dan tanpa perikemanusiaan. Mereka benar-benar tak ubahnya laksana para iblis yang amat ganas. Para manusia berseragam kebesaran merah-merah itu laksana segerombolan harimau yang sedang memangsa habis para kucing-kucing lemah. Karena tak ada perlawanan sama sekali, walhasil, Desa Tanaru pun telah mereka ubah menjadi sebuah medan pembantaian, menjadi desa yang benar-benar mati dan punah!