webnovel

Membersihkan Tubuh di Sungai yang Jernih

Perjalanan Ceun-Ceun dan Cuimey menuju negeri utara terus berlanjut dengan rintangan-rintangan yang silih berganti. Pagi itu, mereka melintasi hutan yang rimbun, dengan pepohonan besar yang menjulang tinggi, menciptakan kanopi alami yang melindungi mereka dari terik matahari. Langkah kuda mereka berirama, melaju dengan tenang di bawah bayang-bayang pohon, sesekali diiringi kicauan burung yang merdu.

Saat matahari mencapai titik tertingginya di langit, mereka mulai merasa lelah. Keringat mulai bercucuran di tubuh mereka, menandakan betapa panasnya hari itu. Ceun-Ceun yang menunggangi kudanya di depan, tiba-tiba menghentikan langkah ketika matanya menangkap kilauan air di kejauhan.

"Cuimey, lihat di sana!" Ceun-Ceun menunjuk ke arah utara di mana terlihat aliran sungai yang berkelok-kelok dengan airnya yang jernih dan berkilauan di bawah sinar matahari.

Cuimey mengikuti pandangan Ceun-Ceun dan tersenyum senang. "Airnya tampak sangat jernih. Kita bisa berhenti sejenak di sana untuk minum dan beristirahat. Aku juga sudah lama tidak merasakan segarnya air sungai."

Tanpa ragu, keduanya mengarahkan kuda mereka ke tepi sungai. Sesampainya di sana, mereka terkesima dengan keindahan sungai tersebut. Airnya begitu jernih hingga dasar sungai yang berbatu dapat terlihat dengan jelas, dan aliran airnya menciptakan riak-riak kecil yang menenangkan. Angin yang bertiup membawa kesegaran dari permukaan air, membuat mereka merasa seolah menemukan oase di tengah perjalanan yang melelahkan.

Ceun-Ceun turun dari kudanya dan mendekati tepi sungai, lalu mencelupkan tangannya ke dalam air. "Segar sekali," gumamnya sambil merasakan kesejukan air yang menyentuh kulitnya.

Cuimey yang berdiri di sampingnya, juga tidak bisa menahan diri untuk merasakan air tersebut. "Bagaimana kalau kita mandi sejenak, Ceun-Ceun? Ini akan sangat menyegarkan."

Ceun-Ceun mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Kita bisa membersihkan tubuh dari keringat dan debu perjalanan sebelum melanjutkan perjalanan."

Mereka kemudian mulai melepaskan atribut pakaian mereka satu per satu, dimulai dari senjata dan pakaian luar yang biasanya dikenakan oleh para pendekar. Meskipun mereka adalah pendekar yang terbiasa dengan kehidupan keras di jalan, saat ini, mereka hanyalah dua wanita muda yang ingin menikmati momen damai di tengah alam.

Setelah semua pakaian dan atribut dilepaskan, Ceun-Ceun dan Cuimey melangkah ke dalam sungai dengan tubuh telanjang. Kulit mereka yang putih dan mulus berkilau di bawah sinar matahari yang menerobos celah-celah pepohonan. Kesejukan air sungai langsung menyentuh tubuh mereka, memberikan sensasi yang begitu menyegarkan.

Ceun-Ceun menyelam ke dalam air hingga seluruh tubuhnya terendam, merasakan dinginnya air yang membalut tubuhnya. "Ini sangat menyenangkan, Cuimey. Aku merasa semua kelelahan dan kekhawatiran seakan hanyut bersama arus air ini."

Cuimey mengangguk setuju sambil berenang mendekati Ceun-Ceun. "Benar sekali. Rasanya sudah lama sekali sejak aku bisa merasakan momen seperti ini. Kita harus menikmati setiap detiknya."

Mereka berdua berenang dengan riang di sungai itu, sesekali tertawa bersama ketika salah satu dari mereka bermain air atau mencoba menenggelamkan yang lain. Momen itu seakan membawa mereka kembali pada masa-masa ketika mereka masih muda, sebelum beban tanggung jawab sebagai pendekar silat mulai menghiasi hidup mereka.

Setelah beberapa waktu, mereka pun naik ke tepian sungai dan duduk di atas batu yang hangat terkena sinar matahari. Cuimey menatap air yang berkilauan di bawah sinar matahari, sementara Ceun-Ceun mengeringkan rambutnya yang panjang.

"Cuimey," Ceun-Ceun memulai sambil menatap sungai yang mengalir di depannya. "Aku tak pernah menyangka perjalanan kita akan membawa kita ke momen seperti ini. Rasanya damai sekali, seperti dunia di luar sana tidak ada."

Cuimey tersenyum. "Terkadang, kita memang perlu momen seperti ini, Ceun-Ceun. Hidup kita begitu dipenuhi oleh pertarungan dan ancaman, sehingga kita lupa untuk menikmati hal-hal kecil seperti ini."

Ceun-Ceun mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Cuimey. Dia tahu, momen kedamaian seperti ini mungkin jarang mereka temui dalam perjalanan mereka yang penuh tantangan, dan dia bersyukur bisa menikmatinya meski hanya sesaat.

Setelah merasa cukup beristirahat, mereka berdua mulai mengenakan kembali pakaian mereka, mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun mereka tahu bahwa jalan yang harus mereka tempuh masih panjang dan penuh bahaya, momen di sungai ini memberikan mereka kekuatan baru untuk terus maju.

Ketika mereka siap untuk melanjutkan perjalanan, Ceun-Ceun menoleh ke arah Cuimey dengan senyum penuh semangat. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Negeri utara menanti kita, dan aku yakin kita akan menemukan apa yang kita cari."

Cuimey mengangguk penuh tekad. "Aku siap, Ceun-Ceun. Mari kita hadapi apapun yang menanti kita di depan."

Dengan semangat yang kembali menyala, mereka menaiki kuda dan melanjutkan perjalanan. Aliran sungai yang jernih itu semakin menjauh di belakang mereka, namun momen kedamaian yang mereka rasakan di sana tetap terpatri dalam hati mereka. Perjalanan ke negeri utara masih panjang, tetapi mereka yakin bahwa bersama-sama, mereka akan mampu menghadapi segala rintangan yang datang.

Saat Ceun-Ceun dan Cuimey melanjutkan perjalanan mereka menuju negeri utara, suasana di sekitar mereka tampak semakin sunyi. Jalan setapak yang mereka lalui dikelilingi oleh hutan lebat, dan hanya suara derap kaki kuda serta desir angin yang menemani perjalanan mereka. Meski suasana terasa damai, kedua pendekar ini tetap waspada, mengingat bahaya bisa muncul kapan saja di tempat terpencil seperti ini.

Setelah beberapa jam berkuda tanpa henti, mereka tiba di sebuah jalan yang sedikit lebih lebar, dikelilingi oleh pepohonan yang lebih jarang. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara langkah kaki yang berat dan kasar. Dari balik pepohonan, muncul sekawanan perampok dengan wajah garang dan senyum jahat yang menghiasi wajah mereka. Jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang, semua bersenjata, dengan pedang dan tongkat yang siap digunakan untuk menyerang.

"Kalian tak akan bisa lewat di sini tanpa meninggalkan sesuatu sebagai 'tanda hormat'," salah satu perampok berbadan besar berseru dengan nada mengejek, seraya mengayunkan pedangnya dengan penuh ancaman. "Serahkan semua harta benda kalian, atau kalian takkan pernah keluar hidup-hidup dari sini."

Ceun-Ceun dan Cuimey saling berpandangan, menyadari bahwa kata-kata tidak akan berguna dalam situasi seperti ini. Mereka harus bertindak cepat. Tanpa menunggu lebih lama, Ceun-Ceun melompat turun dari kudanya dengan gerakan lincah, dan Cuimey segera menyusul. Mereka berdiri berdampingan, memandang musuh-musuh mereka dengan penuh ketenangan.

"Aku tidak suka berbicara terlalu banyak," ujar Ceun-Ceun sambil mengepalkan tangannya. "Jika kalian ingin bertarung, mari kita mulai."

Para perampok yang melihat keangkuhan Ceun-Ceun menjadi semakin marah. "Hah! Seorang wanita dan seorang gadis muda berani menantang kami? Kalian akan menyesal!"

Tanpa menunggu aba-aba, kawanan perampok itu segera menyerang mereka dengan kecepatan tinggi, mengayunkan pedang dan tongkat mereka dengan penuh kebencian. Namun, Ceun-Ceun dan Cuimey sudah siap menghadapi mereka.

Ceun-Ceun dengan cepat memanfaatkan kekuatan tangan besinya, menangkis serangan pedang pertama yang diarahkan kepadanya dengan mudah. Pedang itu bahkan tak mampu menembus pertahanan tangannya yang kuat. Dengan satu pukulan keras, Ceun-Ceun menghantam dada penyerangnya, membuat pria itu terbang beberapa meter ke belakang dan jatuh tak sadarkan diri di tanah.

Cuimey, dengan keahlian memainkan pedangnya, bergerak dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Ia menebas pedang para perampok dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, membuat mereka kehilangan senjata dalam sekejap. Setiap kali pedangnya meluncur, seorang perampok pasti terjatuh dengan luka yang cukup parah untuk membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan.

"Ayo maju semua sekaligus, kalau kalian pikir bisa menang!" Cuimey menantang dengan nada mengejek, sembari menahan serangan dari dua perampok sekaligus dengan gerakan gesit.

Perkelahian semakin sengit. Meskipun jumlah perampok jauh lebih banyak, mereka tak mampu mengimbangi kehebatan Ceun-Ceun dan Cuimey. Satu per satu dari mereka mulai terkapar di tanah, mengerang kesakitan atau pingsan setelah menerima serangan dari dua pendekar wanita yang luar biasa ini.

Ceun-Ceun dengan tangannya yang sekuat baja terus merobohkan musuh-musuh yang mencoba mendekatinya. Setiap pukulan yang ia lepaskan menimbulkan suara yang keras, mematahkan tulang lawan atau mengirim mereka terlempar ke tanah. Meski perampok-perampok itu tampak kuat dan ganas, mereka tak mampu menahan kekuatan luar biasa dari tangan besi Ceun-Ceun.

Di sisi lain, Cuimey bergerak seperti angin, menghindari setiap serangan dan membalasnya dengan tebasan pedang yang mematikan. Ia begitu mahir menggunakan senjatanya hingga para perampok bahkan tak bisa menyentuhnya. Dalam beberapa menit, sebagian besar dari mereka sudah tak berdaya, tergeletak di tanah dengan luka parah.

Akhirnya, hanya tersisa beberapa perampok yang masih berdiri, meski wajah mereka kini dipenuhi ketakutan. Mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak berhadapan dengan dua wanita biasa, melainkan pendekar-pendekar hebat yang tak bisa mereka kalahkan.

"Pergi dari sini sekarang juga, atau kalian akan menyesal!" teriak Ceun-Ceun dengan penuh wibawa, sambil memandang para perampok yang tersisa dengan tatapan dingin.

Tak menunggu lama, perampok-perampok yang tersisa pun lari terbirit-birit, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka di belakang. Mereka tahu bahwa jika mereka tetap di sana, nasib mereka mungkin akan lebih buruk.

Setelah memastikan bahwa para perampok sudah pergi, Ceun-Ceun dan Cuimey menghela napas lega. Mereka membersihkan senjata dan pakaian mereka dari debu dan darah yang menempel.

"Ini benar-benar tak terduga," ucap Cuimey sambil mengembalikan pedangnya ke sarung. "Tapi setidaknya kita bisa melewatinya tanpa cedera."

Ceun-Ceun tersenyum kecil. "Ya, tapi kita harus tetap waspada. Siapa tahu apa lagi yang akan kita temui di depan sana."

Dengan tekad yang semakin kuat, mereka berdua kembali menaiki kuda mereka dan melanjutkan perjalanan. Meskipun rintangan seperti ini mungkin akan terus muncul di sepanjang jalan, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya dan tetap melangkah menuju tujuan mereka di negeri utara. Misi mereka belum berakhir, dan mereka takkan berhenti hingga mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan.